Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAHKAH Anda membayangkan ada sebuah delta seluas 900 meter persegi di tengah Sungai Ciliwung pada saat seperti sekarang ini? Sungai yang membujur sejauh 109 kilometer dari kaki Gunung Pangrango, Bogor, dan bermuara di Teluk Jakarta itu sudah demikian parah menanggung derita: pendangkalan, pencemaran, hingga penyempitan. Toh, tanah endapan di tengah sungai berbentuk segitiga yang menjadi surga bagi berbagai fauna sungai itu ternyata masih bisa ditemukan. Tepatnya ia berada di Kampung Cilawet, Kelurahan Kalimulya, Depok, Jawa Barat.
Tim Tempo yang menyusuri Ciliwung selama dua hari sempat melintas di sekitar delta pada pertengahan Februari lalu. Saat itu terdengar cericit burung emprit dan raja udang bersahutan. Vegetasi pun mendominasi penglihatan dengan warna hijau segarnya. Dua ekor biawak seukuran paha orang dewasa cepat berlari memasuki delta saat perahu Tempo berusaha mendekat.?Hampir tak bisa dipercaya bahwa tak jauh dari kawasan nan asri ini berbagai masalah telah menggerus salah satu sungai terpenting di Pulau Jawa itu.
Inilah yang terjadi. Semakin ke hilir, Ciliwung kian kehilangan fungsi dan pesonanya. Tambah jauh memasuki Kota Jakarta, wajahnya kian kusam oleh limbah dan sampah. Ruang bagi aliran air pun menyesak karena terjadi penyempitan dan pendangkalan. Maka hukum alam yang lalu berbicara. Ketika daya tampung air menurun, luapannya akan mencari jalan keluar dan mengirimkan banjir ke daratan.
Banjir Ciliwung nyaris saban tahun melanda Ibu Kota-dengan "kekuatan" berbeda-beda. Pada 2002 dan 2007, serbuan air bah mencapai puncaknya. Lalu terakhir, pertengahan bulan lalu, Ciliwung kembali mengirimkan kelebihan airnya, meski tak sedahsyat dua banjir terdahulu.
Ciliwung sebenarnya bukan satu-satunya pusat perhatian saat musim banjir datang. Sebab, di sekujur Jakarta ada 12 sungai lain yang memiliki problem dan perilaku serupa. Ke-12 sungai itu adalah Sunter, Kali Mookervart, Angke, Pesanggrahan, Krukut, Grogol, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Cipinang, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Jika dijumlah, panjang sungai di Ibu Kota mencapai 125,6 kilometer. Dan, "Semuanya mengalami degradasi saban tahun," kata Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Teuku Iskandar.
"Daya tampung sungai di seluruh Jakarta berkurang 40 persen," ujar Zach Smith, peneliti dari Singapura yang pernah meneliti Ciliwung.
Tentu saja ini berbahaya bagi Jakarta kalau tak ditangani. Bayangkan apakah yang akan terjadi jika sedimentasi Ciliwung yang bertambah 10 sentimeter saban bulan, misalnya, tak diurus secara memadai? Pakar tata air Firdaus Ali mewanti-wanti, "Negara yang tak mampu mengolah sumber daya airnya niscaya akan kolaps!"
Dan Firdaus melihat negeri ini kurang serius menangani urusan air-tentu sungai masuk di dalamnya. Kata dia, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang tak memiliki kementerian sumber daya air. "Singapura saja punya," ucap dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia ini.
Pembaca, tak ada yang menginginkan negeri ini kolaps. Pemerintah untuk itu sudah meningkatkan pengerjaan normalisasi sungai dalam beberapa tahun terakhir. Tapi tentu ini adalah ikhtiar yang tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak ganjalan dalam mewujudkan program itu, baik dari segi penyusunan kebijakan maupun kegiatan di lapangan.
Kami menilai penting untuk mengungkap ihwal di balik nyaris lumpuhnya 13 sungai di Jakarta ini. Begitu pula bagaimana semua pemangku kepentingan berusaha mengatasi ancaman tersebut. Bahan-bahan kami kumpulkan lewat serangkaian wawancara dengan para ahli, pegiat lingkungan, dan warga yang terkait erat dengan sengkarut sungai ini. Reportase tentu saja kami lakukan, termasuk menurunkan dua tim untuk menyusuri Sungai Ciliwung sepanjang 65 kilometer. Ciliwung adalah cermin terbaik untuk memahami isi masalah 13 sungai di Ibu Kota.
Dan, Pembaca, semua itu tersusun dalam sebuah laporan panjang. Selamat menyimak.
TIM TEMPO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo