Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhir Sunyi Seorang Presiden

Selama empat tahun Soekarno menjadi tahanan politik. Proklamator itu meninggal dalam kesepian dan putus asa.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden - sekalipun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan YME.

Pesan terakhir itu tercatat rapi dalam secarik kertas. Disampai-kan kepada putri sulungnya, Me-gawati Soekarnoputri, sebelum ajalnya datang menjemput, pagi hari 21 Juni 1970.

Pesan terakhir tak mudah dilupakan.- Apalagi di masa penuh duka, ketika sang bapak dikucilkan penguasa- baru da-ri dunia luar. Dunia yang boleh- ditatap- Soekarno hanya Wis-ma- Yaso, yang kini menjadi Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Ja-karta Selatan. Kecuali keluarga, tak ada orang yang boleh menjenguk. Bahkan keluarga harus- absen dulu ke Markas Polisi Militer Ko-mando Daerah Militer Jakarta Raya (Pom-dam Jaya). Tak ada televisi, radio, telepon, koran, atau majalah.

Sejak Supersemar keluar tahun 1966 dan gelombang aksi massa menuntut pre-siden pertama itu diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa mengalir deras, Soekarno praktis menjalani tahanan ru-mah di Istana Bogor. Ketika itu Soebandrio, Menteri Luar Negeri, dan Yusuf Muda Dalam, Menteri Urusan Bank Sentral, sedang diadili dengan tuduhan terlibat peristiwa Gerakan 30 September. Soekarno dianggap ikut bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Walaupun secara resmi Soekarno- ma-sih menjabat presiden, ia dilarang per-gi- ke Jakarta dengan alasan keamanan.- Paling banter, Soekarno hanya bi-sa ja-lanjalan ke pekarangan, dengan peng-awasan petugas keamanan.

Isolasi itu kian terasa berat pada Maret 1967 ketika Soekarno akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Sesuai dengan ketetapan MPRS, Soe-karno dilarang melakukan kegiatan po-litik. Komando Keamanan dan Ketertib-an (Kopkamtib) menetapkan karantina politik untuk presiden pertama RI.

Begitu Soeharto menjadi pejabat pre-si-den, keluarga Soekarno mendapat ra-dio-gram yang intinya memerinta-hkan Soe-karno meninggalkan Istana Bogor- dalam dua kali 24 jam. Soekarno pun minta pindah ke ”Hing Puri Bima Sakti”, tempat yang sekarang dikenal sebagai Is-tana Batutulis di Bogor. Soekarno seorang diri di sana. Istri dan anak-anak yang membesuk tak boleh meng-inap. ”Kami hanya bisa berkunjung dari jam dela-pan pagi sampai jam lima sore,” cerita Rachmawati.

Udara Bogor yang dingin membuat ke-sehatan Soekarno melemah. Rematik-nya kambuh. Ginjalnya ngadat. Tekanan darahnya tinggi dan ia menderita- ra-dang sendi. Selain itu, secara psikis Bung Kar-no mengalami- depresi berat. Dalam catatan me-disnya di-se-but-kan, ia menjadi su-lit- tidur dan pe-lupa. Dokter- acap kali mengupa-yakan ia istirahat de-ngan obat tidur se-perti valium atau largactyl.

Khawatir dengan kesehatan bapaknya,- Rachmawati menemui Soeharto yang ba-ru menjabat presiden di Cendana. Ia mem-bawa surat- ba-paknya yang meminta di-pindahkan ke Wisma- Ya-so, Jakarta,- meng-ingat su-hu di Bogor terla-lu di-ngin. Di-kabul-kan. Bung Karno dipin-dahkan ke Wisma Ya-so. Tim dok-ter yang ba-ru juga di-bentuk untuk meme-riksa dan merawat Soe-karno.

Tapi penjagaan di Yaso j-ustru superketat. Keluarga tak bebas mene-ngok. Ma-lah, suatu kali pada awal 1969, Soe-karno sama sekali tak bisa di-sambangi- selama tiga bulan. Seluruh ba-rang ke-perlu-an Soekarno, makanan sehari-hari dan pakaian, diantar sampai pos penja-gaan. Saat itu presiden pertama RI ini te-rus diperiksa oleh Kopkam-tib. Dan izin ber-kunjung itu baru di-per-oleh beberapa bu-lan kemud-ian se-telah keluarga mengu-rus izin itu ke kan-tor Korps Polisi Militer di Jalan Guntur, J-akarta.

Selama itu, Soekarno praktis sendi-rian dan tak ada kegiatan sama sekali.- Televisi diangkut, siaran radio dilarang- didengarnya, koran tak boleh masuk, bacaan pun disortir. Komunikasinya de-ngan dunia luar digun-ting habis. Begitu ketatnya, sampai-sampai untuk jalan-jalan di pekarang-an sekitar Wisma Yaso pun ia harus diantar petugas CPM.

Kegiatan yang ada hanya- me-nunggu istri dan anaknya datang berkunjung. Teman setianya ha-nya Si-ti, seekor an-jing- yang selalu mendongak ketika Bung Karno ba-ngun dan selalu tidur di bawah ranjangnya.

Dokter Mahar Mar-djono, salah satu ang-gota tim dokter yang merawatnya, sering melihat Soekarno mu-rung. Pernah suatu sa-at tiba-tiba Soe-karno merangkulnya sam-bil me-nangis tersedu.- ”Kamu satu-satunya- yang bisa menolong sa-ya.- Saya sudah tak ta-han lagi, saya ingin lihat-lihat kota,” kata Soe-karno seperti ditirukan Ma-har dalam otobiogra-finya, Mahar: Pejuang Pendidik dan Pen-didik Pejuang (1997).

Lalu ia pun mengeluh. ”Apa salah saya, kok saya diperlakukan se-perti ini?” Jika sudah begitu, Mahar mengaku hanya bisa mendengarkan. Waktu itu ia ha-nya bisa menjanjikan akan meneruskan permintaan Soekarno itu ke-pada ketua tim dokter. Permintaan itu memang di-sampaikan, tapi Bung Karno tak pernah lagi bisa melihat kota.

Kesehatan Soekarno semakin buruk. Ia mulai sulit berjalan, sakit gigi, geme-tar, dan nyeri kepala. Ginjalnya semakin merongrong ketika tinggal sepotong, setelah operasi ginjal di Wina, Austria. Yang membuat Rachma lebih nelangsa, ia melihat kesehatan bapaknya tak ditangani secara optimal.

Di Wisma Yaso, menurut Rachma, ba-paknya hanya dirawat Dokter Soerojo, yang bukan dokter ahli. Padahal yang di-butuhkan saat itu adalah ahli ginjal dan peralatan cuci darah. Tapi sayangnya peralatan dialisa, yang kala itu sudah diproduksi di Inggris, belum juga datang. Untuk menahan serangan nyeri, dokter memberinya obat penenang, Lyb-rium 5 miligram. ”Kadang-kadang ma-lah hanya vitamin,” ujarnya.

Kesal dengan semua derita itu, suatu ketika saat membesuk bapaknya, Rachma nekat memotret sang bapak yang tertidur di sofa. Tubuhnya bengkak dan pucat karena susah buang air besar. Aksi potret itu dipergoki suster perawat yang umumnya berasal dari Korps Wanita Ang-katan Darat. Rachma esoknya diinterogasi Pomdam. Foto itu hendak disita, tapi Rachma ngotot menolak.

Foto itulah kenangan terakhir dari sang bapak. Ginjal Soekarno makin rusak, kondisinya merosot. Lima hari kemudian, pada 11 Juni, Soekarno dilarikan ke RSPAD Jakarta. Ia tak sadarkan diri. Minggu, 21 Juni 1970, pukul 07.07, sang Proklamator wafat.

Sebagai penghormatan, Presiden Soeharto mengatur agar upacara pemakam-annya dilakukan secara kenegaraan. Ju-ga mengatur lokasi makam. Tak seperti wasiat dan kehendak keluarga yang ingin Soekarno dikubur di Batutulis, Bogor, Soeharto ingin pendahulunya itu dimakamkan di Blitar, di samping makam sang ibunda. Keberatan pihak keluarga tak mendapat tanggapan. Soeharto juga menganugerahkan gelar Proklamator Kemerdekaan.

Sa-tu soal penting masih tersisa. Tiga puluh- tahun setelah Soekarno meninggal da-lam status tahanan politik, tidak ada usa-ha memulihkan status dan nama-nya. Usaha anak-anaknya merehabilitasi- nama sang bapak pada tahun 2003 tinggal menjadi wacana.

Sampai sekarang tak ada kejelasan: benarkah Soekarno terlibat dalam Ge-rakan 30 September. Soal kejelasan ini, juga kejelasan apakah Soeharto pelaku kejahatan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia, akankah kita gantungkan sebagai bagian gelap dari sejarah?

Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus