Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Pengusaha untuk Calon Sarjana

Ribuan mahasiswa tingkat akhir tertolong dengan adanya beasiswa dari pelbagai negara. Krisis masih berkepanjangan, tapi calon sarjana harus tetap ''diselamatkan".

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA zaman pancaroba ini, tak sedikit orang tua yang hatinya kebat-kebit memikirkan banyak hal: bagaimana agar dapur tetap berasap, cara berhemat, pengeluaran ekstra, dan biaya sekolah anak-anak. Apalagi vonis pemutusan hubungan kerja sewaktu-waktu bisa menimpa, tak terkecuali atas orang tua yang anak-anaknya masih duduk di bangku kuliah. Memang, sejak krisis ekonomi merebak, tak sedikit mahasiswa yang putus kuliah, termasuk mereka yang berada di ambang ujian sarjana. Bencana gagal jadi sarjana itulah yang akan dicegah; pokoknya, upaya mencetak sarjana jangan sampai terhambat. Tekad ''maju tak gentar" itu bukan sekadar dipacu oleh slogan pendidikan yang disebarluaskan oleh Rano Karno dan ''Keluarga Si Doel". Sebanyak 29 perusahaan Jerman yang berkiprah di Indonesia merealisasi tekad yang sama dengan mengumpulkan dana Rp 1,2 miliar. Dana itu digunakan untuk beasiswa 500 mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang akan mulai disalurkan paling lambat akhir Maret 1999. Beasiswa itu antara lain dirancang untuk mencegah terjadinya krisis sarjana. Sangat wajar bila mereka menyeleksi mahasiswa dengan ketat. Selain harus pandai, mereka yang duduk di tingkat akhir sajalah yang bisa menerima bantuan Jerman tersebut. ''Bertahun-tahun mereka kuliah, tiba-tiba tak bisa melanjutkan skripsi karena masalah biaya. Sayang, kan?" kata Frank Messer, Ketua Komunitas Jerman di Indonesia. Perhatian besar terhadap krisis pendidikan di Indonesia tak hanya datang dari pengusaha Jerman, tapi juga dari negara tetangga, Australia. Melalui Australia Indonesia Institute (AII), terkumpul dana A$ 192 ribu atau sekitar Rp 1,05 miliar. Dana tersebut disumbangkan oleh pengusaha, pengacara, akademisi, dan wartawan dari Negeri Kanguru, yang kemudian disalurkan dalam dua tahap, terhitung mulai 25 Maret mendatang. Gregson Edwards, konsuler kebudayaan kedutaan besar Australia di Jakarta, menyebutkan, berhubung keterbatasan dana, tak semua mahasiswa bisa menerima beasiswa. Sementara ini, beasiswa hanya ditujukan kepada mahasiswa tingkat akhir di UI dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia berharap bantuannya bisa jadi pemancing. ''Mudah-mudahan tindakan kami diikuti lembaga lain di negara kami dan negara lain, sehingga mahasiswa di universitas lain juga akan menerima beasiswa," kata Edwards. Porsi paling besar diberikan ke UI, dengan nilai beasiswa Rp 550 juta. Dana itu dibagi-bagikan kepada 521 mahasiswa—berarti setiap mahasiswa mendapat jatah sekitar Rp 1 juta per tahun. Sedangkan UGM berhak atas bantuan senilai Rp 500 juta untuk 900 mahasiswa, atau setiap mahasiswa mendapat bantuan Rp 500 ribu setahun. Jauh sebelum itu, 50 perusahaan Amerika juga telah mengulurkan bantuan dana. Di bawah koordinasi The American Chamber of Commerce Indonesia (AmCham)—dikenal juga sebagai kamar dagang Amerika di Indonesia—telah disalurkan Rp 800 juta untuk 800 mahasiswa dari 65 universitas di Indonesia, November lalu. Sama dengan beasiswa dari perusahaan Jerman dan Australia, penerimanya adalah mahasiswa dengan indeks prestasi di atas 2,75. Namun, cara penyalurannya berbeda. Beasiswa dari perusahaan asal Negeri Paman Sam itu dikelola oleh American-Indonesian Exchange Foundation (Aminef). Lembaga inilah yang menyeleksi dan menyalurkan dananya. ''Uangnya langsung diberikan kepada mahasiswa, tentu setahu rektornya," kata James Castle, Presiden Direktur AmCham Indonesia. Menurut Umar Mansur, Pembantu Rektor III UI, membanjirnya beasiwa dari perusahaan asing itu sangat membantu mengatasi krisis dana yang dialami para mahasiswa. Dari total 14.000 mahasiswa UI, 30 persen terancam drop out karena kesulitan biaya. Ditambah dengan beasiswa yang disalurkan perusahaan lokal dan individu, kini 5.180 mahasiswa dapat diselamatkan. ''Tak ada lagi mahasiswa UI yang terancam putus kuliah tahun ini," katanya lega. Kegembiraan serupa juga mewarnai kampus UGM. Sebelum krisis, peminat beasiswa hanya 6,5 persen, tapi kini melonjak menjadi 20 persen. Untunglah, jumlah donatur juga meningkat—termasuk beasiswa yang dikucurkan dari perusahaan asing itu—kendati jumlahnya tak persis dengan kebutuhan. Menurut Bambang Kartika, Pembantu Rektor III UGM, saat ini tinggal 10 persen atau sekitar 3.000 mahasiswa yang masih ''lampu kuning". Widiyadnyana Merati, Pembantu Rektor I ITB, tak ketinggalan meluapkan kegembiraannya. Katanya, secara kuantitatif, jumlah donor kini menurun dari 151 menjadi 70. Namun, dengan bantuan dari perusahaan asing itu, nilainya jadi terkatrol. ITB kini mengantongi total beasiswa sekitar Rp 2,5 miliar. Dengan begitu, 1.314 mahasiswa yang kesulitan dana bisa tertolong. Bila peminat beasiswa tahun ini diperkirakan mencapai 10 persen atau 1.500 mahasiswa, berarti tinggal 136 orang lagi yang perlu disuntik modal. Ada yang berminat? Ma'ruf Samudra, I G.G. Maha S. Adi, Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung), dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus