Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hotel Gran Mahakam mungkin cuma sepelemparan batu dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Tapi, di sebuah suite room yang ber-AC amat dingin di lantai 8 hotel di kawasan Blok M di Jakarta Selatan itu ada bekas malam panas.
Malam itu, Rabu, 10 Oktober 2001, waktu baru pukul setengah delapan. Di coffee shop hotel itu tampak Rahardi Ramelan dan dua pengacaranya, O.C. Kaligis serta Yan Juanda Saputra. Telepon seluler Yan berdering. Mereka segera beranjak ke lift. Saat lift terbuka, mereka sempat bersua dengan Ricardo Gelael, yang langsung menyalami Rahardi. Rombongan Rahardi masuk lift, terus ke lantai delapan.
Begitu pintu suite room terkuak, Akbar Tandjung dan pengacaranya, Hotma Sitompul, menyambut hangat. Mengenakan jas warna krem muda, Akbar berbasa-basi sebentar dengan Rahardi. Ketua Golkar itu duduk di kursi yang membelakangi pintu masuk kamar bertarif Rp 2,5 juta semalam itu. Di depannya ada meja panjang.
Bersamaan dengan itu, Hotma, yang berjas warna gelap, duduk di seberang Akbar. Di belakang Hotma ada tangga ke ruang tidur di lantai atas. Yan dan Rahardi duduk berdampingan di sofa empuk, sementara Kaligis duduk di seberang Rahardi.
Sebentar kemudian, berlangsung pembicaraan pada per-temuan yang sudah dirancang beberapa hari sebelumnya itu. Hotma Sitompul terdengar mengawali pembicaraan. Berikut ini cuplikan pembicaraan itu, yang sampai ke TEMPO.
Hotma Sitompul (HS): Kenapa Pak Rahardi menyebut-nyebut nama Bang Akbar yang menerima uang Rp 40 miliar, padahal Pak Rahardi tidak melihat dengan mata kepala sendiri penyerahan uang itu?
Rahardi Ramelan (RR): Memang saya tidak melihat langsung, tapi saya mendapat laporan dari Ruskandar (Deputi Keuangan Bulog).
HS: Ya, seharusnya Pak Rahardi sebut saja Ruskandar yang menyerahkan ke yayasan.
RR: Saya tak mau mengorbankan anak buah saya. Apalagi ada tanda terima yang sempat difotokopi Ruskandar. Katanya aslinya mau diberikan, tapi enggak dikembalikan.
HS (suara meninggi): Apa iya? Fotokopi apa? Bang (Akbar) bilangnya enggak ada bukti apa-apa. Kuitansi apa itu?
Jeda. Suasana tenang.
RR: Fotokopi tanda terima. Di situ ada dua kuitansi yang ditandatangani, yang lalu diambil kembali dijanjikan untuk diganti total Rp 40 miliar.
Lalu terdengar suara kertas yang dikeluarkan Yan Juanda dan diletakkan di atas meja. Diduga, itulah kertas berisi skema skenario yayasan.
RR: Kalau mau pakai skenario ini, silakan. Tapi itu bukan wewenang saya.
HS: Bukan skenario, memang kenyataannya begitu. Bapak kan tidak menyaksikan sendiri.
RR (suara juga meninggi): Tidak bisa. Saya baru tahu yayasan itu sekarang. Saya diperintahkan Pak Habibie untuk menyerahkan uang hanya kepada Pak Akbar.
HS: Yakin, Ruskandar menyimpan tanda terima dan sudah sempat difotokopi?
RR: Memang ada.
Yan Juanda ikut bicara: Ya, memang ada fotokopinya.
RR: Kenapa sih uang itu tidak dikembalikan saja atau tanda terima yang Rp 40 miliar itu segera diberikan kepada Bulog?
Suasana hening.
HS: Kenapa Pak Rahardi keberatan dengan yayasan?
RR: Karena memang se-benarnya tidak begitu.
HS: Begitu dong, memang kenyataannya. Bapak tidak menyaksikan apa yang ter-jadi di kantor Bang Akbar. Jadi, Ruskandar saja yang menyerahkan kepada yayasan.
RR: Ruskandar melapor kepada saya, uang diserahkan langsung ke Pak Akbar, tidak kepada yayasan.
HS: Bapak hadir di situ?
RR: Tidak. Tapi kan saya dapat laporan.
HS: Ya sudah, apa susahnya. Biar Ruskandar yang bilang memberikan kepada yayasan.
RR (agak kesal): Hi, be careful. I am the only one. Ingat, di antara semua yang hadir di sini, saya satu-satunya yang jadi tersangka (saat itu 10 Oktober 2001, Akbar Tandjung belum menjadi tersangka).
HS: Lo, memang begitu faktanya. Itu tugas para lawyer Bapak yang terkenal ini. Katanya you (O.C. Kaligis) kan kenal semua jaksa dan hakim.
O.C. Kaligis (marah): Siapa yang bilang begitu, saya kenal semua hakim dan jaksa?
HS: Ah, semua orang juga sudah dengar. You (OC) kalau bicara di sini lain, di sana lain.
Dua pengacara itu ngotot.
Terdengar suara Akbar Tandjung, lemah sekali: Stop , stop. Yayasan ya, Pak Rahardi, yayasan ya.
Skema soal yayasan didesakkan lagi ke Rahardi.
RR: Posisi saya gimana?
HS: Memang faktanya begitu.
RR: Begini saja (suara melemah), coba kalian bantu saya di kejaksaan. Mana ini teman-teman Golkar? Pada saat saya belum jadi tersangka, semua menelepon saya, bahkan sampai ke Amerika dan Jerman. Tapi, setelah saya jadi tersangka, mana? (suaranya makin tinggi)
HS: Memang begitu faktanya. Bapak jadi tersangka. Membebaskan itu tugasnya lawyer-lawyer Bapak yang terkenal ini.
RR (suara tinggi lagi): Oke, karena kita kelihatannya tidak bisa satu visi, kita fight saja deh di pengadilan. No. Sorry!
Rahardi meninggalkan tempat. Yang lainnya terdengar juga meninggalkan suite room di lantai 8 Hotel Gran Mahakam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo