Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Harum Bunga di Lantai Lima

Sejumlah tokoh rajin menyambangi Soeharto. Mereka yang berseberangan mulai mendekat.

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANTAI lima ruang perawatan VVIP Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, seolah-olah digoyang kecemasan, Kamis malam pekan lalu. Mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono berlinang air mata. ”Bapak harus operasi lagi,” kata-nya.

Anak-anak Soeharto, mantan presi-den yang dipanggil ”bapak” oleh Moer-diono itu, tak banyak bicara. Di sana ada Siti Hardijanti (Tutut), Siti Hedia-ti Harijadi (Titiek), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Paras me-reka pun murung ketika sang ayah disorong ke ruang operasi.

Soeharto, penguasa 32 tahun Orde Baru, dioperasi lagi malam itu. Tim dokter harus memasukkan selang sebesar- kelingking orang dewasa ke dinding lambung kirinya. Kamis siang, jenderal- bintang lima itu sesak napas, muntah, dan kembung perutnya.

Sejak menjalani pembedahan untuk mengerat 40 sentimeter usus besarnya, Ahad dua pekan lalu, Soeharto belum waras betul. Jangankan buang air besar, kentut saja ia tak mampu. Menurut dokter, fungsi ususnya belum normal.

Camelia Malik, penyanyi dangdut yang setiap hari datang ke tempat pe-rawatan Soeharto, mengungkapkan kecemasan di lantai lima itu baru reda setelah Soeharto dibawa ke luar ruang operasi. ”Bapak keluar dengan tersenyum,” katanya.

l l l

SEJAK Soeharto dirawat di rumah sakit itu, Kamis sepekan sebelumnya, tokoh dari berbagai kalangan berduyun-duyun menjenguk. Ada yang lewat pintu depan, beberapa lewat pintu sam-ping, bahkan ada yang menyusup melalui kamar jenazah—yang sebe-tulnya tak perlu-perlu amat. Beberapa di antaranya memberi penjelasan kepada- para wartawan, seolah-olah bertindak se-bagai juru bicara keluarga.

Di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina itu, keluarga Soeharto menyewa beberapa kamar. Satu kamar untuk pe-rawatan sang bapak, satu kamar untuk istirahat anak-anaknya yang terus berjaga di sana. Ada juga kamar lain yang kemudian dipakai menerima tamu.

Tentu tak semua pengunjung bisa bertemu Soeharto. Sebagian besar hanya- bisa bertemu anak-anaknya, di luar kamar perawatan. Mereka yang dianggap punya hubungan dekatlah—dengan kata lain ”orang dalam”—yang bisa masuk ruang perawatan.

Beberapa pejabat juga bisa masuk ruang- perawatan dan bercakap dengan Soeharto. Wakil Presiden Jusuf Kalla-, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Gubernur DKI Sutiyoso contohnya. Demikian juga Menteri Sekretaris Ne-gara Yusril Ihza Mahendra.

Para tamu yang bisa masuk bercakap ringkas saja dengan Soeharto. Tutut selalu ”menerjemahkan” perkataan ayah-nya karena lafalnya sudah kisruh. Menurut seorang jenderal yang sempat diterima Soeharto pada Jumat pagi, presiden tujuh periode itu mengaku lelah.

Sepekan sebelum masuk rumah sakit, Soeharto memang rada ”lincah”. Ia, misalnya, menerima mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, di rumahnya pada 3 Mei. Menurut satu sumber, Soeharto gembira menerima sobat lawas itu.

Mahathir bicara soal hasratnya menikmati masakan padang. Soeharto, dengan terbata-bata, mengaku rindu daging kambing. Maklum, di masa senjanya itu, Soeharto harus banyak menahan selera. Menu santapannya disortir habis oleh putra-putrinya.

Seorang pengawal Soeharto bercerita-, meski diladeni juru masak keluarga, tetap saja sajian di piring makan Soeharto harus ditengok putri-putrinya. -Biasanya Tutut, Titiek, atau Mamiek yang melakukannya.

Di atas meja makan, menu untuk Soeharto benar-benar terjaga. Tidak boleh- berminyak, tidak boleh manis, tidak boleh berlemak, apalagi mengandung kolesterol. Jeroan ayam, daging kam-bing, dan durian—makanan kesukaan—sudah lama tak tampak.

Tontonan televisi Soeharto juga dibatasi. Menurut Sugeng Suprawoto, yang akrab dengan keluarga Cendana, Soeharto gemar memelototi saluran- National- Geographic dan Discovery Channel. Ia juga suka sinetron silat se-per-ti Saur Sepuh. Tapi ia tak boleh menonton program berita.

Soalnya, kata Sugeng, pernah Soeharto terserang stroke setelah menonton- berita di televisi. ”Waktu itu ada be-rita- kenaikan harga minyak dan antrean panjang sekali. Tekanan darahnya langsung naik,” kata Sugeng.

Seperti di rumah, Tutut, Titiek, dan Mamiek selalu terlihat menjaga sang bapak. Dari luar keluarga, ada Moerdiono yang tak pernah meninggalkan ruang perawatan Soeharto.

Juan Felix Tampubolon, pengacara keluarga Cendana, dan be-berapa orang lain se-perti Camelia Malik, terlihat pergi dan da-tang ke sana. Merekalah orang-orang yang cu-kup akrab dengan keluarga Soeharto.

Camelia mengaku mulai dekat dengan ke-luarga Cendana setahun setelah Soeharto meletakkan kekua-sa-annya. Mia, panggil-an akrab Camelia Malik, kini sangat akrab dengan Mamiek. Ketika Soeharto hendak dibawa ke rumah sakit, Kamis dua pekan lalu, Camelia bahkan sedang bersama pemilik Kebun Buah Me-kar Sari, Cileungsi, Jawa Barat, itu.

Pelantun tembang Colak-colek itu mengaku sedang menuju kawasan Pl-uit, Jakarta Utara, untuk bersantap siang bersama Mamiek. Ketika mobil mereka baru melintas di jalan tol Tomang, Jakarta Barat, tiba-tiba Sweden, ajudan Soeharto, menelepon Mamiek. Ia mengabarkan Soeharto meng-alami perdarahan.

Camelia dan Mamiek balik arah ke Cendana. Setelah itu, Soeharto dibawa ke Rumah Sakit Pusat Pertamina dengan- mobil yang disopiri Bambang Trihatmodjo. Soeharto duduk di kursi- tengah ditemani Sweden. Di kursi paling- belakang, Camelia duduk diapit Tutut dan Mamiek. Seorang dokter kepresidenan duduk di samping Bambang.

Selain mereka yang sering tampak di tempat perawatan, ada beberapa nama lain yang sebenarnya dekat dengan Soeharto. Misalnya mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Ia sempat berbincang-bincang dengan Soeharto, sehari setelah mantan bosnya itu menjalani ope-rasi pertamanya.

Setelah bertemu Soeharto, Ismail pa-mit menuju Kejaksaan Agung, yang ber-jarak sepuluh menit jalan kaki dari ru-mah sakit. Pulang dari Kejaksaan, ia hen-dak balik lagi ke ruang perawatan Soe-harto. Namun, malang, ia jatuh ter-je-rembap ketika sedang masuk lift—mung-kin saking hebohnya. Tulang kaki-nya patah.

Ismail kini dirawat satu lantai di atas tempat perawatan Soeharto. Ketika Tempo menjenguknya, ia terkekeh: ”Mau sakit saja kok harus bareng sama Pak Harto.”

Menurut seorang kerabat Soeharto, Ismail termasuk rajin datang ke Cendana. Ia hampir setiap Kamis menemani pria 85 tahun itu mengobrol. Ismail kadang-kadang datang bersama mantan Menteri Perindustrian dan Pedagangan, Mo-hamad ”Bob” Hasan, dan Sugiyono, Ketua Badan Pengelola Taman Mini Indonesia Indah.

Mantan Hakim Agung Bismar Siregar pun sering datang ke Cendana. Demikian pula almarhum mantan wakil presi-den Sudharmono dan mantan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid. Mereka kadang-kadang terlihat menemani Soeharto mendengarkan celoteh perkutut di depan rumah.

Di situs Internet Soeharto Center, Saadillah menjelaskan kedekatannya de-ngan Cendana itu: ”Mudah-mudahan sa-ya terhindar dari orang-orang yang se-masa Pak Harto menjadi presiden selalu mendekat-dekat, menjilat, dan men-cari muka. Tapi waktu Pak Harto tak lagi men-jadi presiden mereka pula yang bersua-ra lantang menghujat, mencaci.”

Menurut Camelia Malik, setiap bulan Soe-harto menggelar pengajian di Jalan Cen-dana 10. Pemberi materinya tetap, yak-ni mantan Menteri Agama Quraish Shi-hab. Pengajian rutin juga digelar pa-da bulan puasa. ”Ba-nyak sekali yang ha-dir,” kata-nya.

Nah, yang pa-ling seru adalah ketika Soe-harto berulang tahun, dan saat Le-baran. Menurut Camelia, banyak mantan pejabat ha-dir pada dua perist-iwa itu. Ia menyebut, antara lain, Wiranto dan Su-bagyo Hadi-siswoyo.

Pada Lebaran terakhir, ka-tanya, beberapa tokoh yang dulu dianggap ”meng-khianati” Soeharto juga hadir. Contohnya mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung.

Akbar adalah satu di antara 14 menteri yang mundur dari kabinet terak-hir Soeharto pada 20 Mei 1998. Ketika itu ia menjabat Menteri Perumahan Rakyat-. Mundur massal anggota Kabinet Pembangunan VII, yang dipimpin Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, itu mempercepat proses kejatuhan Soe-harto.

Di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina, para tamu terus berdatang-an. Puluhan karangan bunga membuat tempat itu harum semerbak. Entah apakah harum bunga itu masih bisa dinikmati Soeharto.

Budi Setyarso, Widiarsi Agustina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus