ALBANIA, 75 km di seberang Laut Adriatik dari Italia, memiliki bujur pantai yang sama indahnya dengan Montenegro dan Kroasia di utaranya, dan Yunani di selatannya. Sebanyak 3,3 juta penduduk negeri kecil bergunung-gunung yang luasnya hampir sama dengan Provinsi Sulawesi Selatan itu mengalami penderitaan yang lebih panjang di bawah rezim komunis ketimbang negara Eropa Timur lainnya. Albania seperti terselip hilang dari mata dunia karena ekonominya yang buruk, militernya tidak mencolok, dan secara politis terpencil di masa Perang Dingin. Selama 45 tahun, dari tahun 1944 sampai 1989, negeri itu tertutup dan sama terpencilnya dengan kerajaan Himalaya bagi tetangga Eropanya. Sedikit orang tahu, atau perduli, tentang kebrutalan para pemimpinnya atau penderitaan rakyatnya karena siksaan para pemimpin itu. Adalah Enver Hoxha, penguasa lalim Albania yang berkuasa dari tahun 1944 sampai matinya (tahun 1985). Ia pengikut komunis yang mempimpin perlawanan terhadap Italia dan Jerman yang menduduki Albania pada Perang Dunia II. Hoxha pendiri salah satu dari rezim pasca-Komunis pertama di Eropa. Ia mengambil kekuasaan di negara terbelakang, yang sebagian besar penduduknya muslim dan didominasi oleh kekuatan luar: kekaisaran Ottoman Turki yang melakukan tekanan pengawasan politik ratusan tahun, dan yang terakhir adalah dominasi orang- orang Italia yang setelah Perang Dunia I memberi pengaruh besar di bidang ekonomi selama zaman kerajaan Zog. Kerajaan itu sendiri tumbang ketika tentara Italia menyerbu di tahun 1939. Sepanjang hidupnya Hoxha adalah seorang Komunis ortodoks. Ia menjalankan kebijaksanaan ''berdikari'' (berdiri di atas kaki sendiri) dan membuat Albania makin lama makin terisolasi. Ia berpihak pada Stalin ketika Uni Soviet ribut dengan pemimpin Yugoslavia Josiph Broz Tito, tahun 1948. Ia kemudian bercerai dengan pemimpin Moskow pasca-Stalin, tahun 1961, dan mendukung Mao Zedong dalam perpecahkan Soviet-Cina. Albania keluar dari Pakta Warsawa di tahun 1968, dan menjadi satu-satunya negeri di Eropa yang tidak menandatangani Helsinki Final Act 1975, perjanjian tak mengikat untuk tak mengganggu gugat batas wilayah negara setelah Perang Dunia II, dan kerja sama di bidang hak asasi dan ekonomi, antara lain. Setelah kematian Mao, 1976, Hoxha putus hubungan dengan Cina. Dari Stalin, dan kemudian Mao, Hoxha menyerap sistem penindasan dalam bentuk yang paling keras. Kebijaksanaan itu diteruskan oleh penggantinya yang sudah ia persiapkan, Ramiz Alia. Alia baru mulai memodifikasi peraturan-aturan itu setelah tahun 1989, ketika gelombang revolusi menumbangkan komunisme di mana- mana di Eropa dan pelan-pelan menyelusup ke Albania. April 1990 Alia menyatakan minatnya untuk menandatangani Perjanjian Helsinki. Ia tampaknya berniat mengakhiri keterpencilan Albania. Beberapa undang-undang yang mengekang dilonggarkan: pasal yang menetapkan bahwa propaganda agama sebagai ''kejahatan'' atau proganda yang lain, misalnya ''agitasi dan propaganda melawan pemerintah.'' Tapi itu sudah terlambat, tak bisa lagi mencegah munculnya demonstrasi mahasiswa dan usaha ribuan warga Albania untuk hengkang dari negerinya. Barulah pada akhir 1990, karena tekanan publik, Alia setuju membebaskan tahanan politik, membolehkan berdirinya partai oposisi, dan menyelenggarakan pemilihan umum berdasarkan sistem multipartai di tahun 1991. Setahun kemudian, dalam pemilihan anggota parlemen 22 Maret 1992, Partai Demokrat, partai oposisi yang dipimpin oleh Dokter Sali Berisha, memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Alia mengundurkan diri dan Berisha menjadi presiden. September lalu Alia diajukan ke pengadilan sebagai tersangka yang menggelapkan dana rakyat. Ia kini dikenai tahanan rumah, menunggu diadili. Di permukaan, Albania tidak tampak tumbuh sebagai negara demokrasi baru seperti di negeri-negeri lain di Balkan dan Eropa Tengah. Beberapa partai politik terwakili dalam 140 kursi parlemen yang mayoritasnya dipegang oleh Partai Demokrat dengan 92 kursi dan Partai Sosialis (nama baru Partai Buruh yang komunis) dengan 38 kursi di parlemen. Kelompok intelektual yang tak puas dengan kebijaksanaan Presiden Berisha belum lama ini meninggalkan Partai Demokrat dan membentuk kelompok baru, Persatuan Demokrat. Beberapa grup nonpemerintah terbentuk di Albania. Di antaranya Komite Helsinki yang menuntut hak-hak asasi yang dijamin dalam persetujuan Helsinki diterapkan. Lalu ada kelompok bekas tawanan politik, dan Organisasi Perempuan. Tapi, berlawanan dengan lahirnya kemajemukan itu, kemampuan pemerintah untuk mempertahankan demokrasi tampaknya goyah karena beban peninggalan pemerintahan komunis. Ekonomi Albania mandek, sangat tergantung bantuan luar negeri, termasuk kiriman uang dan pakaian dari bekas warga Albania yang hijrah ke luar negeri. Pemerintahan Hoxha sungguh zalim. Ia sesumbar negerinya adalah negeri Atheis pertama di dunia. Ia melarang kehidupan beragama di negerinya, negeri yang 70% warganya muslim, 20% Kristen Ortodoks, dan 10% Katolik Roma. Ia mengharamkan penduduknya pergi ke luar negeri, juga melarang pemilikan mobil pribadi. Hoxha menyimpan arsip seluruh warga negara Albania. Arsip-arsip itu akan terus membayang-bayangi warganya dari satu tempat kerja ke kantor lainnya, sepanjang hidupnya. Ia melarang praktek-praktek hukum independen. Akibatnya ribuan orang yang diadili dan dijatuhi hukuman -- baik sebagai pembangkang politik maupun sebagai kriminal biasa -- sebelum tahun 1990 tak satu pun didampingi penasihat hukum. Beberapa di antaranya dihukum tanpa pernah diajukan ke meja hijau, sedangkan yang lain dijatuhi hukuman mati lewat pengadilan kilat. Bahkan sejumlah orang ''raib''. Di bawah Hoxha, ribuan orang Albania dipenjarakan karena ''kejahatan'' politik atau karena latar belakang kelas sosialnya. Tak seorang pun bisa memastikan berapa jumlahnya. Dan yang namanya dihukum itu bukan main lamanya: hukuman 30 atau 40 tahun sudah tergolong ringan. Tawanan-tawanan itu diperlakukan dengan kekejaman yang luar biasa. Yang dipenjarakan diberi hukuman tambahan persis ketika si tahanan hampir bebas. Yang di tempat-tempat pengasingan didera kerja paksa bagai budak. Keluarga tawanan juga mesti menanggung beban perih: diasingkan. Tidak hanya istri, suami, ibu, bapak, dan anak-anak tawanan, tapi juga saudara perempuan, saudara laki-laki, bibi, paman, keponakan laki-laki dan perempuan. Mereka ini dibuang ke daerah terpencil atau ke tempat yang sama tak enaknya -- untuk ikut merasakan penderitaan hanya karena ''kejahatan'' salah seorang anggota keluarganya. Dan hukuman ini akan diwariskan terus ke anak cucu. Kediktatoran runtuh, tawanan politik dan keluarganya dipulangkan dari pengasingannya. Mereka adalah wanita-wanita dan para pria yang tubuhnya telah kerontang, yang menuntut ganti rugi atas ketidakadilan yang mereka tanggung. Pemerintah kini bersimpati pada penderitaan mereka, tapi terlalu miskin untuk menolong mereka. Terbang menuju Tirana, ibu kota Albania, yang mula-mula tampak adalah pantai luas yang tak terurus bersambung dengan sebidang tanah pertanian yang datar dan luas membentang. Gunung-gunung melingkari pemandangan itu. Sebuah daratan menghampar sepanjang 45 km atau lebih sampai Tirana yang berlatar belakang jajaran gunung yang tak terjangkau karena kurangnya jalan. Begitu mendarat, sapi-sapi tampak merumput di pinggir landasan yang berupa hamparan blok-blok beton yang kabarnya bikinan para tahanan. Ada seorang tentara berjaga di tempat mendarat kapal terbang itu, lengkap dengan senapannya. Dan hanya seorang pemuda yang tampak melambai ke arah pesawat. Memang, hanya segelintir pesawat yang mendarat di Tirana setiap harinya. Namun ruang tunggu bandara penuh dengan orang yang datang dari tempat yang cukup jauh, hanya untuk melihat kapal terbang. Mereka cukup membuat gaduh. Dari bandara ke Tirana, jalan darat berkelok-kelok. Pemandangan sepanjang jalan adalah keledai-keledai, kereta kuda, dan domba- domba berkeliaran. Di ladang-ladang pertanian tampak wanita mengayunkan cangkul tuanya dengan lesu. Ke mana pun mata memandang, di daratan, di lereng-lereng gunung, sepanjang jalan, dan di kota, pemandangan di Albania ditandai dengan bungker semen yang bentuknya seperti iglo, rumah orang Eskimo. Bungker-bungker itu menghadap ke segala arah dan membingungkan. Kebanyakan dari bungker-bungker itu, yang kelihatannya muat untuk dua orang, dibangun sebagai basis- basis pertahanan kalau-kalau ada penyerbu datang -- yang tentunya tidak pernah muncul. Konon di seluruh negeri dibangun 700 ribu bungker, beberapa di antaranya di pegunungan tinggi. Itu dibikin setelah Soviet menyerbu Cekoslovakia tahun 1968. Pembangunan bungker-bungker ini pastilah akibat paranoia-nya Enver Hoxha. Pegunungan yang mengelilingi Tirana mengembuskan udara yang nyaman. Di kota itu pohon-pohon palem tropis dan pohon-pohon kayu jarum berjajar. Ada beberapa jalan besar yang lebarnya tiga mobil yang, katanya, dibangun tahun 1930-an oleh orang- orang Italia. Mereka melakukan penanaman modal besar-besaran di zaman Raja Zog. Namun gedung-gedung di kota itu, termasuk kantor pemerintahnya, sangat buruk dan jorok. Dindingnya rompal-rompal dan catnya rontok di sana-sini. Hotel Dajti, hotel terbaik di kota itu, juga peninggalan zaman penjajahan Italia. Deretan pohon menyambut tamu yang akan masuk ke bangunan yang cukup besar itu. Lobi dan ruang tamunya cukup luas, tapi mebel-mebelnya tampak tak pernah diperbarui, konon karena kapal yang mengangkut perabotan hotel itu tenggelam. Kamar hotel, jangan ditanya lagi, penuh kacoak. Meski obat pembasmi serangga sudah disemprotkan di kamar yang kotor itu -- sampai baunya menyesakkan napas. Tirana memulai harinya dengan suara azan yang bergema dari masjid. Presiden Albania, Sali Berisha, adalah seorang bertubuh besar yang menyenangkan. Umurnya 48 tahun. Ia dokter spesialis jantung, dulunya anggota Partai Buruh di rumah sakit tempatnya bekerja. Ia mulai terlibat dalam politik waktu ada demonstrasi mahasiswa. Desember 1990 ia membentuk Partai Demokratik, yang tiga bulan kemudian berkoalisi dengan Partai Buruh membentuk pemerintahan. Desember 1991 Partai Demokrat meninggalkan pemerintah. Mereka menolak negerinya terus di bawah ketiak Komunis dan mereka menuntut diadakannya pemilihan umum. Maret 1992 pemilihan umum diselenggarakan. Partai Demokratik- nya Berisha menang. ''Setelah pemilihan itu kami merasa terjerembab di sebuah lubang kosong, '' ujar Berisha. ''Masyarakat kami penuh dengan bayang-bayang dan hantu masa lalu. Tapi kami punya titik awal yang nyata.'' Ia merasa perlu menyudahi kejahatan dan kekerasan di jalanan, yang telah mencapai tingkat yang mencemaskan. Negeri itu, katanya, sangat memerlukan konstitusi baru, yang menjamin hak- hak asasi dan aturan-aturan hukum, dan yang bisa mengembalikan fungsi pers yang selama ini disebutnya sebagai pers ''tak bertanggung jawab''. Ia ingin membayar ganti rugi pada bekas tawanan politik, dan percaya bahwa bekas aparat pemerintahan komunis harus dihadapkan ke muka hukum. Yang ia tak tahu adalah bagaimana memperlakukan arsip-arsip yang ada di tangan Sigurimi, nama julukan untuk polisi rahasia Albania. Arsip-arsip itu didapat oleh agen-agen Sigurimi, yang nama sebenarnya adalah Dinas Informasi Nasional. Banyak dari agen Sigurimi yang tetap berkantor di Dinas Informasi itu. Karena itu orang khawatir arsip-arsip itu tidak akan pernah dibukakan untuk umum oleh bekas-bekas pejabat lama dan kolaboratornya. ''Beberapa arsip itu bisa hilang,'' kata Perdana Menteri Aleksandr Meksi. ''Itu tak terhindarkan.'' Adalah Presiden Berisha yang mengatakan, ''Tanpa bantuan Amerika dan Eropa kami akan menjadi Ethiopia.'' Para penanam modal diduga tak berani masuk ke negerinya karena khawatir kerusuhan akan meletus di Provinsi Kosovo di Serbia, perbatasan dengan Albania. Kosovo, sebuah provinsi otonom, 90% warganya adalah etnik Albania. Dua setengah juta orang Albania hidup di Kosovo dan di wilayah tetangganya, Makedonia. Hak-hak orang Albania di Kosovo sudah lama dibatasi dengan ketat. ''Kami telah berusaha menyelesaikannya,'' kata Berisha, ''kami tidak akan membiarkan terjadi pembersihan etnis di Kosovo, dan sebuah konflik di situ akan menciptakan perang Balkan.'' Ada perjanjian dengan presiden Bosnia, November itu, bahwa Albania akan menampung sejumlah kecil pengungsi muslim Bosnia. Walaupun Albania miskin, menurut Misha Glenny dari BBC, negeri itu memiliki 70.000 tentara dengan 155.000 prajurit cadangan, hampir 600 tank, dan hampir 200 pesawat terbang. Ribuan senapan Kalashnikov dibuat di Kota Gramsh, sekitar 50 kilometer dari Tirana. Tapi ekonomi Albania memang bangkrut. ''Kami hidup dari bantuan luar,'' kata Perdana Menteri Meksi. Dua pertiga dari industri berat di negeri itu menganggur. Tingkat pengangguran diperkirakan antara 65% dan 80%. Dan tampaknya pengangguran cenderung menaik karena pemerintah hanya menawarkan gaji 80% kepada bekas pekerja bila mereka ingin bekerja kembali. Menurut sebuah perusahaan konsultan swasta, hasil industri Albania diperkirakan turun sampai 17% tahun 1991, dari sekitar 35% pada 1990. Inflasi, yang kini sekitar 500%, diramalkan akan terus naik. Pemerintah mencatu makanan pokok (tepung, gula, beras, minyak goreng, dan sebagainya) dengan menyiapkan keranjang makanan yang dijual sekali seminggu. Satu keluarga satu keranjang. Sebagai tambahan, pemerintah mengeluarkan subsidi 200 lek (sekitar US$ 2) untuk satu keluarga. Presiden Berisha berharap swastanisasi, terutama dalam bidang pertanian, dan beberapa telah mulai untuk bidang industri, akan memperbaiki keadaan ekonomi, ''Walaupun perlu 15 tahun lagi untuk sejajar dengan negeri lainnya.'' Tersebutlah seorang Osman Kazazi, Ketua Perkumpulan Bekas Tawanan-tawanan Politik, kini berumur 70 tahun. Ia menghabiskan 42 tahun dari umurnya dalam penjara, di kamp pekerja, dan dalam pengucilan di dalam negeri. Penderitaan panjangnya dimulai November 1944, ketika ia sebagai pemuda 25 tahun dari keluarga borjuis dijatuhi hukuman 15 tahun sebagai penjahat perang. Alasannya, katanya, karena ''Saya menentang komunisme.'' Hukuman 15 tahun penjara itu ditambah lagi lima tahun kerja paksa di kamp di Albania tengah. Setelah itu ia kembali ke Tirana, bekerja sebagai buruh harian, dan tetap berada di bawah pengawasan. Tahun 1960-an ia ditangkap lagi, dituduh melakukan ''agitasi dan propaganda''. Ia dihukum 10 tahun. Di penjara, ia dituduh mengorganisasi pemberontakan yang terjadi di rumah tahanan lain. Karena itu hukumannya ditambah 10 tahun lagi. Belakangan ia mendapat lagi tambahan hukuman dua tahun untuk mengoreksi ''kesalahan'' yang, katanya, dibuatnya selama persidangan. Sosok Kazazi mencerminkan penderitaannya: gigi yang rompal, kulit yang pucat, dan mata yang cekung. Kazazi dan tahanan lainnya kenyang dihajar di dalam penjara. Bila tak digantung dengan rantai, kaki direndam air dingin, atau dipaksa tidur dengan tubuh dilipat-lipat. Atau, mereka dengan kaki telanjang dimasukkan ke dalam kamar isolasi yang bertemperatur beku. Masih ada kerja paksa menggali parit berlumpur setinggi lutut di kamp dan, ''Lintah-lintah mengisap darah kami.'' Banyak tawanan yang mati karena bunuh diri atau kelaparan. ''Kalau seseorang mati, kami menghabisi jatah makanannya sebelum kami mengabarkan pada penjaga bahwa teman kami telah mati.'' Para tawanan tidak diizinkan memiliki buku. ''Kami hanya punya tulisan-tulisan Enver Hoxha. Koran-koran partai dibacakan keras-keras untuk kami setiap hari. Di tahun-tahun permulaan ada beberapa intelektual dipenjarakan. Mereka meninggalkan buku-bukunya, dan diam-diam diwariskan dari generasi ke generasi.'' Pergolakan di negeri komunis lainnya, di Hungaria dan Revolusi Kebudayaan di Cina, misalnya, membawa gelombang penangkapan di Albania. Setiap kali muncul aktivitas politik di dunia komunis, Hoxha pun makin mengencangkan cengkeramannya. Perkumpulan Bekas Tahanan Politik pimpinan Kazazi ini dibentuk tahun 1990, setelah gelombang pembebasan tawanan dilakukan. Diperkirakan ada sekitar 100.000 warga yang kemerdekaannya direnggut di zaman Hoxha. Tiga puluh ribu masuk penjara, sisanya dikirim ke pengasingan dalam negeri. Jumlah ini berlipat kali dari pernyataan resmi yang menyebut angka hanya 16.250 orang. Menurut Perkumpulan Bekas Tahanan, angka resmi itu tidak memasukkan tawanan-tawanan dalam kasus-kasus yang tidak terdaftar secara resmi, atau mereka yang dipancung tanpa pengadilan, dan mereka yang mati dalam penjara. Umpamanya, lebih dari 2.300 orang ''lenyap'' misterius di suatu saat. Para bekas tawanan sangat yakin bahwa di Albania ada kuburan massal yang belum diketahui letaknya. Penindasan tak hanya di dalam penjara. Di luar penjara dan kamp pekerja, sebuah sistem penyiksaan yang mengerikan pun menteror lapisan bawah rakyat Albania. Inilah cerita Kazazi: ''Orang-orang lahir dari pemakaman dan menghabiskan hidupnya di situ.... Paspor mereka dicap dengan huruf ''D'' sebagai orang yang akan dideportasi.... Mereka tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan atau melakukan pekerjaan. Mereka tak diperbolehkan hidup di kota-kota besar, dipaksa bekerja di pelosok dengan tugas yang mahaberat. Mereka dipermalukan, dihina di rapat-rapat umum sebagai musuh komunis, dicegah berbicara secara bebas dengan anggota masyarakat yang lain.... Penyiksaan itu dimulai dari anak-anaknya yang masih di taman kanak-kanak. Perkawinan dan persahabatan sangat dibatasi: siapa pun yang kawin dengan anggota kelas ini juga ikut disiksa.... Mereka dipermalukan, bahkan dalam kematiannya. Karena tak seorang pun berani mengantar mereka ke pemakaman.'' Kini, menurut dugaan Perkumpulan Bekas Tahanan itu, masih tertinggal 40.000 orang di pengasingan. ''Mereka tak punya tanda pengenal, tak punya dokumen apa-apa. Mereka bebas pergi ke mana saja, tapi mereka tak tahu ke mana harus pergi.'' Undang-undang Amnesti dan Rehabilitasi, yang disahkan tanggal 30 September 1991, telah menolong sekitar 15-20% bekas tahanan yang dihukum karena ''agitasi dan propaganda'', mereka yang mencoba menyeberang perbatasan, dan yang terlibat kegiatan antipemerintah. Sisanya yang 80% masih menunggu hasil penggodokan satu undang-undang lagi. Yaitu undang-undang mengenai mereka yang pernah dihukum sebagai penjahat perang, musuh masyarakat, atau mata-mata. Dalam aturan baru itu tertulis, ''Pemerintah harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi dan merehabilitasi semua orang yang didakwa secara keliru, dan harus menjamin mereka, terutama kebutuhan dasar moral dan material, untuk mengembalikan mereka ke masyarakat.'' Dana pensiun juga dihidupkan dengan perhitungan masa tahanan itu sebagai masa kerja. Juga pemulihan segala gelar dan penghargaan, rumah dan pekerjaan, dan hak untuk belajar di sekolah yang lebih tinggi. Rakyat yang telah dianiaya akan menerima ganti rugi untuk barang-barangnya yang disita, dan untuk masa yang dihabiskannya dalam penjara. Ini tampaknya suatu ketentuan yang manusiawi, tapi bisa membuat pemerintah bangkrut. Tapi apa pun risikonya, itu memberikan secercah harapan bagi para bekas tawanan. Urhan Butka, seorang anggota parlemen, bercerita, ''Beberapa orang mengatakan bahwa kami dibohongi, tapi lihatlah apa yang telah diperbuat negara kepada kami. Ada ratusan dan makin banyak lagi dari kami yang kini bekerja di pemerintah pusat dan daerah. Tahun ajaran ini setengah dari perkumpulan siswa, yakni sebanyak 2.500 pelajar, adalah anak- anak bekas tahanan yang diterima disekolah tanpa melewati ujian masuk. Di antara mereka adalah laki-laki dan perempuan berumur 35 tahun atau lebih.'' Perumahan memang masih menjadi masalah besar, kata Butka, karena pemerintah tak punya dana untuk membangunnya. Dengan 400.000 anggota serta ikatan moral dan emosional yang kuat, Perkumpulan Bekas Tahanan Politik berkembang menjadi kekuatan politik yang kuat di Albania. Partai ini dengan tegas menentang orang-orang komunis. Butka, contohnya, hanya sedikit bersimpati pada penderitaan orang komunis yang masuk penjara setelah runtuhnya pemerintahan Hoxha. Ia menuduh mereka sebagai demokrat palsu, korban perjuangan politik dalam negeri. ''Mereka yakin bahwa bekas tahanan politik seharusnya mendapat makanan, bukan kekuasaan,'' kata Butka. Banyak anggota Partai Demokratik, yang dulunya hidup senang dan punya karier baik di bawah pemerintahan komunis, sekarang menjalin hubungan dengan bekas tahanan politik untuk menebus perasaan bersalah dan untuk menunjukkan bahwa mereka bukan kolaborator. Seorang anggota parlemen yang keluar dari Partai Demokratik mengatakan, ''Rezim komunis yang lama, sebagai partai pekerja, selalu melibatkan pekerja dalam pemerintahan, sehingga sekarang ini Partai Demokratik juga melibatkan bekas tahanan politik dalam pemerintahan.'' Anggota Aliansi Demokratik, partai baru yang merupakan pecahan dari Partai Demokratik, mengatakan bahwa pemerintah telah bergabung dengan ekstremis antikomunis dan menyelamatkan tuan- tuan tanah zaman prakomunis. Dan pada saat yang sama mereka pun menuduh pemerintah memainkan mentalitas lama komunis yang tidak menghargai hak untuk punya pandangan politik lain. ''Mereka tidak bisa menerima jika kau bisa berbeda pendapat tanpa jadi seorang musuh,'' kata Gramoz Pashko, anggota parlemen yang bersama-sama dengan Doktor Bersha mendirikan Partai Demokratik, yang kemudian bersama sejumlah temannya keluar dari partai tersebut karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Partai Demokratik itu. Pashko mengkritik pemecatan yang baru terjadi atas Maksim Haxia, seorang pengacara umum. ''Ia seorang anak muda,'' katanya, ''yang berpendapat boleh saja menentang kekuasaan eksekutif, dan itu dibenarkan oleh hukum.'' Haxia diadili Desember lalu dengan tuduhan memalsukan dokumen yang berhubungan dengan penunjukan seorang jaksa di Kota Vlore. Ia dinyatakan bersalah dan didenda 1.000 lek. Teman-teman Haxia yakin hukuman itu dijatuhkan untuk mengesahkan fakta bahwa ia dipecat. Mereka prihatin Haxia akan kehilangan lisensinya. Pashko juga bercerita bahwa dua anggota parlemen yang kritis terhadap pemerintah dicabut hak-hak kekebalannya sebagai anggota parlemen, pemimpin redaksi koran independen Koha Jone ditahan, dan 30 wartawan televisi negara dipecat. ''Partai Demokratik mengontrol parlemen dan melakukan keinginannya atas nama demokrasi,'' tutur Pashko. ''Pemerintah mengambil alih televisi, pers, Komite Helsinki, dan administrasi pengadilan.'' Anggota parlemen dari Aliansi Demokratik yang lain mengatakan, ''Kami sekarang punya hak untuk menjadi pembangkang, tapi bukan sebagai oposisi. Ini seperti di Polandia sepuluh tahun yang lalu.'' Spartak Ngajela, seorang pengacara yang bebas tahun lalu setelah mendekam di penjara selama 16 tahun, dan sekarang anggota Aliansi Demokratik, bercerita tentang bekas tahanan dan keluarganya yang dikucilkan. ''Tiga generasi telah dihukum. Yang pertama, keluarga kaya dan berpendidikan. Yang kedua, generasi yang tidak kaya dan tidak berpendidikan. Dan yang ketiga adalah pengikut komunisme dan orang-orang bersahaja. Ini merupakan teror yang dungu.... Jika bukan karena profesiku, aku pasti seperti mereka juga, tidak punya rumah, tidak punya pekerjaan, dan tidak punya harapan. Apa yang bisa mereka lakukan dalam sistem ekonomi pasar? Mereka akan menderita.'' Sekolah Partai Lenin di Tirana kini dijadikan hunian bagi para bekas tahanan politik yang hidup jadi gembel, dengan empat, lima, enam, atau tujuh anggota keluarga, dalam ruang kecil dan kamar mandi jorok. Di Pelabuhan Durres, di pelataran kamar ganti yang sebelumnya disewakan untuk para turis, tinggal satu keluarga bekas tawanan politik. Pasangan itu tinggal di ruangan tanpa jendela, tanpa alat pemanas, yang luasnya kurang dari 3 meter persegi. Orang yang lebih beruntung ketimbang mereka bisa menyita dua tenda -- satu tenda untuk anaknya. Tidak ada air, tidak ada kamar mandi, dan tidak ada listrik, kecuali aliran yang disambung sendiri dari lampu pos di luar. Katanya ada 130 keluarga bekas tawanan politik hidup dalam kondisi yang sama di sepanjang pantai itu. Pemerintah Albania sampai saat ini belum memberi kompensasi bagi penderitaan mereka. Sebagian besar dari mereka penganggur, kecuali beberapa orang yang bekerja sebagai penjaga. Banyak yang sakit ataupun cacat akibat siksaan. Beberapa orang mengaku terpaksa menjual darah untuk bisa makan. Mereka mengeluh karena tidak mendapatkan apa pun dari pemerintah. Bahkan mereka tidak mempunyai pakaian ganti. Umumnya mereka belum mendengar soal Perkumpulan Bekas Tahanan Politik. Dan inilah kata yang skeptis tentang perkumpulan itu: ''Perkumpulan apa itu?'' ujar seorang wanita dengan nada marah. ''Itu tidak ada.'' Adalah janda Enver Hoxha, yang kini ditahan di penjara Tirana. Nyonya Hoxha bersama Ramiz Alia, yang kini dikenai tahanan rumah, dulu menjalankan pemerintahan ketika Hoxha sakit. Karena itu mereka dituduh bertanggung jawab atas kebengisan terhadap tahanan dan keluarganya. Nyonya Hoxha memprotes bahwa hak-haknya sebagai tahanan tak diberikan. Begitu pula dengan 18 orang bekas komunis lainnya. Sebagian di antara mereka, seperti Nyonya Hoxha, sudah setahun dipenjarakan tanpa lewat pengadilan. Kelompok Nyonya Hoxha dulu dikenal sebagai ''orang blok'' karena hidup di daerah eksklusif, di vila-vila di sebuah blok tertutup di Tirana. Nyonya Hoxha dan ''orang blok'' lainnya itu ditahan dengan tuduhan melakukan kejahatan ekonomi, misalnya menggunakan uang masyarakat untuk kepentingan pribadi. Pengadilan mereka ditunda, konon, karena kantor jaksa penuntut sedang mencoba mengarahkan tuntutan politis, seperti soal wewenang memerintahkan penembakan terhadap orang Albania yang mencoba melintasi perbatasan. Nexhmije Hoxha, istri bekas pemimpin Albania di masa komunis dan ''orang blok'' itu, kini hidup di sebuah ruangan berukuran sekitar 3 x 5 meter, dengan sebuah jendela kecil di dekat langit-langit. Tempat itu sangat bersih, dicat putih, dan berlantai kayu. Sel itu kosong. Hanya ada sebuah matras di lantai dan sebuah sapu di sudut ruang. Meskipun hidup dalam sel, Nyonya Hoxha -- lebih dari 70 tahun usianya -- masih menampakkan bekas-bekas kecantikannya. Ia pun masih sempat berhias. Rambutnya yang beruban disanggul ke belakang, dan cat bibir selalu dipakainya. Selnya tidak punya alat pemanas. Hanya ada selimut dan sebuah mantel. Bisa dibayangkan, betapa tersiksanya dia pada musim dingin yang lalu. Ia tahu apa yang dituduhkan kepadanya, dan itu dinilainya sebagai tuduhan yang dangkal, yakni tuduhan membuat pengeluaran untuk menyambut tamu negara. Menurut Nyonya Hoxha, soal itu sangat biasa pada zaman suaminya berkuasa. Ia jengkel karena pengadilan terhadap dirinya selalu tertunda oleh peristiwa- peristiwa politik. Ia mengaku ikut berperang melawan fasisme pada saat umurnya 15 tahun, tapi kini ditahan tanpa lewat pengadilan. Ia boleh bertemu dengan anaknya setiap sepuluh hari atau dua minggu sekali. Anaknya selalu membawakannya koran. Nyonya Hoxha tak diizinkan memiliki radio. Dan tampaknya ia tak punya sahabat. Konon, selain anaknya, tak seorang pun menengoknya. Bekas presiden Ramiz Alia, meski hanya dikenai tahanan rumah, punya keluhan yang sama: tak ada yang datang menengok selain anaknya. Konon ini karena pemerintah sekarang mengharuskan adanya izin bagi mereka yang menengok para tahanan penting. Alia -- sosoknya mirip Mikhail Gorbachev, hanya lebih pendek sedikit -- merasa bahwa peraturan itu hanya untuk mencegah wartawan mengunjunginya, agar suaranya bisa dibungkam. Alia memang punya kritik pedas terhadap pemerintah Albania sekarang: tentang pelanggaran hak asasi manusia, terutama tekanan atas kebebasan berpikir dan kebebasan pers, pemecatan orang dengan alasan politis, dan penggeledahan tanpa izin. Apa kata Alia tentang nasibnya? ''Aku telah bekerja selama 45 tahun. Aku tidak punya kekayaan, tidak punya rekening bank. Aku tinggal di rumah putriku. Yang aku miliki di sini hanyalah dua lukisan dan buku-buku.... Aku tidak punya gaji, tidak ada pensiun. Sekarang aku dituntut karena mencuri milik negara.'' Padahal, katanya, dialah yang memulai penerapan demokrasi di Albania. Dibandingkan dengan negara-negara bekas komunis di Eropa Timur sekalipun, Albania tetap merupakan tragedi dan penyelewengan yang menyedihkan. Terasing dari dunia luar, menolak pemikiran- pemikiran pembaruan, dan bertahan melawan tekanan perubahan yang secara berkala mempengaruhi negara-negara Pakta Warsawa. Bunga Surawijaya, Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini