Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufiq Des memberi aba-aba kepada semua penumpang di perahu untuk bersiaga. Kata dia, pada jarak 20 meter di depan akan ada jeram setinggi 1,5 meter. Warga sekitar Ciliwung menyebut jeram yang berada di wilayah Beji, Depok, itu dengan nama Kebo Garang, yang artinya "kerbau kurus". Nama itu diambil karena bentuknya yang seperti seekor kerbau kerempeng.
Taufik, 58 tahun, pendiri Komunitas Ciliwung Depok, meminta kami tidak panik. "Kunci kaki di bawah bangku perahu agar tak kecebur kalau perahu tersungkur," ujarnya kepada Tempo, pertengahan Februari lalu. Perahu karet kian mendekat ke jeram. Jantung berdetak lebih kencang. Dan, dengan kecepatan sekitar 40 kilometer per jam, terjadilah yang harus terjadi. Blash!
Tiba-tiba saja perahu sudah berada di bawah. Seluruh badan basah kuyup terkena empasan puluhan liter air. Perahu pun sempat bergetar kencang dan oleng sebentar. Untunglah, semua penumpang selamat, tak ada yang terluka.
Hari itu Tempo tengah melakukan penyusuran Sungai Ciliwung bagian tengah ditemani para pegiat lingkungan. Ciliwung bagian tengah mengalir sepanjang 36 kilometer dari wilayah Cibinong, Kabupaten Bogor, sampai Pasir Gunung Selatan, Depok, Jawa Barat. Lepas dari daerah tersebut, sungai ini mulai masuk bagian hilir. Adapun Ciliwung bagian atas dimulai dari hulu di kaki Gunung Pangrango, Bogor, sampai ke Cibinong.
Berangkat dari Kampung Utan, Citayam, Bogor, pagi itu terasa sejuk. Di kawasan ini bantaran sungai masih ditutupi hutan bambu dan rindang pepohonan. Beberapa binatang liar dan burung terdengar bercuitan. Gerombolan burung raja udang menukikkan tubuh ke sungai menyambar ikan untuk sarapan. Panorama masih terlihat sangat alami.
Rombongan mendapat kabar bahwa air di Bendung Katulampa, Bogor, mencapai ketinggian 80 sentimeter atau siaga IV. Sedangkan di bagian tengah air diperkirakan mencapai kedalaman 10 meter. Hujan sedari subuh menambah deras arus sungai. Taufiq berseloroh, "Kondisi ini ideal untuk menyusuri Ciliwung."
Justru jika air tak begitu dalam, menurut Taufiq, akan sangat berbahaya karena harus melewati jeram terjal dan batu cadas purba berukuran besar. Batu cadas beragam ukuran ini masih banyak ditemui sepanjang aliran Ciliwung tengah. Saat menyusuri sungai hari itu, Tempo mencatat ada di lima tempat, yakni tiga di Kelurahan Kalimulya, masing-masing satu di Pondok Jaya Cikambangan, Depok.
Saat "pelayaran" mencapai kawasan Cibinong, pemandangan mulai berubah. Badan sungai mulai menyempit karena banyak pembangunan yang memakan badan Ciliwung. Di Jalan Raya Pemuda, Cibinong, misalnya, terdapat sebuah arena bermain yang memakan sempadan sungai. Tembok beton setinggi sekitar 10 meter memisahkan arena ini dan sungai. Terlihat dinding beton tersebut tak menyisakan sedikit pun badan sungai untuk menyerap air.
Hal serupa terlihat saat memasuki Kota Depok. Lebar sungai yang semula 40 meter kini tinggal 15-17 meter. Kali ini penyebab menyempitnya bantaran adalah maraknya pembangunan kawasan perumahan di pinggir Ciliwung.
Tempo mencatat ada 12 kompleks perumahan yang berimpitan langsung dengan Ciliwung, antara lain Perumahan Permata Depok dan Permata Regency di Kecamatan Cipayung; Perumahan Anyelir di Cilodong; Perumahan Alam Permai dan Villa Novo di Pancoran Mas; Perumahan Grand Depok City, Pesona 1 dan 2, Pesona Kayangan, Pesona Kayangan Mungil, dan Bukit Cengkeh di Sukmajaya; serta Perumahan Tugu Asri di Cimanggis.
Taufiq ingat, dua tahun lalu, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail mengeluarkan pernyataan akan melakukan moratorium pembangunan kompleks perumahan di sempadan sungai. "Nanti saya urus penundaannya," ujar Taufiq menirukan sang Wali Kota. Tapi toh pembangunan perumahan masih terus berjalan.
Menyempitnya badan Sungai Ciliwung diperparah oleh maraknya bangunan pabrik yang memakan daerah palung. Tempo melihat ada pabrik alat dan produk kesehatan serta dua pabrik pembuatan tahu yang berada di Kelurahan Kalimulya, Kecamatan Cilodong, Depok. Ketiga pabrik ini berdiri persis di palung sungai.
Persoalan yang mendera Ciliwung kini terpampang jelas di depan mata. Bentang sungai menyempit. Bantaran dijarah. Dan semua itu menyebabkan sedimentasi.
Mantan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Kementerian Pekerjaan Umum Pitoyo Subandrio mengatakan jarak ideal antara palung sungai dan bangunan rumah adalah 15 meter. Palung sungai merupakan titik tertinggi terhitung dari bibir sungai. "Artinya, bangunan baru diizinkan berdiri setelah 30-40 meter dari bibir sungai," kata Pitoyo. Jarak tertinggi sampai batas pendirian bangunan, ujar Pitoyo, adalah wilayah konservasi dan penyehatan sungai. "Fungsinya tak boleh diganggu gugat."
Tapi itu hanya berlaku di atas kertas. Bantaran sungai kini tak steril. Menurut Pitoyo, sekarang Ciliwung isinya manusia. Dia menunjuk bantaran di sepanjang Kampung Pulo, Jakarta Timur, hingga Kalibata, Jakarta Selatan, yang disesaki 70 ribu keluarga. Ditaksir semuanya 350 ribu jiwa!
Populasi sebanyak ini tentu membawa masalah tersendiri. Misalnya sampah.
Perahu mulai memasuki kawasan Pondok Jaya, Depok. Sejauh perjalanan hingga ke perbatasan Jakarta, sampah yang mengalir di permukaan sungai menjadi pemandangan jamak. Di jalur ini kerusakan Ciliwung diperparah oleh perilaku masyarakat yang membuang sampah ke sungai. Sejak tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Cipayung ditutup pada 2010, praktis kota ini tak lagi memiliki tempat pembuangan akhir.
Duparmin, anggota Komunitas Ciliwung Depok, mengatakan perilaku buruk ini tak hanya dilakukan warga sekitar bantaran sungai. "Tapi juga warga yang tempat tinggalnya jauh dari Ciliwung."
Selain berimbas pada kesehatan sungai, rombongan sampah ini mencemari sumber mata air di Kelurahan Pondok Jaya. Ada dua mata air yang dulunya digunakan warga Pondok Jaya dan Kalimulya. Namun satu mata air sudah tak berfungsi lantaran adanya endapan air sampah. Saat Tempo menciduk sedikit air dari sumber tersebut, bau anyir sampah menusuk hidung.
Hingga masuk ke wilayah Ibu Kota, endapan sampah sungai tak berkurang. Hal itu menjadi salah satu perhatian tim Tempo lain yang menyusuri rute ini dalam kesempatan sebelumnya. Tim yang ditemani personel Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia menyusuri sungai sejauh 35 kilometer dari Jalan Komjen M. Jasin, wilayah perbatasan Jakarta-Depok, sampai Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan.
Pagi itu muka air Ciliwung cukup tinggi. "Biasanya di sini ketinggian air hanya 3-5 meter, tapi sekarang naik jadi sekitar 8 meter," kata Bintang, anggota Mapala UI. Sehari sebelumnya, kawasan hulu Ciliwung memang tak henti diguyur hujan. Permukaan air dipenuhi sampah plastik, sebagian menyangkut di pepohonan di sepanjang bantaran.
Sesaat tim meluncur mengikuti arus, aroma detergen langsung menyergap hidung. Di kiri-kanan sungai terlihat lebih dari sepuluh pipa plastik menjulur ke sungai dari rumah penduduk. Air bening berbusa terlihat mengalir langsung ke Ciliwung. "Ibu-ibu lagi mencuci, nih," ucap Upa, rekan Bintang.
Selepas kolong jembatan Jalan Komjen M. Jasin, hiruk-pikuk lalu lintas sekejap sirna. Terasa udara lebih segar dan sejuk. Di ruas Kelapa Dua hingga Lenteng Agung yang berjarak sekitar 5 kilometer, bantaran Ciliwung memang masih cukup asri. Aneka pohon dan tumbuhan liar mendominasi pinggiran sungai. Kicauan burung liar terdengar di sela desiran air. Meski banyak rumah yang berdiri di pinggir sungai, jarak dengan bantaran cukup jauh.
Namun, tak jauh dari rerimbunan pohon, terdapat kandang sapi dan kambing yang berjejer. Dari kandang-kandang itu terlihat beberapa pipa pembuangan kotoran hewan menuju sungai. Dari pipa-pipa itu terlihat cairan kental hijau meluncur keluar. Jangan tanya bagaimana aromanya.
Masih di deretan yang sama dan tak jauh dari kandang hewan, terlihat asap putih mengepul melalui cerobong. Dari bangunan yang ditutupi seng tersebut terdapat tiga pipa yang diarahkan ke Ciliwung. Dari pipa-pipa itu keluar air putih dan berbusa. "Itu dari pabrik tahu," ujar Upa.
Memasuki kawasan Lenteng Agung, terdapat pengolahan sampah yang dilengkapi pukat penjaring sampah. Tempat ini dikelola Kelompok Swadaya Masyarakat RW 09. Menurut Hakim, 37 tahun, ketua kelompok, selain mengumpulkan sampah, kelompoknya mengolah instalasi pengolahan air limbah komunal. "Warga di sini sudah sadar pentingnya menjaga sungai," tutur Hakim.
Pemandangan hijau bantaran Ciliwung juga terlihat di sekitar kawasan Markas Komando Pasukan Khusus di Cijantung, Jakarta Timur. Di sini masih terlihat hewan liar seperti biawak dan burung. Sejak dulu prajurit Kopassus memang terlibat dalam program kali bersih yang dicanangkan pemerintah DKI Jakarta.
Selama dua setengah jam sejak keberangkatan, tim berperahu dengan suasana sekitar yang tenang. Sampai akhirnya suara bising kendaraan tiba-tiba terdengar sesaat memasuki kawasan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. Di bawah jembatan, perahu tersangkut tumpukan sampah dan tanah. Ketinggian air di sini hanya sebetis. Salah seorang anggota Mapala turun untuk mendorong.
Lima ratus meter dari kolong jembatan tol ke arah Jalan T.B. Simatupang-Pasar Rebo, terlihat saluran pembuangan dari sebuah pabrik besar. Air yang keluar terlihat berbusa dan hitam. Pabrik-pabrik berbagai skala juga terlihat di kawasan Pol Tangan, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Tercatat ada empat pabrik tahu kecil, dua pabrik tahu besar, dan empat peternakan. Mereka semua menyumbang pencemaran di Ciliwung. Seperti halnya deretan rumah yang berimpitan di bantaran.
Pendangkalan yang disebabkan oleh sumber limbah tersebut sungguh mengenaskan. Terlihat berbagai barang dibuang ke sungai: barang berbahan plastik, kayu, kemasan makanan, sofa, hingga kasur. Di sini juga ditemukan banyak riam kecil. Menurut Adit, skipper perahu Mapala UI, riam ini muncul akibat pendangkalan di dasar sungai.
Pendangkalan, penyempitan bentang sungai, dan pencemaran secara bersama-sama menyebabkan sungai mengalami penggerusan daya tampung. Sungai Ciliwung mengalami semua itu. Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Teuku Iskandar, hal serupa menimpa 12 sungai lain di Jakarta. Saban tahun tercatat kualitas 13 sungai di Ibu Kota terus menurun. "Kapasitas airnya sudah mulai mengecil," katanya. Sedangkan menurut Zach Smith, peneliti dari Singapura, sedimentasi bertambah 10 sentimeter saban bulan.
Akibatnya, seperti data yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kemampuan 13 sungai dalam menampung air sudah merosot tinggal 20 persen. Khusus Ciliwung kini hanya bisa menampung air sekitar 200 meter kubik per detik dari yang seharusnya 500 meter kubik. Mengenaskan.
Perahu kini memasuki Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, untuk melihat dengan gamblang hal yang kian mengenaskan itu. Di sini penyempitan Ciliwung semakin parah. Lebar Ciliwung yang semula 10-20 meter telah berkurang jauh. Penyempitan ini terjadi akibat penguasaan lahan di sekitar bantaran sampai memasuki sungai. Rumah di kawasan ini berimpitan dan berjarak sekitar satu meter dari sungai. Bau amis dari air sungai tercium ketika melintasi jalur ini. Aneka jenis sampah beriringan dengan perahu yang ditumpangi Tempo.
Tapi sepertinya segala kerusakan sungai itu tak membuat jeri warga di bantaran. Menjelang akhir penyusuran di Pintu Air Manggarai, sekelompok anak laki-laki berlompatan ke dalam sungai dari atas sebuah rakit kakus. Tak jauh dari tempat itu, terlihat cairan kuning dengan bau busuk mengocor melalui pipa plastik dari sebuah rumah. Tapi anak-anak itu tak peduli. Mereka tetap tertawa riang. Suaranya menyusuri sungai yang kian lumpuh….
Ali Nur Yasin, Amri Mahbub, Praga Utama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo