Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah sudah berapa nyawa melayang di tangan lelaki ini. Namanya Basri, 30 tahun. Sejak belia dia dikenal sebagai preman Poso yang menggentarkan kawan dan lawan. Sosoknya kekar, sekitar 160 sentimeter. Tato memenuhi sekujur lengan dan kaki, menambah kesan garang. Pada Kamis pekan lalu, kegarangan itu meleleh tatkala polisi menodongkan senjata laras panjang ke wajahnya. Dia dibekuk dalam pelarian di Kelurahan Kayamanya, yang berjarak dua kilometer dari Markas Kepolisian Poso.
Basri yang sempat bersembunyi akhirnya dibekuk polisi tengah dia berbaring di sebuah kamar yang berjarak tiga rumah di belakang Taman Kanak-kanak Alkhairaat 2, Kayamanya. ”Saya berharap agar warga lain yang masuk DPO (daftar pencarian orang) segera menyerahkan diri,” kata Kepala Polres Poso, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudy Sufahriady, seusai penangkapan Basri. Dua jam kemudian, harapan Rudy terkabul. Yudi Parsan menyerah. Keesok-an harinya, Aat ikut bertekuk lutut. Keduanya juga tercantum dalam DPO Kepolisian Poso.
Pada pertengahan 2006, polisi mengalungkan identitas buron pada 26 orang, termasuk Basri dan kawan-kawannya. Sampai Jumat lalu tersisa 12 orang yang masih berkeliaran. Selama bersama Basri, kelompok itu dituduh telah melakukan 17 kali aksi teror setelah perjanjian damai Malino. Di antaranya mutilasi tiga siswi SMA Kristen Poso, pembunuhan Kepala Desa Pinedapa, penembakan Pendeta Susianti dan Kongkoli, bom di beberapa pasar, serta perampokan uang Pemerintah Daerah Poso Rp 453 juta. Setelah Basri angkat tangan, kelompok buron ini bagai kehilangan komandan.
Hidup Basri diwarnai berbagai kekerasan. Pencurian dan perampasan dilakukannya sejak belia. Sifat itu berubah total ketika konflik antaragama pecah di Poso. Dia giat mengumpulkan jenazah korban pembantaian di Pesantren Walisongo yang menewaskan sekitar 200 santri pada Mei 2000. ”Sejak itu dia mendalami agama,” kata Jamil, kawan yang mengenal Basri sejak masa kanak-kanak.
Beberapa bulan setelah peristiwa Mei itu, datang rombongan santri dari Pulau Jawa. Mereka merekrut pemuda setempat untuk dilatih mempertahankan desa-desa muslim. Ada dua kelompok yang dilatih. Kelompok dakwah dan laskar perang. Basri masuk laskar perang Tanah Runtuh. Bersama 35 pemuda lain, dia dibimbing oleh Qital, seorang alumni Perang Afganistan. Keahlian Basri sebagai penembak jitu mulai tersiar ke luar.
Basri dan kelompoknya memilih bermarkas di sekitar Tanah Runtuh, Gebang Rejo. Di wilayah itu, berdiamlah Haji Adnan Arsal, seorang ulama yang amat dihormati. Menantunya, Hasanuddin, adalah sosok yang berpengaruh. Basri berada di bawah kendali Hasanuddin.
Setelah perjanjian damai Malino ditandatangani pada Desember 2001, pihak yang bertikai bersepakat menahan diri. Tetapi Hasanuddin tetap mempertahankan laskar perangnya dengan didukung oleh 10 orang terbaiknya. Sumber Tempo di Kelompok Mujahiddin Kompak membenarkan hal ini. Dia bahkan memerinci nama mereka, yakni Basri, Brur, Wiwin Kalahe, Tugiran, Hamdara Tamil, Nanto Bojel, Amril Ngiode, Andi Ipong, Iwan Asapa, dan Yusuf Asapa. Basri mendapat tugas memimpin pasukan kecil ini.
Setelah ditangkap pada Kamis lalu, Basri menyatakan ada dendam pribadi yang sulit dipadamkan dari masa lalunya, yakni ketika sekelompok warga Kristen menyerang Desa Buyung Kateda, Juli 2001. ”Di sana 26 orang keluarga saya dibantai,” katanya di hadapan sejumlah orang, antara lain wartawan Tempo. Tubuhnya dibalut celana panjang hitam bergaris-garis putih dan kemeja lengan panjang biru tua.
Tugiran, salah satu buron yang ditangkap polisi pada 22 Januari silam, mengisahkan kepada Tempo latihan menembak yang pernah diberikan Basri kepada dia dan kawan-kawannya di Teluk Tomini. Dari atas perahu yang digoyang ombak, mereka harus membidik sasaran dari jarak 100 meter. ”Berhari-hari kita berlatih di tengah laut,” kata Tugiran.
Beberapa orang yang mengenalnya menyatakan Basri adalah orang yang tidak ragu-ragu mencabut nyawa temannya sendiri bila mereka berani menjadi mata-mata polisi. Budianto dan Sugito—dua tetangganya—dia habisi pada Agustus 2005.
Selama masa pengejaran Basri, polisi beberapa kali mengincar rumahnya. Terakhir dalam dua kali operasi penangkapan buron Poso pada Januari lalu. Basri selalu lolos—hingga akhirnya dibekuk pada Kamis lalu.
Agung Rulianto (Poso), Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo