Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Al-Quran Braille untuk Tunanetra

Para muslim penyandang tunanetra mempelajari Al-Quran Braille. Mereka harus memahami dulu huruf Braille Latin sebelum Braille Arab.

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Muslim penyandang tunanetra mempelajari Al-Quran Braille.

  • Harus memahami dulu huruf Braille Latin.

  • Jumlah Al-Quran dan pengajarnya terbatas.

LANTUNAN ayat-ayat suci Al-Quran terdengar di Musala Hajid Busairi dan ruang makan Pesantren Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) di Jalan Parangtritis, Yogyakarta, Selasa, 28 Maret lalu. Seusai salat tarawih, satu dari puluhan santri, Rusyda Sakhi, mendaras kitab. Santri 13 tahun itu meriung bersama dua santri penyandang tunanetra lain membaca Juz 6 Al-Quran Braille di musala tersebut. Mereka meraba titik-titik Braille pada kertas dari kiri ke kanan. Sudah tujuh bulan Rusyda belajar membaca Al-Quran di pesantren itu. Santri asal Kediri, Jawa Timur, itu menuturkan, membaca Al-Quran Braille tak mudah. Dia harus mengurutkan huruf-huruf hijaiah yang merupakan kombinasi titik Braille pada huruf Latin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 “Harus memperhatikan pelafalan. Awalnya susah mengikuti,” ujar santri yang kehilangan penglihatan sejak lahir itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebanyak 50 santri laki-laki dan perempuan Pesantren Yaketunis mengalami kehilangan penglihatan total ataupun lemah penglihatan atau low vision. Yaketunis menerapkan pengajaran membaca Al-Quran dan nilai-nilai keislaman. Santrinya bersekolah di sekolah luar biasa dan madrasah tsanawiyah luar biasa yang dinaungi Yayasan Yaketunis. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dan tinggal di asrama. 

Supardi Abdul Somad, seorang difabel netra, mendirikan pesantren itu bersama Muhammad Solichin, Bushairi, dan Wiyoto pada 1964. Supardi-lah yang pertama kali mendapatkan Al-Quran Braille dari Direktur Jenderal Rehabilitasi Penyandang Cacat Departemen Sosial pada 1963.

Supardi membawa Al-Quran itu ke Perpustakaan Islam Yogyakarta dan mempelajarinya bersama Muhammad Solichin. “Bapak ingin difabel netra bisa membaca Al-Quran lebih gampang,” kata Muhammad Ichsanudin, anak Supardi.

Supardi menjadi Ketua Yaketunis, sementara Muhammad Solichin wakilnya. Program utama yayasan itu adalah menyelenggarakan pendidikan dan penerbitan Al-Quran Braille. Penulisan Al-Quran Braille pertama kali diadakan di Jalan Mangkubumi Nomor 38, Yogyakarta.

Santri Pesantren Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam atau Yaketunis sedang membaca Al Quran Braille di musala pesantren di Jalan Parangtritis, Yogyakarta, 28 Maret 2023. Tempo/Shinta Maharani

Supardi mempelajari Al-Quran dengan menghafal surat-surat pendek saat dia belajar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Dia mengasah kemampuan membaca huruf Braille saat mengikuti berbagai pelatihan di penampungan Rumah Sakit Dr Yap, yang kini menjadi Yayasan Mardi Wuto. Lima anak Supardi kemudian meneruskan pengelolaan yayasan itu. Ichsanudin kini mengelola asrama.

Untuk mempelajari Al-Quran Braille, para santri harus memahami huruf Braille dulu, kemudian belajar dengan metode iqra. Lima pengajar yang juga penyandang tunanetra adalah alumnus pondok itu. Mereka mengajari santri dari nol, yang tak bisa membaca huruf Braille sama sekali, hingga mahir. “Menjadi tradisi bahwa yang mahir dan pandai mengajarkan ke adik-adiknya,” ucap Ichsanudin.

Mereka mengelompokkan santri berdasarkan tingkatnya, dari pemula, lanjut, hingga mahir. Yayasan itu memperoleh Al-Quran Braille dari Kementerian Agama dan Kementerian Sosial serta sumbangan organisasi non-pemerintah.

Meskipun sudah ada bantuan dari beberapa pihak, jumlah mushaf untuk dipakai para santri masih terbatas. Mereka harus bergantian membaca. Padahal idealnya satu santri membaca satu mushaf. Al-Quran Braille lebih tebal dari Al-Quran biasa dan pencetakannya tidak bisa dilakukan pada kertas bolak-balik. Pada mushaf biasa, satu jilidnya bisa mencetak 30 juz. Namun tidak demikian dengan Al-Quran Braille, yang satu jilidnya hanya memuat satu juz.

Salah satu pengajar di Yaketunis, Kuswantoro, mengatakan pemahaman akan huruf Braille mempengaruhi kemampuan santri membaca Al-Quran Braille. Ada huruf dalam sistem Braille yang sama dengan dalam Al-Quran Braille, ada pula yang berbeda. Contohnya alif sama dengan huruf a, ba sama dengan b, dan kaf sama dengan k. Bila mereka sudah memahami kaidah Braille dan bisa menulis, pengajar tinggal menuntun mereka membaca buku iqra jilid 1-6.

Menurut lulusan Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta ini, selain jumlah Al-Quran Braille yang terbatas, kendala yang dihadapi adalah sebagian santri sulit melafalkan huruf dan menggerakkan jari.

Untuk menguasai bacaan Al-Quran Braille, para santri perlu berlatih secara intensif, termasuk melatih saraf motorik. Bila belajar dengan tekun dan rutin setiap hari, mereka hanya membutuhkan waktu sekitar dua bulan.

Kuswantoro, difabel yang mengalami low vision sejak lahir, mengungkapkan bahwa dia bisa lancar membaca Al-Quran Braille karena menempa kemampuannya terus-menerus. Dia tak pernah menargetkan santri untuk menguasai bacaan Al-Quran Braille. “Pengajaran berlangsung fleksibel sesuai dengan kemampuan masing-masing,” tuturnya.

Di Jakarta, Mitra Netra juga memberikan pembelajaran mengaji Al-Quran Braille bagi para penyandang tunanetra. Mereka membuka program pelatihan baca-tulis Braille dengan metode iqra sejak 2014. Muizzudin Hilmi, Kepala Bagian Rehabilitasi dan Diklat Mitra Netra, biasanya menjadi guru mengaji bagi mereka. Selain Muiz, beberapa karyawan Mitra Netra yang awas menjadi pengajar.

Biasanya ia membimbing mereka dari awal dengan metode iqra Braille. Tapi sebelumnya mereka harus memahami atau bisa membaca huruf Braille Latin. “Ini efektif untuk belajar, untuk mengenal huruf, harakat, atau simbol lain,” ujar Muiz.

Model pembelajarannya adalah satu guru mengajari satu murid. Tantangan muncul ketika terjadi pandemi Covid-19, saat pembelajaran dilakukan secara daring. Tapi sebagian murid Muiz sudah menguasai huruf Braille Arab sehingga ia tinggal memandu mereka dari jarak jauh. Muiz menjelaskan, sebelum masa pandemi, ada 10 murid yang belajar mengaji Braille. Mereka terdiri atas murid sekolah luar biasa dan sekolah inklusi serta mahasiswa yang menjadi difabel sejak lahir atau difabel baru di usia dewasa. Muiz dengan fleksibel membimbing muridnya secara daring ataupun tatap muka langsung pada hari-hari yang telah disepakati.  

Mereka menerapkan metode belajar dengan beberapa sesi, dari iqra, membahas tajwid, menulis Arab Braille, hingga menyetor hafalan. Mereka mendapatkan Al-Quran dari penerbitan Mitra Netra. Kitab ini diproduksi Perpustakaan Buku Mitra Netra yang sudah disahkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama. Saat ini pun sudah banyak Al-Quran dalam bentuk digital, misalnya yang berformat MP3, di YouTube, dan berupa aplikasi yang bisa didengarkan untuk menghafal ayat-ayatnya. Tapi, menurut dia, jika tidak menguasai Al-Quran Braille, mereka tidak mengetahui huruf dan simbolnya. Akan lebih baik jika mereka bisa menghafal Al-Quran dari penguasaan dan pembacaan huruf hijaiahnya. 

 • • •

DI Surabaya, pembelajaran Al-Quran Braille juga mulai meluas. Bermula dari rencana khataman khusus penyandang tunanetra, Kawan Netra kini mengadakan pelatihan rutin mengaji Al-Quran Braille. Saat itu, Desember 2020, Desy Nursriatul Fajariyah, koordinator relawan Kawan Netra, kesulitan mencari 30 orang yang bisa membaca Al-Quran Braille 30 juz. Kawan Netra lantas mencari hingga Sidoarjo dan Gresik. “Itu pun hanya dapat 15 orang,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Ria ini di Sekretariat Kawan Netra di Jalan Potro Agung, Surabaya, Kamis, 6 April lalu.  

Dari situ, muncul inisiatif mengkhatamkan Al-Quran secara berpasangan, satu penyandang tunanetra dengan satu pendamping non-difabel netra dari kelompok relawan. Seusai kegiatan itu, mereka mencari tahu alasan sulitnya mencari penyandang tunanetra yang mampu membaca huruf Braille. Rupanya, penyebabnya adalah tingkat kemampuan membaca Braille yang rendah di kalangan penyandang tunanetra, hanya 5 persen. Pada Maret 2021, Kawan Netra menyelenggarakan pelatihan guru Al-Quran Braille agar pengajarnya makin banyak dan kompeten. 

Santri tunanetra membaca Al Quran braille di Pondok Pesantren Anak Berkebutuhan Khusus KH Ahmad Dahlan, Banyuwangi, Jawa Timur, 31 Maret 2023. Antara/Budi Candra Setya

Pelatihan itu diikuti 22 orang dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Jombang. Setelah tiga bulan pelatihan, mereka dinyatakan lulus dan diminta mengajari para penyandang tunanetra di daerah masing-masing. Kegiatan mengajar mengaji pun dibuka. Mereka meluaskan kegiatan hingga ke Malang dan Madura. Guru tunanetra mengajari murid tunanetra. Kawan Netra hanya memfasilitasi kegiatan. Peserta yang belajar mengaji Al-Quran Braille pun beragam, dari anak-anak hingga orang lanjut usia. Tantangan muncul ketika mereka mengajari penyandang tunanetra lansia. “Kalau konsisten dan istikamah, sebenarnya cepat bisa kok belajar Braille itu,” tutur Ria.

Mereka mendapatkan Al-Quran Braille dari donatur dan selalu menanyakan penerbitnya. Tujuannya adalah menghindari kesalahan tulis karena sulit mengajukan komplain, seperti yang terjadi baru-baru ini menjelang masa puasa. “Kami hanya dititipi, tapi ternyata banyak kesalahannya,” ujarnya. "Karena tak ada nama penerbitnya, terpaksa kami sisihkan berdus-dus besar Al-Quran Braille ini."

Kesalahan diketahui karena para penyandang tunanetra punya daya ingat kuat. Jika mereka sudah mampu menghafal satu juz dan terdapat kesalahan tulis atau cetak, mereka bisa mengetahuinya. “Kalau di juz 1 sudah ada kesalahan, juz 2-30 otomatis kami sisihkan tanpa harus melihat ada kesalahannya atau tidak,” kata Ria.

Kawan Netra merupakan bagian dari Yayasan Urunan Kebaikan yang didirikan pada 2016. Selain memfasilitasi penyandang tunanetra belajar mengaji, Kawan Netra berfokus mendampingi pendirian panti pijat khusus dan kegiatan kelompok musik penyandang tunanetra. Kegiatan mengaji Al-Quran Braille baru akan dilanjutkan selepas Lebaran. 

Seorang santri sedang melafalkan Al Qur'an Braille dalam kegiatan Tahfidz Qur'an yang dibimbing langsung oleh ketua Pesantren ustadz Wijaya di Pesantren Tunanetra Raudlatul Makmufin, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 31 Maret 2023. Tempo/Magang/Muhammad Fahrur Rozi

Di Tangerang Selatan, Banten, Yayasan Raudlatul Makfufin menjadi salah satu tempat bagi para santri penyandang tunanetra menempa kemampuan membaca Al-Quran. Terdapat 26 santri yang terdiri atas 13 laki-laki dan 13 perempuan berusia 10-20 tahun. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Lampung; Demak dan Brebes, Jawa Tengah; serta Bogor, Jawa Barat. Santri tunanetra dewasa atau yang sudah berkeluarga dilayani melalui kegiatan majelis taklim setiap Ahad.

Mereka menggunakan buku panduan sendiri dalam versi Braille bagi santri tunanetra dan Braille yang dicetak dalam bentuk awas–tidak untuk diraba–buat guru-guru yang memiliki penglihatan baik guna mengajar para santri. Buku panduan tersebut berjudul Pandai Membaca Al Quran Braille yang disusun oleh tim Raudlatul Makfufin.

“Guru yang tunanetra mengajari santri tunanetra memakai versi Quran Braille, guru awas mengajari santri tunanetra dengan yang versi awas tadi,” ujar Ade Ismail, pengelola Raudlatul Makfufin.

Menurut Ade, adanya tantangan dalam pembelajaran Al-Quran disebabkan oleh latar belakang para penyandang tunanetra sendiri. Mereka, Ade menjelaskan, biasanya belajar lebih lambat karena masalah kepekaan mereka dalam perabaan. Menjadi penyandang tunanetra dewasa, mereka relatif kurang peka sehingga harus banyak berlatih. Tapi penyandang tunanetra anak atau remaja cepat membaca. Kebanyakan dari mereka mampu membaca Al-Quran Braille dalam tiga-empat bulan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Shinta Maharani dari Yogyakarta dan Kukuh S. Wibowo dari Surabaya menyumbang bahan untuk artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit dengan judul "Saat Santri Tunanetra Mendaras Al-Quran Braille".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus