Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Paradoks di Tepi Sungai Mekong

Pusat bisnis baru pun bermunculan hingga ke titik-titik di pinggiran kota. Keterbukaan ekonomi yang tidak disertai keterbukaan politik.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Restoran Lucky Burger di Preah Sihanouk Boulevard, Phnom Penh, Kamboja, Sabtu malam, awal Mei lalu. Puluhan remaja antre di depan kasir. Gaya berpakaian mereka mendekati tren remaja Jepang: gaya Harajuku.

Seorang pelayan perempuan memanggil nomor antrean dalam bahasa Khmer lewat pengeras suara. Beberapa pengunjung tampak bolak-balik mengecek; mereka tak dapat menangkap apa yang diucapkan si pelayan. Ya, Lucky Burger bagian dari Preah Sihanouk Boulevard yang sibuk dan berisik. Bunyi klakson motor dan mobil terdengar hingga ke dalam restoran.

Phnom Penh seperti kota-kota di dunia ketiga yang kaget: jalan-jalan kewalahan menghadapi pertumbuhan jumlah kendaraan. Sepeda-sepeda motor adalah raja jalanan—buatan Jepang bersaing ketat dengan buatan Korea. Toko-toko di sepanjang Preah Sihanouk Boulevard memajang sepeda motor keluaran terbaru. Kendaraan nomor dua setelah sepeda motor adalah mobil pribadi. Jumlahnya memang tak sebanyak sepeda motor, tapi meningkat cepat.

Begitu juga mobil-mobil mewah. BMW, Lexus, dan Mercedes-Benz, semuanya seri terbaru, dengan mudah ditemui di Phnom Penh. Spanduk besar di depan satu toko dealer mobil di kawasan Monivong Boulevard menawarkan pembelian mobil built-up dari Eropa dan Jepang.

Kesal dengan kesemrawutan lalu lintas di Phnom Penh, seorang teman, wartawan di radio Voice of Democracy, menyalahkan ketidaktegasan aparat kepolisian di Phnom Penh. Kemudian ia berkisah tentang pengendara motor yang berlaku seenaknya. Juga soal mudahnya seseorang untuk mengendarai sepeda motor. ”Begitu Anda bisa mengendarai sepeda motor, Anda bebas ke mana saja. Anda tak perlu mengurus surat izin mengemudi,” ujar wartawan itu.

Kamboja memang lagi berusaha mengatasi ketertinggalan akibat konflik bersaudara yang panjang. Pintu dibuka lebar-lebar. Arus globalisasi pun mengalir deras. Perubahan itu begitu pesat sampai ke gaya hidup mereka yang sudah kebarat-baratan. Budaya Khmer mulai ditinggalkan generasi mudanya. Di tengah kota, kafe bermunculan dengan segala pernak-pernik untuk menarik perhatian. Pengunjungnya tidak hanya para turis bule, Jepang, dan Korea Selatan, tapi juga warga Kamboja kelas elite. Sambil menatap Sungai Mekong yang melewati Phnom Penh, mereka menikmati steak, kue-kue, burger, dan anggur atau bir. Malam tak pernah lagi sepi di kota ini.

Melihat perubahan di Phnom Penh, tak sulit menebak kota ini memang dipersiapkan menjadi pusat bisnis. Hampir semua lahan di pinggir-pinggir jalan berubah menjadi gedung atau rumah toko. Pusat bisnis baru pun bermunculan hingga ke titik-titik di pinggiran kota.

Selain pusat bisnis, Phnom Penh adalah kota wisata sejarah. Sejarah pahit Khmer Merah banyak diukir di kota ini. Hanya, pengunjung tidak bisa bebas masuk melihat warisan kekejaman Khmer Merah itu. Di Choeung Ek Memorial—the killing fields—atau di museum genosida Tuol Sleng, pengunjung ditarik bayaran. Petugas mengatakan uang itu untuk biaya perawatan kedua museum—meski tak pernah jelas akuntabilitas penggunaan uangnya.

Kemajuan akses informasi adalah hal yang paling terasa di Kamboja. Bandingkan saja dengan negara jirannya seperti Laos, Myanmar, dan Vietnam. Di Kamboja, begitu mudahnya menemukan warung Internet. Di Phnom Penh, misalnya, cukup dengan berjalan kaki dari arah mana saja, warung Internet dengan mudah ditemukan. Harga sewa Internet pun relatif murah. Satu jam berselancar di Internet cukup membayar 4.000 riel atau US$ 1.

Warung Internet juga mudah didapatkan di luar Kota Phnom Penh, seperti di Battambang atau Pailin. Harga sewanya pun tak berbeda dengan di Phnom Penh.

Di Myanmar, kata Htar Htar Myint, wartawan di The Voice Weekly dan Living Color Magazine, untuk membuka Internet atau mengecek email, ia harus pergi ke kedutaan Amerika Serikat. Pemerintahnya tak membuka akses Internet. ”Sering kali saya mengirim berita dari sana. Tak ada cara lain,” katanya.

Pemerintah Kamboja memang jauh lebih terbuka dibanding Myanmar. Sayangnya, kedua negara ini memiliki persamaan soal akuntabilitas dan transparansi tentang jalannya roda pemerintahan. Keduanya menutup akses informasi kepada publik. Isu sensitif seperti korupsi, kebijakan keamanan dalam dan luar negeri, serta penggunaan bantuan asing tak bisa ditembus wartawan di Kamboja.

Direktur Program Radio Voice of Democracy Pa Nguon Teang terpaksa digelandang ke penjara karena menuntut pemerintah membuka akses informasi kepada wartawan. Ia dijerat pasal pencemaran nama baik. Ancaman pun sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Bahkan radio Voice of Democracy beroperasi tanpa memiliki frekuensi sendiri sampai sekarang. Radio ini satu-satunya yang tidak memiliki frekuensi di Phnom Penh. ”Kami sudah berusaha membeli frekuensi dari pemerintah, tapi tak ada respons,” ujarnya.

Sebagai satu-satunya cara bertahan, Teang meminjam frekuensi sebuah radio swasta di Phnom Penh. Malangnya, radio yang meminjamkan frekuensinya ini pun diancam akan bernasib sama dengan radio Voice of Democracy. Program siarannya sering berakhir dengan ancaman terhadap wartawannya. Sulit memang, tapi Teang tak mau menyerah.

Perjuangan sejumlah LSM dan wartawan agar pemerintah membuat undang-undang tentang pers tak kunjung mendapat jawaban. Semuanya mentok tanpa ada pernyataan resmi dari pemerintah.

Menurut kabar, hampir semua televisi swasta dikuasai pemerintah dan partai politik pendukungnya. ”Indikatornya gampang, kami tak pernah diberi ruang di televisi mereka untuk menanggapi pemberitaan dari pihak lain,” begitu Sam Rainsy berusaha memastikan akurasi kabar itu. Rainsy adalah pendiri partai politik Sam Rainsy, partai oposisi di Kamboja.

Perdana Menteri Hun Sen, dalam satu wawancara khusus di Asia Views tiga tahun lalu, menolak berkomentar soal penangkapan sewenang-wenang terhadap wartawan dan aktivis hak asasi manusia. Informasi itu didasari laporan wakil khusus PBB di Kamboja. ”Saya pikir kita harus melihat kembali siapa yang dimaksud dipenjarakan sewenang-wenang itu, dan itu jurnalis yang bermasalah dengan sistem pemerintahan kami,” ujar Hun Sen.

Awal Mei, di Phnom Penh, seorang aktivis buruh tewas ditembak. Penembakan itu terjadi di tempat terbuka, hanya sekitar 20 meter jaraknya dari hotel tempat saya menginap. ”Seorang pria menembaknya dari jarak dekat,” kata seorang pegawai hotel. Sampai sekarang, pembunuh aktivis buruh itu tak ditemukan.

Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus