Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAPAL Nggapulu dari Jakarta baru saja merapat di Pelabuhan Pantoloan, Palu. Farihin, salah satu penumpang, bersiap turun. Tiba-tiba sejumlah lelaki datang menyergap. Barang-barangnya digeledah. Ternyata mereka polisi yang sedang menyamar.
Tamatlah misi rahasia Farihin. Dia putra Ahmad Kandai, aktivis Negara Islam Indonesia. Dan dia tertangkap basah menyelundupkan belasan senjata api dan hampir tiga ribu peluru ke Poso, wilayah konflik yang membara sejak 1998. Di kemasan peluru tertulis: PT Pindad. ”Saya tidak tahu di mana membelinya, karena saya hanya bertugas membawanya ke Poso,” ujar Farihin.
Pekan lalu, dia menuturkan kembali insiden pada dini hari awal Oktober 2002 itu, yang membuat dia diganjar dua setengah tahun penjara. PT Pindad adalah perusahaan khusus pembuat peralatan militer yang dulunya dikelola TNI Angkatan Darat. Pada 2002, industri di Bandung itu dialihkan ke Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kisah Farihin, kini 40 tahun, adalah satu contoh betapa senjata dan amunisi yang hanya dipakai kalangan tentara dan polisi bisa beredar cukup leluasa di Poso. Leluasa? Ya, Fahirin boleh gagal. Tapi sumber Tempo di kota itu memastikan, senjata Pindad cukup banyak jumlahnya di wilayah tersebut. Amunisi berikut senjata pada umumnya disita polisi dalam penyergapan.
Bukan berarti gampang memperolehnya di pasar gelap. Kalaupun ada, pedagang juga hanya sudi menawarkan badan senjata tanpa laras. ”Harganya Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta,” kata sumber Tempo yang pernah mengangkut senjata ke Poso. Pembeli harus mencari larasnya dari sumber lain. Harganya jauh lebih mahal—Rp 7-8 juta per batang. ”Saya pernah membelinya dari seseorang yang mengaku tentara,” si sumber meneruskan.
Peluru Pindad jauh lebih mudah diperoleh. Harga jagung—ini kata sandi untuk peluru di kalangan milisi bersenjata Poso—Rp 3.000 hingga 3.500 per butir.
Senjata unggulan Pindad adalah Senapan Serbu 1 (SS-1), yang memiliki empat varian, serta senapan serbu generasi teranyar, SS-2. Semuanya hanya dipakai oleh TNI dan Kepolisian RI.
Maka muncul dugaan, senjata Pindad di Poso ada kaitannya dengan kedua lembaga tersebut. Jenderal Endriartono Sutarto saat menjadi Panglima TNI tak menampik kemungkinan itu. Ia mengemukakan, senjata dan peluru itu bisa saja dicuri dari anggota TNI. ”Atau ada anggota TNI yang nakal menjualnya ke pihak lain,” kata Endriartono ketika itu di hadapan sejumlah wartawan Ibu Kota.
Ketika Tempo mengontak Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Sunarto Sjoekronoputra pekan lalu, dia menampik kemungkinan itu. Bahkan dia berani menjamin tak ada senjata TNI yang menembus Poso. ”Secara rutin kami mengecek gudang-gudang senjata dan sejauh ini tak ada laporan kehilangan,” ujarnya.
Pindad, sebagai penghasil senjata, juga tak lepas dari tudingan. Tapi perusahaan ini dengan sigap menepisnya. Timbul Sitompul, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pindad, menjawab begini kepada wartawan majalah ini pekan lalu: ”Pindad hanya memproduksi senjata menurut pesanan Departemen Pertahanan dengan mekanisme pengeluaran barang yang amat ketat.” Bahkan material pembuat senjata dan peluru yang dikirim ke bagian produksi, menurut Timbul, disesuaikan dengan jumlah pesanan.
Jika bagian produksi meminta ganti material karena terjadi kesalahan produksi, permintaan itu harus dilengkapi berita acara dan menyertakan bukti kerusakan.
Pindad membantah. TNI menggeleng. Dan Fahirin gagal menembus Poso dengan ribuan amunisi buatan Pindad, empat tahun lalu.
Faktanya, senjata-senjata itu masih beredar di Poso sampai laporan ini ditulis: sepanjang Januari lalu, polisi menyita tiga pucuk SS-1 made in Pindad dari tangan warga sipil.
Budi Setyarso dan Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo