Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Inflasi tahun ini diperkirakan 5 persen.
Inflasi 6 persen masih terhitung terkendali.
Pemerintah disarankan tak menaikkan harga BBM, listrik, dan elpiji.
JAKARTA — Lonjakan inflasi terjadi di berbagai belahan dunia. Indonesia berpotensi mengalami hal serupa. Terutama jika harga barang dan jasa yang diatur pemerintah atau administered price atau bahan bakar minyak (BBM) serta tarif listrik dan elpiji dinaikkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi di dalam negeri sudah menunjukkan tren kenaikan sejak awal tahun. Inflasi pada Januari sebesar 0,56 persen dan naik menjadi 0,95 persen pada April. Sedangkan inflasi tahunan tercatat mencapai 3,47 persen. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, inflasi tahunan diasumsikan 3 persen, sementara Bank Indonesia memperkirakan inflasi di kisaran 2-4 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia, Piter Abdullah, memperkirakan tahun ini inflasi mencapai 5 persen atau bahkan 6 persen. Pemicunya adalah pandemi yang mulai mereda sehingga mobilitas masyarakat lebih longgar. Aktivitas masyarakat tersebut membantu pemulihan ekonomi karena permintaan dan konsumsi bakal naik, terutama dengan momentum Lebaran serta Natal dan tahun baru pada akhir tahun.
Inflasi juga terdorong kenaikan pajak pertambahan nilai serta harga energi. Inflasi global juga berdampak ke Indonesia. Bahan baku dan penolong impor membuat biaya produksi tinggi. Walhasil, harga produk di dalam negeri naik.
Pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta, 1 April 2022. Tempo/Tony Hartawan
Setali tiga uang, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Eko Listiyanto, memperkirakan inflasi tahun ini bakal berada di kisaran 5 persen. Angkanya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi 2021 yang sebesar 1,87 persen. Alasannya, ekonomi semakin membaik tahun ini ditambah pengaruh kenaikan harga pangan dan komoditas global.
Untuk menghindari lonjakan inflasi, Eko menyarankan pemerintah menahan kenaikan harga BBM dan elpiji serta tarif listrik. “Memang konsekuensinya harus menambah anggaran subsidi dan mungkin ada isu subsidi yang tidak tepat sasaran,“ tuturnya. Namun menaikkan harga BBM, listrik, maupun LPG berpotensi menggerus daya beli jika diterapkan. Dampaknya bakal meluas hingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengatakan, tanpa kenaikan harga BBM, listrik, dan elpiji, realisasi inflasi tahun ini diperkirakan melebihi proyeksi pemerintah dan Bank Indonesia. Sebab, selain permintaan yang mulai membaik, ada potensi kenaikan harga barang perdagangan impor.
David mencatat indeks harga di tingkat produsen sudah mulai meningkat karena bahan baku dan penolong impor naik harganya sejak awal tahun sebagai dampak serangan Rusia ke Ukraina. Potensi kenaikan biaya produksi juga dibayangi risiko merebaknya kembali virus Covid-19 di Cina.
“Tapi persoalannya, belum semua mentransmisikan kenaikan ke konsumen karena memang mungkin mereka khawatir melihat daya beli belum pulih,” tuturnya. Kenaikan harga di tingkat konsumen diperkirakan terjadi bertahap sampai akhir tahun nanti seiring pemulihan ekonomi.
Warga berbelanja di Lotte Sopping Avenue, Jakarta, 11 Mei 2022. Tempo/Tony Hartawan
Piter dan Eko satu suara bahwa Indonesia tak akan sampai seperti Amerika Serikat yang terancam mengalami stagflasi atau inflasi tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang anjlok. Per Maret, tingkat inflasi di Negeri Abang Sam menembus 8,5 persen secara tahunan, angka tertinggi sejak Desember 1981. Atau seperti di Inggris yang mencatat kenaikan inflasi tertinggi sejak 30 tahun terakhir, yaitu mencapai 7,0 persen pada Maret lalu.
Di kancah internasional, inflasi beberapa negara menunjukkan tren lonjakan tinggi. International Monetary Fund dalam laporannya yang bertajuk "World Economic Outlook: War Sets Bank The Global Recovery" menyatakan bahwa kenaikan tersebut dipicu kenaikan harga komoditas dunia akibat Perang Rusia-Ukraina. IMF memperkirakan inflasi di negara maju bisa mencapai 5,7 persen. Sedangkan di negara berkembang, efeknya lebih besar lantaran inflasi diperkirakan bisa mencapai 8,7 persen.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Maxensius Tri Sambodo, menuturkan pertumbuhan inflasi di kisaran 5-6 persen di dalam negeri masih terhitung terkendali. “Sejauh pertumbuhan ekonomi lebih baik juga,” kata dia. Sebab, tanpa pertumbuhan ekonomi, artinya tidak ada kesempatan kerja baru yang tercipta untuk mengimbangi tergerusnya daya beli saat inflasi naik tinggi.
FRANCISCA CHRISTY | VINDRY FLORENTIN
Baca Juga:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo