Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Aktivis reformasi sektor keamanan menolak KSAD Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI.
Kasus pelanggaran HAM di masa lalu diminta diusut.
Negara dianggap seolah-olah sengaja memberi impunitas terhadap tokoh-tokoh militer yang disinyalir terseret kasus pelanggaran HAM.
JAKARTA - Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI. Mereka menilai pilihan Presiden Joko Widodo ini merupakan tokoh militer bermasalah lantaran diduga terlibat pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay, pada 2001.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—anggota Koalisi—menyatakan dugaan keterlibatan Andika dalam kasus pembunuhan Theys merupakan hal serius. "Jika Andika diangkat tanpa konsiderasi atau pertimbangan dugaan keterlibatannya dalam kasus itu, Presiden Jokowi kembali berbohong dan mengeluarkan janji semu kepada para keluarga serta korban pelanggaran HAM masa lalu," ujar Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fatia menyebutkan keterlibatan Andika Perkasa dalam kasus Theys terungkap dari surat yang dikirim Agus Zihof, ayah terdakwa Kapten Infanteri Rionardo, kepada Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal Ryamizard Ryacudu. Agus menyebutkan anaknya dipaksa mengakui membunuh Theys oleh Andika. Ketika itu, Andika adalah mayor yang bertugas di Papua.
Theys dibunuh pada 10 November 2001 setelah menghadiri peringatan Hari Pahlawan di Markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat di Jayapura. Ketua Presidium Dewan Papua ini diculik sekelompok orang yang diduga dari Kopassus. Kepala Kepolisian Daerah Papua kala itu, Komisaris Jenderal I Made Mangku Pastika, dari hasil penyelidikan, menemukan bahwa aktor pembunuhan tersebut adalah sekelompok orang dari militer. Kasus tersebut mendapat kecaman dari berbagai negara.
Theys Hiyo Eluay. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
Jenderal Andika pernah membantah terlibat kasus pembunuhan tersebut. Pada 2018, dia sempat mempersilakan aktivis HAM dan kelompok yang menudingnya membunuh Theys agar melakukan investigasi. "Kalau mereka mau menelusuri itu juga silakan. Enggak ada yang perlu saya khawatirkan," kata dia.
Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menyatakan kasus pembunuhan terhadap Theys sampai saat ini masih gelap lantaran tidak ada proses hukum atas kejahatan pelanggaran HAM. Dugaan keterlibatan Andika pada akhirnya hanya menjadi rumor tanpa pembuktian. "Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama karena kasus pelanggaran HAM selalu dibikin kabur," kata dia.
Charles menilai negara seolah-olah sengaja memberi impunitas terhadap tokoh-tokoh militer yang disinyalir terseret kasus pelanggaran HAM. Dia berpendapat Presiden Joko Widodo tidak serius menyelesaikan isu pelanggaran HAM. Justru, kata dia, Presiden dikelilingi orang-orang bekas perwira militer yang memiliki catatan gelap pelanggaran HAM.
Dia menemukan dua alasan Andika digadang-gadang sebagai calon Panglima TNI. Pertama, pemerintah cenderung tidak peka terhadap isu-isu perlindungan dan HAM. Kedua, Jenderal Andika sengaja dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertinggi di TNI. Karier Andika, menurut Charles, sangat moncer ketika Jokowi menjabat presiden.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, tak kaget atas penunjukan Andika sebagai Panglima TNI. Menurut dia, hal itu karena pemerintah selama ini afirmatif terhadap pelanggaran HAM, khususnya di Papua. "Karena orang-orang yang diduga terlibat pembunuhan dan tangannya sudah berlumur darah selalu akan naik pangkat hingga ditunjuk sebagai Panglima TNI," kata dia.
Menurut Theo, hal ini tanda bahwa tidak ada jaminan keselamatan dan HAM, khususnya di Papua, yang dibiarkan terus berkonflik tanpa dialog perdamaian. Menurut dia, penunjukan Andika juga menandakan Presiden Jokowi tak akan mengindahkan penyelesaian pelanggaran hak asasi di Papua. Dia khawatir hal ini bakal memicu meningkatnya eskalasi keamanan di Bumi Cendrawasih.
Theo mengklaim kepercayaan masyarakat Papua terhadap TNI kian mengendur karena penunjukan Andika sebagai calon Panglima TNI. Menurut Theo, masyarakat Papua selalu mengutuk pembunuhan terhadap Theys karena pejuang hak asasi manusia itu selalu berupaya melindungi warga Papua dari ancaman kekerasan. "Tapi negara ini tidak pernah mau jujur. Orang-orang yang menghilangkan nyawa Theys justru diberi penghargaan."
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, menyebutkan penunjukan Andika sebagai Panglima TNI merupakan upaya politis. Dia menengarai hal ini tak terlepas dari kedekatan mertua Andika, Abdullah Mahmud Hendropriyono, dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan.
Usman mengatakan Hendropriyono merupakan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) saat Megawati menjadi presiden pada 2001. Sedangkan PDI Perjuangan merupakan partai utama penyokong Jokowi. "Dalam banyak hal, Presiden bisa dianggap tidak memiliki otonomi untuk mengambil keputusan sendiri dan sangat bergantung pada kepentingan politik di sekitarnya," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan tersebut.
AVIT HIDAYAT | BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo