Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA kendaraan itu melaju ke Tangerang, Banten. Sore itu, Jumat pekan lalu, sekitar pukul 15.00, empat penumpangnya, para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki janji bertemu dengan orang yang pekan-pekan ini paling banyak mendapat sorotan media: Antasari Azhar, ketua mereka sendiri. Tiba di rumah Antasari, di kompleks Giri Loka II di Jalan Gunung Bromo, Bumi Serpong, empat orang tersebut, Chandra Hamzah, Muhammad Yasin, Bibit Samad Riyanto, dan Haryono Umar, segera menuju salah satu ruang di lantai satu, tempat pertemuan itu digelar.
Hari itu tuan rumah tengah terkena flu berat. Mengenakan kaus berkerah cokelat, Antasari segera memimpin pertemuan itu. Sesekali ia menyeka hidungnya. Matanya sembap. ”Intinya, dia menyatakan untuk sementara tidak bisa meneruskan pekerjaannya di KPK,” ujar sumber Tempo yang mengikuti pertemuan itu. Sejumlah kerabat Antasari juga ikut dalam pertemuan. Wajah mereka terlihat tegang.
Rapat itu tak berlangsung lama. Tak lebih dari dua jam. Para tamu itu juga menanyakan perihal keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan terhadap Nasrudin Zukarnaen, Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia. ”Tapi ketua membantah semua,” kata Johan Budi, juru bicara Komisi. Akhirnya rapat yang berlangsung sekitar dua jam sejak pukul 16.00 menyepakati penonaktifan Antasari sebagai ketua Komisi.
Sore itu KPK langsung menggelar konferensi pers. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah mengumumkan, sejak hari itu Antasari berstatus nonaktif. ”Pelaksana harian pimpinan KPK akan diemban oleh empat pimpinan KPK secara periodik,” ujar Chandra. Menurut Chandra, untuk sementara, Antasari tidak akan ikut dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di KPK. ”Apa yang menimpa Ketua KPK kami serahkan kepada penyidik kepolisian untuk mengungkapkan apa sebenarnya terjadi.”
Sementara itu, sekitar satu jam sebelumnya, berita penting muncul dari juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan. Kepada para wartawan, Jasman menyatakan status Antasari sudah menjadi tersangka. Kejaksaan, kata Jasman, telah menerima surat pemberitahuan bersifat rahasia dari Markas Besar Kepolisian, yang menyatakan polisi sedang melakukan penyidikan terhadap kasus pembunuhan Zulkarnaen, dengan salah satu tersangkanya Antasari Azhar.
Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto juga menyatakan pihaknya, menurut permintaan polisi, sudah meminta Direktorat Imigrasi mencekal Antasari. Menurut Direktur Penindakan dan Penyidikan Keimigrasian, R. Muchdor, pencekalan Antasari dilakukan sejak Kamis pekan lalu. ”Kami langsung memerintahkan petugas lapangan menutup semua check point,” kata Muchdor.
Namun perihal status Antasari itu dibantah keras Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari. ”Status Antasari masih saksi,” ujarnya. Status itu, menurut Ari, tertera dalam surat panggilan Antasari ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan pada Senin pekan ini. Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar M. Irawan, juga menyatakan hal serupa. ”Masih saksi.”
TERSANGKUTNYA nama Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin meruyak setelah polisi, pekan lalu, secara berturut-turut menangkap sembilan tersangka pelakunya. Pembunuhan yang terjadi pada pertengahan Maret lalu itu diyakini polisi dilakukan para penembak jitu. Dua tembakan yang dimuntahkan di tengah keramaian di kawasan Modernland, Tangerang—saat Nasrudin baru pulang bermain golf—tepat mengenai kepala pria 41 tahun itu.
Tersangka pertama dibekuk di Tanjung Priok, Rabu pekan lalu, ketika hendak pulang ke Ambon. Dari tangan pria berbadan gelap yang mengaku sehari-hari tukang ojek itu, polisi menemukan sepucuk pistol jenis revolver. Dari sinilah, terungkap anggota lain ”tim” pembantai itu. Hari itu juga tim buru sergap Polda Metro membekuk empat tersangka lainnya. Mereka dua eksekutor yang mengendarai sepeda motor Yamaha Scorpio dan ”tim penghalang” mobil Nasrudin yang mengendarai Toyota Avanza. Menurut sumber Tempo, dua eksekutor itu sudah sangat terlatih.
Dari keterangan para pelaku lapangan inilah polisi memperoleh informasi siapa pemberi order dan dananya. Dari sanalah terendus peran sejumlah tokoh penting seperti Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka, yang menerbitkan harian Merdeka. Sigid ditangkap di kediamannya di Jalan Patiunus 16, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu dini- hari pekan lalu. Menurut seorang polisi, pengusaha ini diduga sebagai penyandang dana.
Selain menangkap Sigid, polisi kemudian juga memeriksa seorang perwira menengah yang diduga ikut berperan sebagai perekrut pelaku sekaligus pembagi dananya. Tapi sumber Tempo membantah pemberitaan yang menyebut perwira tersebut ditangkap. ”Dia dipanggil dan menghadap,” ujarnya perihal perwira yang disebut-sebut pernah menjabat Kapolres Jakarta Selatan dan Tangerang itu. Menurut sumber itu, upah pembayarannya sebenarnya sekitar Rp 500 juta. ”Tapi yang dibagikan Rp 250 juta.”
Polisi sendiri tampaknya menutup mulut rapat-rapat perihal nama perwira ini. Ketika Tempo menyebut nama perwira berinisial W berpangkat komisaris besar itu, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Oegroseno mengunci mulutnya. ”Semua masih di Badan Reserse Kriminal,” katanya pendek.
Selama dua hari polisi memeriksa para tersangka yang kini mendekam di tahanan Polda Metro itu. Dari sinilah, menurut seorang polisi, muncul nama ”AA”: Antasari Azhar.
SUMBER Tempo lain menyebut, nama ”AA” sebenarnya sudah muncul pada Maret lalu, sekitar sepekan setelah tewasnya Nasrudin. ”Itu dari pengakuan dalam berita acara pemeriksaan Rani Juliani,” ujar sumber Tempo yang dekat dengan polisi tersebut. ”Polisi saat itu sudah mulai curiga, ini soal perempuan,” ujar sumber itu.
Menurut sumber itu, pangkal terjadinya kasus itu lantaran kejengkelan Antasari terhadap Nasrudin. Sebelumnya, Nasrudinlah yang memperkenalkan Tika, panggilan akrab Rani Juliani, perempuan yang sehari-hari sebagai caddy di Padang Golf Modernland ini, kepada Antasari. Antasari dan Nasrudin sama-sama member di sana. Belakangan Nasrudin marah karena Tika, perempuan yang sudah dinikahinya secara siri itu, dilecehkan Antasari. ”Atas gangguan itu, Nasrudin berencana mem-blow up ke masyarakat,” ujar Jeffry Lumempouw, pengacara keluarga Nasrudin. Soal nikah siri ini, Andi Syamsudin, adik Nasrudin, mengatakan dirinya tidak tahu.
Menurut Jeffry, pada Februari lalu, Nasrudin menunjukkan sebuah SMS dari Antasari. Isinya meminta Nasrudin tidak melakukan hal itu. ”Adanya SMS itu mengarah ke peringatan buat Nasrudin,” kata Jeffry. Anggota tim advokasi kasus Nasrudin, Boyamin Saiman, membenarkan soal perempuan sebagai pemicu perselisihan antara Antasari dan Nasrudin. Ia juga mengakui ada SMS yang dikirim Antasari. Isinya memang bernada ancaman. Di antaranya, ”Jika dibeberkan, risiko tahu sendiri,” kata Boyamin mengutip bunyi SMS itu. Menurut dia, dari sini Antasari lantas mengeluhkan kelakuan Nasrudin ke temannya. Nah, di sini, menurut dia, ada dua kemungkinan: Antasari memang menyuruh melakukan pembunuhan itu atau temannya bertindak ”terlalu jauh”.
Tapi sumber Tempo lain menyatakan, sebenarnya pelecehan tersebut tidak ada. Menurutnya, pokok pangkalnya adalah pemerasan yang dilakukan Nasrudin. Nasrudin, yang mengetahui Antasari ”berminat” terhadap Tika, justru sengaja ”mengumpankan” perempuan 22 tahun berkulit putih dan berhidung bangir ini ketika Antasari menginap di sebuah hotel. ”Nasrudin mendobrak kamar itu dan menemukan bukti tentang mereka,” ujar sang sumber.
Berbekal bukti inilah Nasrudin ”mengganggu” Antasari. Selain meminta Antasari membantu menaikkan kariernya di Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Nasrudin juga memeras Ketua KPK itu. Ini yang membuat Antasari jengkel dan mengeluhkan kelakuan Nasrudin kepada orang-orang dekatnya, termasuk Sigid. ”Di situlah kemudian muncul rencana pembunuhan terhadap Nasrudin,” ujar sumber. Tapi sumber itu memastikan, sebenarnya dana operasi itu bukan dari Sigid. ”Ada pengusaha lain yang memberinya.”
Benarkah Antasari bakal terjungkal lantaran kasus seperti ini? Kepada wartawan yang menyerbu rumahnya pada Kamis malam pekan lalu, Antasari menegaskan semua itu tak benar. Ia menyebut sudah mengetahui tuduhan dirinya terlibat urusan perempuan dari Internet dan SMS. ”Semua itu tidak benar,” ujarnya. Soal Nasrudin, ia mengakui mengenalnya sebagai sumber pemasok informasi kasus korupsi di RNI. ”Kami justru melindunginya,” katanya.
Pengacara Antasari, Ari Yusuf Amir, juga menegaskan semua ini hanya fitnah. Dia juga membantah adanya SMS ancaman dari Antasari. ”Itu bisa dikirim siapa saja.” Ari menduga ada upaya pihak tertentu di balik ini untuk melakukan pembunuhan karakter Antasari. ”Mungkin ada orang yang merasa terusik atau terganggu dengan upayanya menegakkan hukum,” ujar Ari.
Adapun Rani kini lenyap bak ditelan bumi. Saat Tempo mendatangi kediamannya di Kampung Kosong, Tangerang, Kamis pekan lalu, rumahnya kosong melompong. Menurut sejumlah tetangga, Rani dan orang tuanya sudah pindah ke Serang.
Polisi sendiri masih menutup rapat-rapat perihal kaitan Antasari dalam pusaran kasus ini. Tapi Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Susno Duaji, sudah memberikan tanda-tanda soal latar belakang kasus ini. ”Berlatar belakang pribadi,” katanya. Polisi memang terlihat superhati-hati menangani kasus ini. Menurut sumber Tempo, Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri baru memutuskan memeriksa dan mencekal Antasari setelah pekan lalu mengadakan pertemuan khusus dengan Kepala Polda Metro Jaya.
Sumber Tempo di Markas Besar Kepolisian menyebutkan, kasus pembunuhan Nasrudin ini telah menjadi pertarungan sejumlah kepentingan. Sumber Tempo itu menyatakan, dalam hitungan hari aktor pembunuhan sebenarnya telah tercium polisi. Ini berkat informasi yang terekam dalam telepon genggam Nasrudin yang diamankan polisi. Namun kasus tersebut tak segera terungkap karena ada upaya pihak tertentu untuk meredamnya.
Belakangan, menurut sumber itu, pihak yang selama ini mendapat bantuan dana dari Nasrudin mendesak pihak Polda Jaya agar mengungkap kasus ini. Mereka bahkan juga memasok informasi dan menerjunkan anggotanya membantu polisi, hingga akhirnya kasus ini pun berputar kencang kembali dan memunculkan kabar mengejutkan itu: Antasari tersangkut.
Pekan lalu, tatkala Tempo menanyakan kebenaran informasi ini, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Pol.) Abubakar Nataprawira, menggelengkan kepala. ”Saya belum tahu soal itu,” katanya. Yang pasti, ujarnya, polisi tidak pernah berniat menghentikan kasus ini.
LRB, Ramidi, Rini Kustiani, Ismi Wahid, Ukky Primatantyo, Munawaroh
Dari Moderland ke KPK
14 Maret 2009
Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, ditembak di kawasan Danau Modernland, Tangerang. Sehari kemudian ia meninggal di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
17-18 Maret 2009
Polisi memeriksa istri Nasrudin, Irawati Arienda; mantan istrinya, Sri Martuti; dan Rani Juliani atau Tika, caddy yang juga teman dekat Nasrudin.
23 Maret 2009
Keluarga Nasrudin mengirim surat ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), meminta lembaga ini membantu mengungkap kasus Nasrudin.
14 April 2009
Kepolisian Resor Tangerang mengaku kesulitan mendapatkan saksi mata. Polisi membuka hotline di tempat kejadian agar masyarakat yang memiliki informasi atau mengetahui peristiwa itu mengirim SMS atau menelepon polisi.
29 April 2009
Tim Markas Besar Polri dan Polda Jaya menetapkan sembilan tersangka. Tujuh di antaranya ditahan, antara lain Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka.
1 Mei 2009
Kejaksaan menyatakan telah melakukan cekal terhadap Antasari. Pimpinan KPK menonaktifkan Antasari. Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari, membantah kliennya telah berstatus tersangka.
30 April 2009
Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji, membenarkan ada pejabat negara yang terlibat dalam pembunuhan Nasrudin. Mabes Polri mengeluarkan surat permintaan cekal (cegah-tangkal) terhadap Antasari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo