Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Skenario yang Menghancurkan

Ketika berkuasa dulu, Khmer Merah mengatur segenap aspek kehidupan masyarakat. Rekaman kekejamannya terekam dalam tiga buah museum.

2 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mousa Sokha, 48 tahun, tak pernah melupakan pernikahannya di suatu hari yang cerah pada 1975. Ia berdiri di antara puluhan mempelai perempuan lain dengan jantung berdegup keras. Semuanya tampak seragam: memakai sandal, mengenakan perhiasan, berpiama hitam, dan masing-masing dengan selembar krama—kain katun bermotif kotak-kotak, khas Khmer Merah—melilit leher. Semua berharap: semoga pasangan prianya sehat walafiat.

Hari itu, di desanya, pemerintah Khmer Merah di Provinsi Kratie menyelenggarakan pernikahan massal, dan Angkar—begitu ia dan kawan-kawannya memanggil pejabat Khmer Merah—menentukan pasangannya. Mousa yang masih remaja kencur itu termasuk yang beruntung. Angkar telah memilih seorang pemuda yang menarik untuknya. Namanya Noh Loas, pengantar amunisi Khmer Merah. Hari itu, Mousa sangat bersyukur. Ia tahu persis, Angkar bisa saja memaksa dirinya menikah dengan serdadu yang terluka dan cacat akibat pertempuran. Bahkan yang sudah sekarat.

Ia tahu ada yang memilih bunuh diri ketimbang menerima pilihan Angkar. Itulah jalan orang yang putus asa. Tak ada yang berani menolak pilihan Angkar. Menolak berarti siap masuk penjara, menjalani siksaan, atau dipaksa bekerja keras di lahan pertanian yang jauh dari rumah.

Setelah mereka berpegangan tangan dan berjanji setia sampai akhir hayat, pesta pernikahan massal diakhiri dengan makan bersama. Mereka bahagia. Namun, baru tiga hari menikah, sang suami harus pergi, bertempur membantu para serdadu Khmer Merah. Hati Mousa memberontak. Ia memberanikan diri membujuk Angkar—mungkin karena ia sudah punya jabatan sebagai ketua asosiasi subdistrik perempuan di Provinsi Kratie saat itu. Tapi gagal. Mousa melahirkan putra ketika Noh Loas berada di medan perang.

Segalanya, termasuk keluarga, mesti digerakkan untuk revolusi; dan Angkar memutuskan mana yang baik, mana yang buruk. Dalam buku berjudul A History of Democratic Kampuchea (1975-1979) yang diterbitkan tahun ini, penulis Khamboly Dy melukiskan betapa Angkar menentukan setiap aspek kehidupan. Khmer Merah mengharamkan upacara adat, upacara agama, musik, tarian, atau pesta saat pernikahan. Sebab, keagungan dan kemeriahan pernikahan hanya membuang-buang waktu dan mengganggu produktivitas kerja. Khmer Merah yakin pernikahan hanya alat untuk melahirkan anak-anak yang akan melanjutkan perjuangan.

Dan Angkarlah yang akan mengendalikan kehi-dupan generasi baru itu. Anak-anak tidak perlu bersekolah. Mereka hanya diajari baca dan tulis seadanya. ”Yang terpenting adalah bekerja dan revolusi,” begitu dogma Khmer Merah.

Phin Ratha, 40 tahun, punya cerita khusus. Saat Khmer Merah berkuasa, pada 1975, usia Phin baru 10 tahun. Ia dan kedua orang tuanya dievakuasi ke Distrik Kiri Vong, Provinsi Takeo. Angkar memberikan satu rumah kecil bagi tiap-tiap keluarga. Setiap keluarga dipaksa bekerja dan harus makan bersama-sama. Phin sering lapar karena makanan yang tersedia terlalu sedikit. Ia terpaksa mencuri sayuran yang ditanam di sekitar rumah tetangganya.

Angkar kemudian menyuruhnya bekerja di sawah yang jauh dari rumahnya. Phin menolak bekerja di sawah. Itu bukan karena jaraknya yang jauh, melainkan karena ia takut lintah. Akibatnya, Phin sering dipukul pemimpin unit yang ditunjuk Angkar mengawasi kerja anak-anak.

Phin pun melarikan diri ke rumah untuk minta bantuan orang tuanya. Ia berharap mendapat perlindungan dari ayah-ibunya. Namun orang tuanya tak berdaya. ”Akhirnya saya bersembunyi di hutan, makan buah dan daunan, dan mencuri makanan tetangga,” ujarnya.

Tak tahan hidup di hutan, Phin kembali ke rumah. Malangnya, orang tuanya malah menyerahkan Phin ke kepala unit anak-anak. Di sini, ia menjalani siksaan dan disuruh bekerja di ladang serta mengumpulkan kotoran babi. Suatu hari, karena kelelahan, Phin terjatuh dan kotoran babi tumpah. Ia pun dicambuk dan helai cambukan mengenai matanya. ”Setiap hari mata saya terasa sakit. Dan akhirnya saya sekarang buta,” kata Phin.

Sepanjang Khmer Merah berkuasa (1975-1979), 1,7 juta warga Kamboja tewas. Sebagian karena eksekusi atau penyiksaan, sebagian lagi karena kelaparan. Kini catatan kekejaman Khmer Merah dapat dilihat di Museum Genosida Tuol Sleng, Choeung Ek Memorial, dan Museum Krang Tachan.

Di sudut jalan 113 dan 350, Phnom Penh, berdiri museum Genosida Tuol Sleng. Sedianya, gedung ini adalah sebuah SMA berlantai tiga. Namun Khmer Merah mengubahnya menjadi markas penyiksaan orang-orang yang antirevolusi. Sedikitnya 17 ribu orang disiksa, kemudian dikirim ke ladang pembantaian Choeung Ek, sekitar 15 kilometer ke arah barat daya dari Phnom Penh.

Tuol Sleng tempat yang menyesakkan. Di dinding sebelah kanan pintu masuknya tertera pengumuman: dilarang berbicara keras-keras, tertawa, mencibir, dan memakai topi. ”Ini untuk menghormati arwah para korban,” begitu alasan yang tertulis. Seorang penjual makanan di sekitar museum bercerita, arwah para korban masih kerap muncul. Arwah itu akan datang bila merasa terusik oleh perilaku pengunjung.

Museum Genosida Tuol Sleng terdiri atas tiga bangunan yang letaknya dideretkan seperti huruf U. Setiap gedung berdiri dengan fungsinya sendiri. Gedung bagian tengah digunakan sebagai ruang tahanan. Setiap orang disekap di dalam kamar dengan lebar 80 sentimeter dan panjang 1,5 meter. Rantai besi pengikat kaki diletakkan di sisi pintu. Tidak ada jendela. Hanya ada ventilasi kecil di atas pintu.

Gedung yang letaknya di sebelah kanan berfungsi sebagai tempat interogasi sekaligus penyiksaan. Peralatan untuk menyiksa diletakkan di setiap kamar. Lukisan adegan penyiksaan digantungkan di dinding kamar.

Memasuki area monumen ladang pembantaian Choeung Ek, para pengunjung diingatkan agar memelihara keheningan. Pengunjung diharuskan membuka sepatu atau sandal ketika memasuki area monumen yang memuat ribuan tengkorak kepala manusia, tulang-tulang, dan pakaian para korban itu.

Setelah keluar dari monumen, para pengunjung diperbolehkan memakai sepatu untuk mengelilingi area monumen yang luasnya lebih dari 2.000 meter persegi itu. Di sini terdapat beberapa kuburan korban penyiksaan: kuburan khusus untuk ibu-ibu dan anak-anak dengan tubuh telanjang, kuburan untuk orang tanpa kepala, dan kuburan khusus pria dengan tubuh yang masih utuh.

Satu pohon besar berada di dekat kuburan ibu-ibu dan anak-anak dengan tubuh telanjang. Dulu, kata seorang pemandu, di atas pohon itu diletakkan pengeras suara. Saat serdadu-serdadu Khmer Merah memulai aksi barbarnya, pengeras suara itu mengeluarkan lagu-lagu atau pidato-pidato, sehingga teriakan dan jeritan para korban tidak terdengar orang lain.

Di museum genosida Krang Tachan, di Provinsi Takeo, disimpan tumpukan tengkorak kepala manusia. Potongan-potongan pakaian korban masih tertanam di tanah di sekitar museum itu. ”Kami tak berani mengambilnya,” kata Say Sen, 53 tahun, penduduk yang ayahnya juga dibantai di sini. Menurut dia, area ini dulu wilayah kekuasaan Ta Mok, yang dijuluki ”si Tukang Jagal”. Ya, sebuah eksperimen untuk membentuk masyarakat yang serba ideal pernah dijalankan di negeri Asia Tenggara itu. Hasilnya: malapetaka yang tidak pernah terbayangkan.

Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus