Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau busuk menggelitik bulu hidung begitu Tempo menjejakkan kaki di Kampung Pulo, Jakarta Timur, pertengahan Februari lalu. Aroma yang membuat nafsu makan luruh itu bersumber dari tumpukan sampah di sejumlah gang. Jenis sampahnya "nano-nano", ada plastik, kardus, sisa makanan, dan lain-lain. Semua campur aduk dan membentuk gundukan setinggi orang.
"Kami membuang sampah ke gang karena ada petugas yang mengangkut," kata Sari, warga RT 05 RW 03, Kampung Pulo. Cuma, ceritanya jadi lain setelah sepekan berlalu dan petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta tak kunjung datang. Sampah menggunung, bau tak sedap pun meruap. Gerombolan lalat lalu berpesta pora di atasnya.
Selain di gang, melempar sampah ke Sungai Ciliwung adalah kebiasaan lain warga Kampung Pulo. Sungai ini jaraknya sekitar lima meter dari permukiman. Padahal Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum jelas-jelas melarang warga Jakarta membuang sampah sembarangan. Ancamannya tak main-main: pidana maksimal 60 hari atau denda paling banyak Rp 2 juta bagi pembuang sampah ke jalan, sungai, jalur hijau, atau sarana umum lainnya.
Toh, aturan itu bak macan ompong. "Banyak warga yang bandel dan masih membuang sampah ke sungai," kata Usep Tahrudin, Ketua RT 04 RW 03, Kampung Pulo. Lantaran terbiasa membuang sampah ke Ciliwung, tong-tong sampah buatan tentara Komando Daerah Militer Jayakarta di Kampung Pulo tak digunakan. Apa boleh buat, sungai menjadi tempat sampah kedua.
Walhasil, aliran Sungai Ciliwung dipenuhi sampah buangan warga. Sampah yang dibuang ratusan warga di pinggiran Ciliwung itu merupakan salah satu biang banjir di Jakarta. Selain mencemari air, limbah itu membikin sungai menjadi dangkal. Kini kedalaman Ciliwung di Kampung Pulo berkurang hingga dua meter.
Derita Ciliwung masih belum selesai. Kualitas airnya kian memprihatinkan akibat kebiasaan lain warga Kampung Pulo-juga kampung-kampung lain di sekitar Ciliwung-yakni buang hajat. Tengok saja, di kanan-kiri sungai, bilik-bilik bertempel spanduk bekas menjadi tempat warga membuang hajat.
Saat menelusuri Ciliwung di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, awal Februari lalu, Tempo juga mendapati puluhan kandang sapi dan kambing berbentuk bangunan semipermanen berjejer di bantaran sungai. Tempat ini berjarak sekitar 30 menit dari pusat keramaian.
Pipa plastik sepanjang 30 sentimeter tampak keluar dari bawah kandang dan berujung di sungai. Dari dalam pipa, mengalir cairan kental berwarna hijau pekat dan berbuih. Tetesan cairan itu membentuk timbunan di bantaran sungai. Sebagian lagi langsung jatuh ke air dan mengalir sampai jauh. "Itu kotoran hewannya langsung dibuang ke sungai," kata Opan, salah satu anggota Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia, yang serombongan dengan Tempo.
Bersisian dengan peternakan, sebuah bangunan menyebulkan cerobong asap yang terbuat dari seng. Asap putih mengepul dari dalamnya. "Kalau ini pabrik tahu," ujar Opan. Sama seperti peternakan, limbah pabrik tahu ini juga dibuang ke sungai. Bau busuk tercium dari limbah putih itu.
Ahli sungai dari Fakultas Teknik Sipil UI, Firdaus Ali, menyebut ulah masyarakat yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah sebagai perilaku tak berbudaya. "Coba susuri pintu-pintu air yang ada di Jakarta dan Depok. Masak, ada tempat tidur, lemari, bantal, dan kasur di sana?" ujarnya.
Pitoyo Subandrio, mantan Direktur Sungai dan Pantai Kementerian Pekerjaan Umum, berusaha memahami perilaku semacam itu. "Mereka (hanya) terpaksa tinggal di sana karena tidak punya penghasilan," katanya.
Akhirnya, Ciliwung yang menanggung semua itu.
Erwan Hermawan, Yolanda Ryan, Praga Utama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo