MENGAPA demikian sulit menghasilkan kesepakatan di Kamboja? Perjanjian Paris baru diteken di tahun 1991, dua belas tahun setelah Khmer Merah didepak Vietnam dari Phnom Penh. Dan ternyata Perjanjian itu pun tak menjamin perdamaian bisa diwujudkan. Khmer Merah tak mau menepati pasal-pasal Perjanjian tersebut. Anehnya, Khieu Samphan, sebagai wakil Khmer Merah dalam perundingan-perundingan tentang Kamboja yang diselenggarakan oleh sejumlah negara dan PBB, ikut menandatangani Perjanjian Paris Oktober 1991 itu. Ia pun duduk dalam Dewan Nasional Tertinggi, dewan yang berfungsi sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi di Kamboja oleh PBB setelah Perjanjian Paris itu. Tapi Dewan Nasional Tertinggi, wadah wakil-wakil empat faksi yang bertikai di Kamboja, ternyata sukar menyelesaian perbedaan pendapat di antara mereka sendiri. Menurut sebuah sumber, rapat-rapat Dewan Nasional ini mirip mengobrol di warung kopi. Seorang berbicara ke sana kemari, yang lainnya mendengarkan. Begitu yang omong selesai, pertemuan pun selesai. Ada keluhan, Khieu Samphan dan Son Sen, dua wakil Khmer Merah, sering tak hadir dalam sidang-sidang Dewan. Menurut cerita yang beredar, jika pun mereka hadir, maka isi pembicaraannya tak pernah beranjak dari soal masih adanya pasukan Vietnam di Kamboja, dan tak berfungsinya Dewan. Tampaknya sejarah negeri bernama Kamboja punya andil dalam suasana yang terbentuk sekarang. Di masa sebelum penjajahan Perancis, Kamboja adalah negeri yang selalu diperebutkan oleh Thailand dan Vietnam. David P.Chandler, profesor sejarah yang menjadi direktur Pusat Riset Asia Tenggara di Monash University, Australia, menduga, seandainya kolonial Perancis tidak segera muncul, tahun 1860-an, mungkin saja negara Kamboja tak bakal ada. Dalam bukunya The Tragedy of Cambodian History, terbit dua tahun lalu, Chandler menulis: mungkin saja wilayah timur Kamboja dicaplok Vietnam, dan wilayah barat lautnya menjadi satu dengan Thailand. Gangguan dari kanan dan kiri itulah tampaknya penyebab lahirnya penguasa otoriter di Kamboja. Di masa pemerintahan prakolonial sudah jelas raja-raja Kamboja memerintah dengan kekuasaan tunggal. Di zaman kolonial Prancis tentu saja penjajah menjalankan pemerintahannya jauh dari demokratis. Kamboja merdeka, 1953, Sihanouk tampil, dan lagi-lagi ia menjalankan kekuasaan dengan otoriter. Naiknya Lon Nol, dan kemudian Pol Pot, tak mengubah sistem otoriter ini, malah mungkin makin tegas. Dengan sejarah seperti itu bisa dibilang demokrasi belum pernah hidup di Kamboja. Dari sisi sejarah politik seperti itu, tampaknya akan terbentuk sebuah pemerintahan yang bisa menerima adanya oposisi sulit. Padahal, dengan tak diterimanya oposisi, melihat perbedaan sikap keempat faksi, alternatif bagi kelompok tak berkuasa adalah berdiri di luar konstitusi alias memberontak. Maka itu bila hari-hari ini, setelah diumumkan bahwa pemilihan umum di Kamboja akan diadakan pada tanggal 23 sampai 25 Mei, yang terjadi malah keresahan. Setidaknya keresahan di antara para pemimpin faksi masing-masing. Bila keresahan di ''atas'' ini kemudian menjalar luas ke bawah, itu karena kemudian dilaporkan adanya intimidasi-intimidasi dari satu atau lebih faksi. Secara perhitungan kekuatan yang kini terlihat, kelompok Negara Kamboja pimpinan Hun Sen yang bisa menang suara. Dalam Dewan Nasional Tertinggi pun, mayoritasnya adalah orangnya Hun Sen. Tapi menurut survei-survei tidak resmi di Kamboja, partai Sihanouk, yakni Funcinpec, yang bakal menang. Itulah mungkin sebabnya bila kemudian muncul tuduhan bahwa orang-orangnya Hun Sen melakukan ancaman-ancaman kepada rakyat agar memilih Partai Rakyat Kamboja, partai kelompok ini. Bayangan kalah dalam pemilu di negeri itu, yang peran oposisi belum diterima, tampaknya begitu menakutkan. Bila ada yang percaya bahwa pemilu bakal memecahkan masalah, tampaknya itu bukan orang Kamboja. Salah satunya adalah Yasushi Akashi, yang mau tak mau memang harus percaya. Sebagai ketua UNTAC, pemerintahan transisi oleh PBB untuk Kamboja, dia adalah orang yang diserahi tangung jawab menyelenggarakan pemilu itu. Jika saja semua itu dianggap oleh para pemimpin dan rakyat Kamboja sebagai proses belajar, meski tahun kuliahnya selama satu generasi, sebuah Kamboja yang bersatu tampaknya masih bisa diharapkan. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini