Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama naik pitam saat mengetahui tanggul Kali Sunter di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, dijebol pada akhir Januari lalu. Kontraktor Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) membongkar dam sepanjang 215 meter di depan Mal Artha Gading, Jakarta Utara, untuk memasukkan ekskavator guna mengeruk sedimen sungai. Geram terhadap aksi sepihak itu, Basuki memperingatkan Balai Besar.
"Ini konyol. Tidak ada lagi bongkar tanggul atas alasan apa pun," kata Basuki di Balai Kota, Senin, 26 Januari 2015. Gubernur yang akrab disapa Ahok ini menyatakan penjebolan sembarangan dinding tanggul justru merugikan proyek pengerukan sungai di Ibu Kota. Apalagi pengerukan dilakukan ketika memasuki puncak musim hujan, yang rutin menyapa Jakarta pada Januari-Februari.
Jebolnya tanggul menyebabkan sejumlah ruas jalan di Kelapa Gading terendam air luapan Kali Sunter. Banjir setinggi 10-50 sentimeter di Jalan Yos Sudarso dan Jalan Boulevard Barat, dari bundaran Sentra Kelapa Gading ke Mall of Indonesia, terbilang tak wajar. Sebab, tinggi muka air di Bendung Katulampa, Bogor, menunjukkan angka normal pada siaga IV. Laut juga tak sedang pasang. Lalu hujan dengan intensitas yang sama pernah terjadi pada awal Januari 2015, tapi tak mengakibatkan banjir.
Kepada Tempo, Basuki mengatakan masalah sedimentasi sungai di Jakarta sudah genting. Tak hanya menimpa Sunter, pendangkalan juga menimpa sungai lain di Ibu Kota. Penyebabnya pun beragam, dari sampah hingga permukiman liar di bantaran sungai. Tapi kondisi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk seenaknya menjebol tanggul. "Makanya kami mengebut pengerjaan normalisasi dan pengerukan sungai tahun ini," ujarnya.
Jakarta dilintasi 13 sungai utama. Selain Sunter dan Ciliwung, ada Kali Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Krukut, Grogol, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Cipinang, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Total panjang sungai yang menjadi nadi Ibu Kota itu mencapai 125,6 kilometer. Semua sungai yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane ini menderita pendangkalan.
Kepala BBWSCC Teuku Iskandar mengatakan kualitas 13 sungai di Jakarta menurun saban tahun. Problem utama pada sungai-sungai itu adalah mengecilnya tampungan alur, yang menyebabkan air meluap dari badan sungai acap memasuki puncak musim hujan. "Kapasitas airnya sudah mulai mengecil," ucapnya pada 16 Januari 2015.
BBWSCC mengeruk sungai untuk mengembalikan daya tampungnya. Hanya, upaya itu tidak gampang. Kepala Bidang Pelaksanaan BBWSCC Bastari mengatakan pengerukan baru bisa dilakukan terhadap sungai yang sudah dinormalisasi, yaitu dilebarkan, diturap, dan dibangun jalan inspeksi di kanan-kiri untuk akses masuk alat berat. "Kalau masuk saja sulit, bagaimana mau mengeruk?" ujarnya. Sungai yang belum diturap juga tak dapat dikeruk karena bisa berakibat longsor.
Sejarawan Restu Gunawan, dalam buku Gagalnya Sistem Kanal, menyebutkan pengerukan sungai di Jakarta sebenarnya telah dimulai pada 1960-an. Ketika itu pemerintah membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) pada Februari 1965. Kopro Banjir dibentuk sebagai tindak lanjut atas penanganan banjir yang membenamkan Grogol-daerah perumahan baru dan tempat tinggal para anggota parlemen-lima tahun sebelumnya.
Sayangnya, tugas Kopro Banjir menanggulangi banjir kerap menghadapi kendala di lapangan. Untuk memelihara Sungai Cideng dan Krukut, yang merupakan saluran drainase utama untuk melindungi Monumen Nasional, Menteng, dan Kebon Kacang, misalnya, Kopro Banjir harus mengeruknya saban tahun. Padahal penduduk yang tinggal di sepanjang kedua sungai itu menumpuk sampah di pinggir sungai sehingga longsor ke sungai. Selain itu, mereka menjadikan sungai sebagai jamban. "Pembangunan rumah yang menjorok ke sungai sangat menghambat aliran air sungai," kata Restu.
Problem serupa rupanya masih dijumpai hingga saat ini. BBWSCC, yang notabene kelanjutan Kopro Banjir, menerima nasib serupa: mengeruk sedimen di segmen Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Daerah langganan banjir ini belum dinormalisasi lantaran dijejali permukiman padat. "Masuk saja susah, harus pakai perahu," ujar Bastari.
Tempo pada 16 Februari lalu melihat warga Kampung Pulo memilih membuang sampah ke kali. Tong-tong sampah plastik berwarna biru yang disediakan Komando Daerah Militer Jakarta Raya sejak Januari 2015 dibiarkan menganggur. Warga Kampung Pulo memilih membuang sampah di luar gang atau langsung ke sungai. "Semakin lama sungai semakin dangkal karena warga bandel," kata Usep Tahrudin, Ketua RT 04 RW 03, Kampung Pulo.
Siti, warga RT 01 RW 03, Kampung Pulo, terbiasa membuang sampah ke Ciliwung karena malas bila harus setengah jam bolak-balik jalan kaki hanya untuk membuang satu-dua bungkus sampah. Selain itu, ia mempunyai anak-anak yang harus dijaga di rumah. "Saya tidak bisa meninggalkan rumah terlalu lama," ucapnya.
Kebiasaan buruk warga Kampung Pulo membuat Ciliwung makin cetek. Sungai terbesar di Jakarta ini tadinya mempunyai kedalaman hingga enam meter lebih. Akibat tumpukan dan endapan sampah, kini Ciliwung yang melintasi Kampung Pulo hanya sedalam empat meter. Bastari mengatakan sedimentasi, yang umumnya disumbang lumpur dari daerah hulu, semakin diperparah oleh sampah. "Sampah tidak semuanya di permukaan, tapi ada yang tenggelam," ujarnya.
Ahmad Safrudin, pegiat konservasi sungai dan ketua peneliti Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, mengatakan kegiatan pengerukan sungai-sungai di Jakarta sejauh ini belum berdampak maksimal untuk mencegah banjir. Padahal dana yang digelontorkan telah mencapai triliunan rupiah. "Tahun 2009 saja sudah Rp 800 miliar untuk pengerukan sungai, tapi tidak kelihatan hasilnya," kata Safrudin.
Pengerukan rutin rupanya memang tidak dilakukan terhadap semua sungai di Jakarta. Menurut Gemala Susanti, Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, pengerukan rutin hanya dilakukan di Cisadane, Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Kanal Banjir Timur, dan Cilemah Abang di kawasan Cikarang. Ciliwung dikeruk setiap Juli-Agustus, Kanal Banjir Barat pada April-Juni, dan Kanal Banjir Timur setiap April-Juni. Ketiganya melintasi wilayah Jakarta.
Gemala mengatakan Balai Besar dapat langsung mengeruk Ciliwung dan Kanal Banjir Barat jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Namun, untuk Kanal Banjir Timur, Balai Besar harus lebih dulu berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Kanal Banjir Timur Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, yang juga berwenang mengeruk. "Tergantung kondisi fisik sungai dan kepastian untuk lokasi pembuangan sedimen," ujar Gemala.
Koordinasi antara Balai Besar dan Unit Pelaksana Teknis Kanal Banjir Timur biasanya dilakukan pada awal tahun. Mereka menyepakati titik-titik lokasi pengerukan dan teknis pelaksanaan di lapangan. "Kami punya bujet berapa, mereka punya bujet berapa," Gemala menambahkan. Balai Besar, menurut Bastari, biasanya menganggarkan Rp 20 miliar per tahun khusus untuk pengerukan-buat sungai sekaligus situ.
Bastari mengakui pengerukan sungai tak lagi seintensif dulu. Sewaktu zaman Kopro Banjir, pengerukan dapat dilakukan secara masif dan teratur karena wilayah Jakarta masih terbuka dan belum banyak penduduk. Seusai masa reformasi, bantaran sungai semakin dipadati penduduk. Kondisi ini mempersulit Balai Besar untuk rutin mengeruk semua sungai. "Medannya makin sulit dan pendanaan kurang sehingga (pengerukan) tak terlalu masif," ucapnya.
Bahkan jadwal pengerukan sungai untuk tahun ini belum keluar karena menunggu finalisasi biaya yang diajukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. "Untuk pembersihan 13 sungai diharapkan dapat dilakukan rutin. Usul dananya sedang diajukan dan diproses APBN-P-nya," kata Teuku Iskandar kepada Afrilia Suryanis lewat pesan pendek, 24 Februari 2015.
Mahardika Satria Hadi, Linda Hairani, Yolanda Ryan Armindya, Afrilia Suryanis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo