Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyerapan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis, seperti baju hazmat, buatan dalam negeri belum optimal.
Penyerapan APD produk lokal rendah diduga karena pemerintah masih mengimpor komoditas tersebut.
Rendahnya penyerapan APD buatan lokal kontras dengan kebutuhan yang sangat tinggi di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tanzil Rakhman mengungkapkan, penyerapan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis, seperti baju hazmat, buatan dalam negeri belum optimal. Padahal produk APD lokal itu telah memenuhi standar internasional. "Ironis," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizal menerangkan, APD buatan industri lokal itu telah mengantongi sertifikat seperti ISO 16604 level III untuk bahan baku poliester yang dikeluarkan Intertek Headquarter, New York, Amerika Serikat. Sebelumnya, isu sertifikasi sempat mengganjal pemasaran alat pelindung diri lokal itu. Kini, APD lokal berbahan baku poliester seratus persen lebih tahan terhadap kontaminasi zat kimia serta senyawa organik.
Rizal menduga penyerapan APD produk lokal rendah karena pemerintah masih mengimpor komoditas tersebut. Saat ini, kata dia, kapasitas produksi APD lokal sudah jauh melebihi kebutuhan. Namun volume impor produk yang sama kian tinggi. “Kalau tidak ada APD impor, seharusnya penyerapannya optimal,” ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Mei lalu, impor pakaian pelindung medis dengan kode Harmonized System 6210.10.19 mencapai 335.500 kilogram. Angka itu jauh lebih tinggi daripada impor periode April sebanyak 166.170 kilogram. "Alasan impor untuk apa?” ujar Rizal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengatakan penyerapan APD sebetulnya mulai membaik sejak mendapat sertifikasi internasional hingga level IV. Namun kemudahan impor APD yang diberikan pemerintah pada awal masa pandemi Covid-19 menyisakan pasokan berlebih. Pada waktu yang sama, pemerintah juga melarang ekspor APD, sehingga stok di produsen terlalu banyak. “Ada kemudahan impor, bahkan tanpa izin edar. Kalau barang sudah masuk, sudah pasti merembes ke mana-mana," ujar dia.
Redma pun mengeluh soal pembelian APD oleh Kementerian Kesehatan yang semakin turun. Pada April-Mei, pemerintah membeli 8 juta unit, tapi pada Juni lalu jumlahnya drop menjadi 3 juta unit. “Bahkan pada bulan ini belum ada pengadaan APD dari industri tekstil lokal," kata dia. "Kami terpaksa menjual langsung ke rumah sakit sambil menanti izin ekspor."
Sekretaris Perusahaan PT Pan Brothers Tbk, Iswar Deni, mengatakan kapasitas produksi APD akan disesuaikan dengan permintaan. Izin ekspor baru keluar pada Juni, itu pun untuk APD disposable. "Jadi, ekspor mungkin baru berjalan pada triwulan IV,” ujar dia
Rendahnya penyerapan APD lokal kontras dengan kebutuhan yang sangat tinggi di daerah. Kepala Puskesmas Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Frans Misi, misalnya, mengatakan ketersediaan APD level II untuk evakuasi pasien masih kurang. “Kami sudah memesan untuk mengantisipasi kekosongan stok,” kata dia.
Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan Budi Sylvana membantah anggapan bahwa lembaganya mengurangi pembelian APD lokal. Menurut dia, perhitungan pengadaan APD memakai skema kombinasi antara kebutuhan daerah dan penilaian pemerintah pusat. “Bulan ini kami segera memproses pengadaan selanjutnya," ujar Budi. "Perhitungan kami tidak per bulan, melainkan berdasarkan perkembangan pandemi yang puncaknya diperkirakan pada September-Oktober."
Menurut Budi, pengadaan APD melibatkan tim ahli pencegahan dan pengendalian infeksi agar mendapat produk yang sesuai dengan standar. Dia mengakui kualitas produk dalam negeri tidak kalah dengan barang impor. "Itu pasti nanti akan menjadi prioritas kami. Produk impor sudah tidak kami beli," ujar Budi.
M.A. MURTADHO | LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo