Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA seni rupa abstrak membebaskan unsur-unsur kesenirupaan dari ”beban” membentuk sesuatu selain garis, bidang, dan warna itu sendiri, setidaknya dua kemungkinan tersaji. Bidang gambar dengan demikian terbebas dari yang ”duniawi” untuk lebih menyajikan yang di ”belakang” bentuk. Katakanlah sesuatu yang bersifat transendental, yang jauh mengatasi akal dan pikiran.
Kemungkinan kedua, seni abstrak bergerak sepenuhnya bersebalikan dengan yang pertama: bidang gambar hanya menyajikan sesuatu yang ”materialistik”, semata bersifat indrawi, mengesampingkan hal-hal yang ”batiniah”. Apa pun kata senimannya, bukankah lukisan cat minyak, misalnya, hanyalah cat yang disapukan pada kanvas?
Namun dua ”teori” tersebut sekadar menunjukkan kecenderungan, bukan kebenaran satu-satunya. Subyektivitas masing-masing orang menemukan dengan caranya sendiri setiap yang ”indrawi” memancarkan yang ”batiniah” dalam kadar masing-masing pula. Dengan kalimat lain, keindahan adalah subversif—dalam kaitan tulisan ini—ada di sembarang karya seni rupa, dengan kadar yang berbeda-beda menurut masing-masing orang.
Kecenderungan tersebut pertamalah yang ada pada karya-karya lukis dan karya tiga dimensi di Selasar Sunaryo, Bandung, 17 Juni-15 Juli ini. Tiga senirupawan (Amrizal Salayan, Diyanto, dan Ristyo Eko Hartanto) bukannya menyajikan karya-karya abstrak, melainkan karya yang masih ”membebani” unsur-unsur kesenirupaan dengan bentuk obyek namun kuat terkesan sesuatu yang ada di belakang atau di atas yang tampak menyapa kita.
Friendly Shore, lukisan cat minyak di kanvas karya Hartanto, merebut perhatian di antara karya-karya tiga dimensi Amrizal, justru karena sangat ”biasa”. Sapuan campuran warna kecokelatan, keokeran, sedikit hijau berkomposisi mendatar. Ini seperti gambar laut lukisan anak-anak umumnya, membagi bidang menjadi dua: gambaran langit di bagian atas dan laut di bawah. Lalu di antara langit dan laut ada daratan, berbukit. Namun, seperti telah disebutkan, ini bukan laut biru menyegarkan, melainkan laut dan langit serta daratan yang kecokelatan dan keokeran nan sayu. Lukisan berukuran satu kali satu setengah meter ini menyajikan ”fosil” pemandangan laut: ketika dunia berhenti dan hidup pelan-pelan kehilangan warnanya, kembali pada yang ”hakiki”. Mata sang pelukis menembus kekinian, berkelana mencari bentuk akhir sebelum bentuk itu kembali ke asal, ke ketiadaan.
Hampir semua karya Hartanto, 34 tahun, memberikan rasa seperti itu: berkisah tentang suatu kefanaan, suatu nasib yang niscaya, meski obyek lukisan berbeda-beda. Ada gambar tengkorak kuda nil; ada gambar dengan media potlot, melukiskan sepotong kepala manusia yang terkelupas kulitnya, memperlihatkan otot-otot. Dengan media potlot juga pelukis ini menggambarkan sosok perempuan telanjang nan transparan: jantung, usus, dan lain-lain terpampang jelas.
Semua yang ada menuju ke tiada, dan ini diterima sebagai kodrat atau nasib dari ”yang ada”. Tajuk pameran ini menyampaikan hal itu: ”amor fati” (kata ini tercantum di kulit depan buku katalogus), nasib yang bukan untuk ditolak, dilawan, melainkan dicintai. Tajuk yang tepat, karena pameran yang dikuratori oleh Agung Hujatnikajennong ini jauh dari suasana pasrah dalam makna menyerah, melainkan pasrah karena mencintai hidup dan karena itu menerima apa pun yang akan terjadi, termasuk yang buruk, fatum brutum (kata ini ditulis di sampul belakang katalogus). Namun amor fati pada hemat saya pas untuk karya-karya Hartanto, sedikit bergeser untuk karya-karya Amrizal dan Diyanto.
Dengan makna itulah, seingat saya, Hartanto berbeda dengan senior sealmamaternya, Seni Rupa ITB, Satyagraha (entah di mana senirupawan kelahiran 1948 ini kini). Pada 1990-an, Satyagraha memamerkan lukisan dengan potlot pada kertas, menggambarkan sosok-sosok manusia yang terkelupas sebagian kulitnya, tampak otot-otot dan tulangnya. Pada karya Satyagraha masih tersisa kesakitan atau perlawanan terhadap nasib. Dengan menyisakan tubuh yang masih terbalut kulit, ia menyajikan kontras: antara hidup dan mati. Pada karya-karya Hartanto, kontras itu bisa dibilang tak ada atau samar-samar. Wajah perempuan hanya dilukiskan sebatas hidung dan dibentuk dengan sekadar garis dan arsir, sekadar sketsa. Demikian juga rambut kepalanya yang panjang hanya garis-garis kesan. Sementara itu, jantung, usus, serta isi perut yang lain dilukiskan lebih detail. Atau tengok lukisan laut yang diceritakan di muka: kontras pun tiada, seluruh kanvas bersuasana kecokelatan dan keokeran.
Adalah lukisan Diyanto, 45 tahun, yang menyuguhkan tubuh-tubuh yang utuh, tak dikelupas kulitnya, namun terkesan lebih dekat ke karya Satyagraha. Lukisan-lukisan Diyanto berwarna, merah, oker, cokelat, dan pada serial Untuk dan Atas nama Kepedihan serta serial Memo latar belakangnya hampir sepenuhnya hitam-putih. Justru kontras hitam-putih itu yang lebih menguasai kanvas. Bahkan pada Ode to Sisyphus, latar belakang yang diwarnai juga tetap saja terkesan yang kuat adalah gambar batu yang hitam dan ”cahaya” putih seputar figur. Perlawanan terhadap nasib karena itu mengemuka—dan ini tentunya memang dimaksudkan oleh Diyanto melihat judul-judul lukisannya: ada kata kepedihan, ada tokoh Sisyphus sia-sia memanggul batu ke puncak gunung untuk kemudian batu itu meluncur kembali ke bawah dan seterusnya.
Bila tak ada kontras hitam-putih, Diyanto menyuguhkan kontras yang lain. Lihat Morning Glory VII, lukisan cat minyak berukuran dua kali tiga meter itu. Sesosok jenazah tergeletak di batu dan burung-burung hitam siap menyantap sosok itu. Itulah kontras yang lain tersebut: antara manusia yang tinggal jenazah dan burung-burung yang hidup.
Pada pameran kali ini Diyanto berbicara dengan satu bahasa figur: baik figur yang sendiri maupun yang ditampilkan dalam satu pemandangan terkesan figur yang sama oleh karena pewarnaannya. Manusia pada karya Diyanto bukan lagi makhluk hidup, melainkan lebih sebagai konsep. Hidup adalah kepedihan, adalah kesakitan, adalah kefanaan. Sangat mungkin ini ”disimpulkan”-nya setelah awal 1990-an, menurut katalogus, ia membuat banyak sketsa sosok manusia di ruang mayat dan ruang gawat darurat di beberapa rumah sakit. Ia lebih cocok dengan kata-kata di sampul belakang: fatum brutum, nasib yang buruk.
Sementara kedua senirupawan ini cukup menampilkan satu rekaman untuk sebuah kisah, Amrizal Salayan, 49 tahun, memerlukan serangkaian karya dalam satu judul guna melukiskan perjalanan menuju ke ketiadaan itu. Karya patungnya Ia Ada dengan Ketiadaannya memerlukan sembilan sosok untuk menceritakan proses menuju ketiadaan itu. Dari satu sosok lelaki komplet dengan baju dan celana, tanpa sepatu (maka sosok ini mengesankan sedang bersembahyang), sampai akhirnya hanya selongsong ”kulit” berbentuk seperti sosok manusia. Atau empat daun pisang serat gelas dari utuh hingga tinggal daun yang tersobek-sobek di sana-sini pada Cycle of Life Cycle of Death. Pada Ia Ada proses ke ketiadaan itu memang terasa. Pada Cycle, proses itu tak begitu kuat, tersobeknya sang daun kurang mewakili makna amor fati. Daun pisang di tangan Amrizal kurang mewakili hidup justru karena terasa artifisial: ia bentuk daun pisang itu seperti bentuk pocong. Ini mengingatkan saya akan selembar wayang kulit yang terasa mewakili hidup, sedangkan daun pisang Amrizal hanya sampai pada mewakili wayang kulit.
Seni rupa masa kini ternyata masih bisa menampilkan hal-hal yang transendental, dimensi di luar akal dan pikiran, secara kental. Atau, mengutip kurator pameran ini, karya-karya dalam pameran ini merupakan ”sebuah penjelajahan kehidupan”. Hidup yang ”seharusnya dihayati tanpa pamrih, tanpa pilih-pilih, amor fati, tulis Roy Voragen, dosen filsafat itu, di katalogus, mengutip Nietzsche. Namun itu tadi, dan ini terasakan pada karya-karya Hartanto terutama, ketanpapamrihan berdasarkan cinta bukan menyerah kalah. Dan laut serta langit itu memang indah, meski kita tahu itu (dan kita) sedang menuju ke ketiadaan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo