Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pailin, Kamboja, Mei 2007. Salon-salon kecantikan dengan plang dan neon berbahasa Inggris, perempuan-perempuan muda mengecat rambut dan kuku, mobil-mobil baru, taksi-taksi Toyota Camry, semua bergerak, melesat di tengah kota.
Di kota paling barat Kamboja yang berbatasan dengan Thailand itu, kapitalisme tumbuh dengan segala kontradiksinya. Di Jalan utama, sebuah gedung kasino berdiri di antara rangkaian panjang rumah beratap rumbia dan berdinding kayu. Anak balita berlarian, bermain-main di halaman rumah, bugil, dengan perut buncit.
Pailin adalah kota yang berubah. Di pinggir jalan memang masih berdiri papan reklame yang mengajak setiap orang yang memiliki senjata segera menyerahkannya ke pemerintah. Mungkin itulah warisan mengerikan masa lalu yang masih eksis hingga kini—di samping papan peringatan merah di pinggir-pinggir kota bergambar tengkorak, dengan tulisan dalam bahasa Inggris dan Khmer: Awas Ranjau! Tapi inilah Pailin, dan warga kota itu seolah-olah telah sepakat mengubur masa lalu, mengisi masa kini dengan mencari duit—sekaligus menghabiskan duit—sebanyak-banyaknya.
Seorang pastor asal Prancis pernah membuat kesaksian mencekam dalam bukunya yang terbit pada akhir 1970-an: Cambodge anee zero. Ia, Francois Ponchaud, adalah orang yang pernah hidup bersama para petani miskin di negeri itu. Mulanya ia menyambut revolusi Khmer Merah yang mengempaskan rezim militer Lon Nol yang kotor dan korup. Tapi Khmer Merah di bawah Pol Pot lantas dalam waktu singkat menunjukkan wajahnya yang datar, mematikan.
Semua ia catat. Ia menyaksikan harapan yang melambung seperti awan, tatkala pasukan Khmer Merah masuk kota dan disambut bak pahlawan. Ia juga menyaksikan rantai antiklimaks yang begitu cepat: penduduk digiring, jalan kaki ke pedalaman. Seperti pesakitan. Ponchaud kemudian menjumpai mereka yang lari, mewawancarai mereka lalu menuliskan pengalaman mereka dalam buku itu. Semua melukiskan hal yang sama: kekejaman yang sukar dicari bandingannya pada abad ke-20.
Sekitar 400 ribu orang direkrut menjadi serdadu Khmer Merah waktu itu (1975 -1979). Dan Pailin adalah sebuah dapur raksasa, tempat Khmer Merah menggodok kadernya demi mewujudkan cita-cita agung: masyarakat tanpa kelas. Sebagian penduduk Pailin mencatatkan namanya dalam iring-iringan pasukan mengerikan itu. Bahkan ketika Khmer Merah kemudian digusur pasukan gabungan Vietnam dan Hun Sen pada 1979, para tokohnya membuat perlawanan dari situ. Di Pailin, Nuon Chea atau brother number two; Ieng Sary brother number three, dan Khieu Samphan brother number four, hidup berdampingan, bertetangga. Rumah mereka di pinggir kota, di dekat sungai, tak jauh dari hutan. Bahkan setelah perang gerilya usai pada 1994, ketiga pemimpin Khmer Merah itu juga memutuskan untuk tinggal di Pailin bersama keluarganya.
Sementara itu, sebagian gerilyawan Khmer Merah memutuskan bergabung dengan pasukan pemerintah; sebagian lagi menyeberang perbatasan dan bergabung dengan pasukan Thailand; sebagian lagi menetap di Pailin, menjadi petani, sopir taksi, pedagang, penambang batu mulia, bahkan pejabat setempat.
Kini, Mei 2007. Semua orang di Pailin ingin menghapus kenangan sepanjang 1975-1994 itu.
”Khgnom men chang niyey ombi via te, Khgnom men deng ruerng avey te.” Saya tidak mau membicarakan hal itu, dan saya tidak tahu apa-apa, kata Mey Meakk dalam bahasa Khmer. Meakk bekas orang berpangkat. Ia Direktur Bandar Udara Por Sen Tong, Pailin, ketika Khmer Merah berkuasa. Pailin dan Khmer Merah bukan dua hal yang mudah diceraikan begitu saja.
Siang itu, Selasa pertengahan Mei, hujan deras menyiram kota, dan saya berteduh di salah satu rumah penduduk. Penduduk yang baik hati itu mempersilakan kami meneduh di terasnya yang beratap rumbia. Cuaca sedang tak menentu. Pada musim panas ini, sudah seminggu Pailin basah oleh hujan. Kami bertiga—saya, seorang penerjemah, seorang tukang ojek—kembali menyusuri kota yang luasnya seribu kilometer persegi lebih itu, dan dengan kepadatan penduduk 29 orang/kilometer persegi .
Pailin kota istimewa. Ia memiliki status khusus. Lima belas tahun setelah perang gerilya atau dua tahun setelah pasukan Khmer Merah yang dipimpin Ieng Sary menyerah kepada pemerintah Hun Sen (1994), kota ini melepaskan diri dari Battambang, provinsi yang bersebelahan dengan Thailand. Pailin adalah kota dengan ciri khas: monumen di tengah-tengah kota. Monumen berpuncak batu berbentuk elips—simbol bahwa Pailin penghasil batu mulia seperti rubi, safir, dan berlian.
Tukang ojek kami bercerita tentang orang-orang bekas Khmer Merah yang hidup di antara penduduk. Mereka sudah meninggalkan seragam kebesarannya: piyama hitam dan krama—skarf bercorak kotak-kotak yang dililitkan di leher. Seperti warga yang lain, mereka mengenakan kaus, kemeja, dan celana jins impor dari Thailand. Mereka juga suka menghibur diri di karaoke dan kasino, dan tak suka diajak berbicara tentang Khmer Merah.
Dua puluh delapan tahun mereka tinggal di Pailin dengan damai—sampai akhirnya sesuatu yang berlangsung di Phnom Penh mengusik.
Pagi itu, kantor Pengadilan untuk Kejahatan Luar Biasa Kamboja (ECCC) di National Road 4, Kantor Commune, Distrik Ang Snuol, Kamboja, sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Phnom Penh, tampak banyak orang. Mereka sedang melakukan tugas serius untuk masa depan Kamboja: mempersiapkan pengadilan Khmer Merah.
Hakim penuntut, Chea Leang, memilih sarapan di kantornya. Ia baru saja pulang setelah mengikuti suatu pelatihan hukum yang melelahkan di Inggris. Papan putih yang tergantung di sebelah kanan pintu masuk ruang kerjanya penuh coretan. Suatu agenda kerja yang benar-benar padat. ”Kami harus bekerja mengejar batas waktu,” katanya.
Sejak tahun lalu, pemerintah Kamboja dan PBB bekerja keras buat mempersiapkan semuanya: dari masalah administrasi, penyusunan majelis hakim—terdiri dari hakim Kamboja dan hakim internasional yang ditunjuk PBB—hingga merumuskan aturan internal.
Banyak hal yang mengganjal. Pada Mei silam, UNDP membuat telinga para penghuni kantor ECCC gerah. Hasil audit UNDP menunjukkan indikasi korupsi dalam penggunaan anggaran. Tapi Kepala Kantor Urusan Umum ECCC, Helen Jarvis, tak mau terpengaruh dengan laporan UNDP. Konsentrasinya tak boleh terpecah. Begitu sebaliknya, UNDP pun tak mau membuka hasil auditnya ke publik.
Transparansi dan akuntabilitas kerja ECCC memang jadi masalah yang paling disorot media massa di Kamboja. Sejumlah LSM bahkan mencurigai kelambanan pembentukan pengadilan akibat tekanan pemerintah. Mereka tetap tak sepenuhnya percaya tentang independensi pengadilan, meski PM Hun Sen berjanji tak akan mencampuri urusan pengadilan.
Para korban Khmer Merah, LSM, ataupun pengamat susah mempercayai Hun Sen. Soalnya, sejak awal ia secara terbuka menentang adanya pengadilan terhadap para pemimpin Khmer Merah. Ia menggelar rekonsiliasi nasional, lalu mengajak ribuan serdadu Khmer Merah bergabung dengan tentara pemerintah pada 1994. Hun Sen pernah menjadi bagian dari Khmer Merah—dan inilah yang lantas menerbitkan curiga: ia menentang pengadilan internasional supaya posisi dirinya yang sesungguhnya dalam kelompok Marxis-Maois itu tak pernah terbongkar.
Tapi kelompok ahli itu telah menyelesaikan tugasnya. Mereka merekomendasikan lima nama pemimpin Khmer Merah yang masih hidup untuk dibawa ke pengadilan: Nuon Chea, Ta Mok, Ieng Sary, Kae Pok, dan Khieu Samphan. Kelimanya dianggap paling bertanggung jawab atas pembantaian 1,7 juta rakyat Kamboja. Di samping mereka berlima, kelompok ahli ini juga merekomendasikan sejumlah kader Khmer Merah yang masih hidup dan harus dimintai pertanggungjawaban. Mereka dikategorikan sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kejahatan hak asasi manusia yang paling serius.
Sebenarnya pengadilan Khmer Merah pernah dilaksanakan. Tapi terpidananya cuma dua orang: Ta Mok, sekretaris untuk wilayah barat daya dan anggota Komite Sentral CPK; dan Duch, penanggung jawab penjara Tuol Sleng. Keduanya dihukum seumur hidup. Ta Mok akhirnya meninggal tahun lalu karena komplikasi penyakit. Sedangkan Dutch masih mendekam di penjara.
Para pemimpin Khmer Merah itu tadinya berharap amnesti dari pemerintah sebagai tiket untuk bebas dari segala tuntutan di pengadilan. Kini mereka harus bersiap-siap menunggu panggilan. ”Jika mereka memanggil saya, saya akan datang dan bersaksi. Saya akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya,” begitu Nuon Chea pernah mengatakan.
Sepeda motor yang saya tumpangi berhenti tepat di halaman depan rumah Nuon Chea, 84 tahun. Lima pria bermain kartu di dalam gardu jaga, di sisi kiri halaman depan. Suara gemericik air terdengar dari arah sungai yang menjadi batas wilayah Kamboja dan Thailand. Rumah Nuon Chea berada di bibir sungai. Tapi rumah itu tak kelihatan karena terhalangi rumah panggung, bekas rumah Khieu Samphan.
Informasi yang saya terima, Khieu Samphan dan Ieng Sary sudah pindah ke Phnom Penh. Mereka merasa tak nyaman lagi tinggal di Pailin. Hanya Nuon Chea bertahan di bekas kompleks pembesar Khmer Merah itu.
Penjaga yang bertubuh paling pendek di antara kelimanya mengatakan, Nuon Chea sudah tidak bisa menerima tamu termasuk wartawan. Alasannya, kesehatannya terus memburuk. ”Bapak tidak bisa lagi berbicara. Tekanan darah Bapak tinggi dan sudah tidak bisa berdiri,” kata anak bungsu Nuon Chea, Moun, melalui telepon genggamnya.
Cerita memburuknya kesehatan Nuon Chea juga datang dari cucu-cucunya. Menurut Bunn Song, 17 tahun, kesehatan Nuon Chea sudah memburuk dan usianya sudah uzur. Itu sebabnya ia berharap kakeknya tidak dibawa ke pengadilan. ”Andai bisa melakukan sesuatu untuk menghentikannya, saya pasti melakukan,” ujarnya kesal.
Cucu-cucu Nuon Chea itu kaget karena ada juga yang tahu tempat tinggal mereka di Pailin. Linet, 20 tahun, kakak Bunn Song, akhirnya menjelaskan bahwa mereka baru pada awal tahun ini pindah ke Pailin. Ia menolak menyebutkan tempat tinggal sebelumnya. ”Penduduk sini tidak ada yang tahu kami cucu Nuon Chea,” ujarnya melirik tajam kepada saya. Begitu juga teman-teman sekolahnya di SMA Hun Sen Tabnimert, Pailin. ”Kami beruntung,” ujarnya.
Linet mengatakan bahwa masa lalu kakeknya tak mempengaruhi pergaulannya, juga masa depannya. Bunn Song bahkan sama sekali tak percaya kakeknya merancang pembunuhan 1,7 juta rakyat Kamboja. Bunn Song adalah cucu kesayangan Nuon Chea. Di mata Bunn Song, kakeknya orang baik. Setiap kali mereka bertemu, perkembangan studinya menjadi perhatian khusus. Ia tak tahu dulu Nuon Chea anti-pendidikan dan memerintahkan menghancurkan semua sekolah.
Namun akhir-akhir ini Bunn Song mengaku galau. Itu gara-gara ia menonton film pembantaian oleh Khmer Merah yang diputar pertama kalinya di Pailin pada awal Februari lalu. Film itu menayangkan ratusan tengkorak kepala manusia dan foto orang-orang yang dianggap sebagai pelaku pembantaian. ”Saya syok,” ujarnya. Tetapi ia tetap tak percaya kakeknya terlibat dalam aksi pembantaian itu. ”Tak ada bukti tentang itu.”
Siang itu, menurut Bunn Song, kakeknya sedang tidur di biliknya. Bunn Song hafal sekali kegiatan sehari-hari kakeknya. Ia tak lagi bisa membaca. Tapi setiap hari ia selalu memantau perkembangan dunia di luar biliknya. Sebelum tidur, dan setelah bangun pagi Nuon Chea mengikuti siaran berita dari televisi dan radio.
Pekan lalu, ada kabar baru dari Phnom Penh: pengadilan segera digelar pada akhir tahun ini. Apakah Nuon Chea siap menghadapi kenyataan ini? Yang terang, di samping mengikuti berita, menurut Bunn Song, Nuon Chea suka menonton pertandingan tinju di televisi. Mungkin ia menangkap: tak akan menyerah sebelum bertarung. Atau, mungkin ia percaya, nilai sebuah perbuatan bergantung pada niat—sekalipun akibatnya sebuah malapetaka menyeramkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo