Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tokoh Timor Timur Xanana Gusmao berbicara serius ihwal nasib Timor Timur bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine K. Albright. Ini pertemuan Xanana dengan tamu penting kedua, setelah sang tahanan khusus yang ditangkap pada 1992 itu dijenguk Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela beberapa waktu lalu. Temu Albright-Xanana berlangsung 30 menit di Kantor Departemen Luar Negeri, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, 5 Maret lalu.
Pertemuan itu berlangsung tertutup. ''Ada dukungan dari masyarakat internasional atas keinginan pemerintah Indonesia untuk memberikan alternatif otonomi ataupun kemerdekaan untuk Tim-Tim," kata Albright saat jumpa pers. Dalam pidato di depan tokoh-tokoh masyarakat di Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta, Jumat lalu, Albright menyatakan urgensinya perlucutan senjata terhadap semua pasukan paramiliter di Tim-Tim. Seruan ini klop dengan harapan Xanana, sebagaimana disiarkan dalam wawancara khusus dengan Radio Pacifica. Keyakinannya makin bulat: rakyat lebih memilih merdeka ketimbang otonomi diperluas.
Apa pun pilihannya, perlucutan senjata mendesak dilakukan. Ini diiringi dengan pengurangan jumlah pasukan dan kehadiran lembaga internasional. ''AS mendukung sepenuhnya pembentukan Dewan Stabilitas dan Perdamaian,'' kata Albright. Polisi bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khusus untuk Tim-Tim ini kelak bertugas melakukan supervisi, pelatihan, dan pemantauan untuk menjaga keamanan di Negeri Lorosae itu. ''Polisi PBB ini bisa direkrut dari orang Tim-Tim, juga militer Indonesia," kata Johnson, pengacara Xanana.
Selama tiga hari di Indonesia, Albright, yang tentunya membawa misi khusus dari Washington, tak hanya bertemu dengan Xanana. Ia berbicara khusus dengan Presiden B.J. Habibie, menemui tokoh-tokoh pro-integrasi Tim-Tim, bertemu dengan Dr. Amien Rais dan Megawati, serta mengundang makan malam sejumlah tokoh masyarakat Indonesia. Acara Gus Dur-Albright batal karena kesehatan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu memburuk.
Mahasiswa Dipentung Aparat |
Ratusan mahasiswa sedang mendengarkan orasi politik di depan Tugu Proklamasi, Kamis pekan lalu, ketika tiba-tiba saja pasukan Pengendalian Huru-hara (PHH)—terdiri atas polisi dan tentara—mendesak mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Bersatu itu agar bubar. Mereka menuntut dibentuknya pemerintahan transisional. Saat dikepung pasukan keamanan, mahasiswa pun sampai berlarian menuju Kampus ABA-ABI di Matraman, Jakarta. Anehnya, petugas terus saja mengejar sampai masuk kampus. Kekerasan tak terelakkan. Kaca-kaca pecah. Saling pentung, saling hantam.
Kampus ribut, jalanan Matraman macet. ''Saya memprotes keras. Mereka enak saja memasuki rumah tangga kami. Padahal mahasiswa tak bermaksud bikin kekerasan," kata rektor kampus itu, Sutjipto. Lalu sejumlah 32 mahasiswa ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Jumat, 5 Maret, 18 mahasiswa diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan divonis bersalah telah melakukan tindak pidana ringan dengan diharuskan membayar denda Rp 2.000, sedangkan sisanya masih ditahan. Tak ada sanksi bagi pasukan PHH, yang saat itu bermodalkan pentungan kayu—tapi menggebuk mahasiswa habis-habisan.
Wartawan? Aparat pun cuek. Mereka memukuli beberapa wartawan yang meliput kejadian itu. Toto Irianto, wartawan harian Pos Kota, menjadi salah satu korban kekerasan aparat. Saat keributan terjadi, ia sudah berteriak, ''Saya wartawan, Pak!" Toh, pentungan aparat keamanan mendarat juga di tubuhnya, braaak. Akibatnya, Toto mengalami gegar otak. Ia kini terbaring di Rumah Sakit Husada, Jakarta.
Duit Mengalir dari UNDP |
UNDP bagi-bagi duit untuk kegiatan ''politik". Badan pembangunan di bawah PBB itu telah bersepakat dengan pemerintah Indonesia untuk mengoordinasikan seluruh bantuan teknik internasional demi pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil. Norwegia, Finlandia, Inggris, Australia, dan Selandia Baru telah mengulurkan tangannya. Total dana yang akan terkumpul US$ 100 juta atau sekitar Rp 850 miliar. Tapi dana yang konkret di kas UNDP sekarang baru US$ 11 juta. Menurut renca_na, sumbangan dari dunia itu akan disalurkan ke lembaga milik pemerintah dan masyarakat dengan persentase kasar 50:50.
Kriteria yang jelas diterapkan untuk memilih lembaga yang berhak memperoleh sumbangan. Yang jelas, pintu terbuka bagi LSM yang bergerak dalam bidang manajemen pemilu, pendidikan pemilih, dan pemantauan pemilu yang independen. ''Kami juga harus yakin bahwa mereka bisa mempertanggungjawabkan penggunaan dana itu," kata G. Ravi Rajan, koordinator aktivitas operasional PBB di Indonesia.
Sejak awal Februari, 30 bundel proposal telah masuk ke laci kerja UNDP, antara lain dari Komite Independen Pemantau Pemilu dan University Network for Free and Fair Election. Sepuluh proposal dinilai telah memenuhi kriteria. Tapi yang telah menikmati kucuran dana ini baru Tim 11 (Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pelaksana Pemilu) yang diketuai Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Nilainya Rp 468 juta. Lain itu, ya, tunggu antrean.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo