Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Alexis yang Terus Eksis

PRAKTIK prostitusi masih terus terjadi di Hotel Alexis kendati pemerintah DKI Jakarta tak memperpanjang izin hotel dan griya pijatnya. Gembar-gembor keberhasilan ini pun tak terbukti karena ”surga dunia” di Alexis hanya berpindah lokasi ke lantai lain yang menyediakan karaoke. Penelusuran Tempo sejak Januari lalu menunjukkan prostitusi tak hanya terjadi di Alexis. Praktik serupa masih terjadi di tempat hiburan lain, seperti Malio, Classic, Emporium, dan Illigals. Bisnis dunia malam yang turut memberi sumbangan pajak hiburan hingga Rp 769,5 miliar ini begitu terang-benderang dan nyaris tak pernah tersentuh hukum meskipun terjadi banyak pelanggaran, dari jam buka hingga perdagangan manusia. Bahkan, di Illigals, bisnis narkotik bisa terus berjalan. Investigasi ini terselenggara berkat kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited.

28 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA puluh menit menjelang hari berganti, ruang karaoke di lantai tiga Hotel Alexis, Ancol, Jakarta Utara, Rabu kedua Januari lalu, jauh dari sepi. Diterangi cahaya temaram dari tiga televisi berukuran besar di tembok, ruang seluas 3 x 6 meter itu riuh semarak dengan suara musik disko. Dua perempuan berambut panjang menggoyangkan kepala, tangan, pinggul, dan kaki mereka ke berbagai penjuru.

Lima lelaki penikmat hiburan malam hadir di ruangan itu. Jesica dan Jenifer- bukan nama asli dua perempuan itu- menarik tangan dua laki-laki di pinggir sofa. Keempatnya berajojing sambil tertawa-tawa. Tak mempedulikan gempuran udara bersuhu 23 derajat dari penyejuk ruangan, Jesica dan Jenifer melepas satu per satu lembaran kain di badan hingga tinggal bersisa kulit.

Hari itu belum genap tiga bulan setelah pemerintah DKI Jakarta mengirim surat pemberitahuan tak memperpanjang izin hotel dan griya pijat Alexis. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat itu terlihat antusias memenuhi janji kampanye untuk menutup Alexis. Anies mengatakan izin Alexis tak diperpanjang karena hotel itu menjadi sarang prostitusi.

Nyatanya, prostitusi masih terjadi di Alexis meskipun tempat spa di lantai lima hingga tujuh, yang disebut-sebut sebagai tempat transaksi jasa pelayanan seksual, telah ditutup. Sejak awal, pengunjung bisa memilih lady companion (LC) yang berderet di ruangan tertutup gorden tipis di belakang resepsionis lantai tiga. Malam itu, sekitar 40 perempuan duduk-duduk di sofa merah.

Lima lelaki itu memutuskan pemilihan perempuan pendamping digelar di ruang karaoke. Cara ini disebut "kontes". "Kami pilih yang paling cantik," kata Hasan, karyawan swasta. Hingga akhirnya, Jesica dan Jenifer terpilih dari sepuluh perempuan yang ikut kontes dadakan itu.

Setelah dua perempuan rampung dengan tari erotis yang digelar selama satu jam, teman Hasan berbisik kepada Jesica. Keduanya kemudian meninggalkan ruangan dan baru kembali satu jam kemudian. Belakangan, lelaki itu bercerita bahwa dia baru saja bercinta dengan Jesica di salah satu kamar di lantai yang sama. "Sama seperti dulu. Mantap," ujarnya.

Ditemui di salah satu hotel di Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, Lina Novita dari Legal and Corporate Affairs Grup Alexis menyangkal ada praktik prostitusi di Hotel Alexis. "Tidak ada," katanya. Ihwal LC yang berperan ganda sebagai penjaja jasa seks, Lina pun membantah. "Kami menyediakan LC sesuai dengan fungsi memandu tamu yang ingin berkaraoke."

SEJAK awal Januari lalu, Tempo menelusuri lima tempat hiburan malam yang- menurut sejumlah sumber yang menjadi pengamat hiburan malam serta pejabat dan mantan pejabat di Dinas Pariwisata DKI- termasuk terbesar dan terlaris di Ibu Kota. Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Tempat Hiburan Malam, Anhar Nasution, meyakini praktik prostitusi terjadi di hampir semua tempat hiburan malam. "Alexis cuma satu di antaranya," ujar Anhar.

Di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat, sekitar satu kilometer dari Istana Negara, berdiri Hotel Emporium. Hotel ini menyajikan striptease tanpa jeda di lantai tiga. Berbeda dengan di Alexis, tari telanjang di hotel ini tak digelar di ruang khusus, tapi di depan pengunjung. Diawali dengan pakaian minim, mereka melenggak-lenggok, kadang bergelantungan dan meluncur di antara empat tiang besi.

Seorang pelanggan klub mengatakan penari erotis itu bisa diajak berhubungan intim dengan tarif Rp 2 juta per jam. Di lantai dua, tersedia layanan pijat dengan tarif Rp 1 juta hingga Rp 1,2 juta per jam. Biaya itu termasuk layanan seksual di kamar khusus. Dua anggota staf yang ditanyai Tempo membenarkan info tentang ongkos tersebut.

Sumber-sumber yang ditemui Tempo, termasuk orang dekat Arman Tirta, pemilik Grup Alexis, mengatakan Emporium masih satu grup dengan Hotel Alexis. Tempo melayangkan surat permintaan wawancara kepada pengelola Emporium, tapi mereka tak merespons. Adapun Lina Novita mengatakan Emporium tak lagi satu grup dengan perusahaannya. "Sepertinya sudah berganti pemilik," ujar Lina, yang menyatakan tak tahu pasti siapa pemilik baru Emporium.

Bergeser ke Hotel Malio, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Prostitusi di tempat ini begitu terang-benderang. Di lounge lantai dua, seorang muncikari- biasa dipanggil "Mami"- langsung menawarkan pekerja seks asal Uzbekistan, Cina, dan Vietnam, juga perempuan lokal, dengan tarif Rp 2,4 juta.

Begitu pula Classic Hotel di Jalan Samanhudi. Setidaknya ada tiga arena besar yang bisa dimasuki pengunjung untuk memilih wanita penghibur. Salah satunya di lantai tiga yang disebut sebagai Terminal 2. Begitu pengunjung masuk terlihat, lebih dari 50 perempuan dengan pakaian minim duduk berderet di sofa-sofa yang memanjang di pinggir ruangan. Tak ada perbedaan tarif di Classic. Jasa pelayanan seks semua perempuan bertarif Rp 365 ribu.

Tempo mengajak berbicara lima pekerja seks di Classic. Empat di antaranya mengaku awalnya bekerja tanpa paksaan di hotel itu. Belakangan, bos mereka- semacam agen yang mempekerjakan perempuan penghibur- menjerat para perempuan itu dengan pinjaman uang yang jumlahnya terus berlipat.

Ada pula perempuan penghibur asal Jawa Barat yang mengaku tertipu karena awalnya diiming-imingi bekerja sebagai pemandu karaoke. Anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Adriana Venny Aryani, mengatakan para pekerja yang dijerat utang dan ditipu itu telah menjadi korban perdagangan manusia. "Di hampir semua tempat prostitusi terjadi perdagangan manusia," ujarnya.

Pengelola Hotel Malio dan Classic juga tak merespons surat permintaan wawancara Tempo. Surat serupa tak ditanggapi Rudy Susanto, yang di akta PT Buana Mitra Usaha- perusahaan pemilik Classic Hotel- menjadi direktur utama. Rudy juga tercatat sebagai pemegang saham PT Global Arta Berjaya- empunya Hotel Malio. Berulang kali dihubungi, nomor telepon seluler Rudy tak aktif. Pesan singkat juga tak berbalas. Tempo pun mendatangi rumah Rudy di Perumahan Green Garden, Jakarta Barat. Pembantu rumah itu berjanji menyampaikan surat permintaan wawancara. Tapi, hingga Jumat pekan lalu, Rudy dan pengelola hotel tak memberikan tanggapan.

Prostitusi jelas dilarang dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Kepariwisataan. Aturan itu menyebutkan setiap pengusaha wajib mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya. Sanksi terhadap pelanggaran ini berupa teguran tertulis, pembekuan sementara, hingga pencabutan izin.

Kepala Bidang Industri Hiburan Dinas Pariwisata DKI Toni Bako mengaku belum mengetahui adanya prostitusi di tempat hiburan malam yang dikunjungi Tempo. "Kalau ada praktik itu, akan kami tutup," katanya.

BISNIS hiburan malam bagai gula yang selalu dikerubuti pelanggan. Itu sebabnya di berbagai penjuru Ibu Kota tersedia tempat yang menawarkan one stop entertainment. Data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta menunjukkan ada 1.427 tempat hiburan yang berizin, yang terdiri atas diskotek, griya pijat, klub malam, karaoke, live music, dan mandi uap.

Meski beraroma maksiat, tempat hiburan malam berperan serta dalam menambah pendapatan Jakarta. Total, tempat hiburan menyumbangkan Rp 769,5 miliar melalui pajak hiburan pada 2016.

Tak lama setelah izin Alexis ditutup, Lina Novita dari Legal and Corporate Affairs Grup Alexis mengatakan hotel itu rata-rata menyumbangkan Rp 30 miliar tiap tahun ke kas DKI.

Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Tempat Hiburan Malam, Anhar Nasution, mengatakan, meski ada ribuan tempat hiburan malam, hanya ada tiga grup besar, yaitu Alexis, Malio, dan Alila. "Mereka yang paling besar di Jakarta," ujarnya. Menurut Anhar, Grup Malio- membawahkan Malio dan Classic Hotel- dimiliki Rudy Susanto dan Arief Prijatna. Sedangkan pemilik Illigals, kata Anhar, adalah Iwan Tjahyadikarta. Adapun Alexis didirikan Alex Tirta Juwana Darmadji.

Akta PT Grand Ancol Hotel, perusahaan pemilik Hotel Alexis, sama sekali tak mencantumkan nama Alex. Dalam akta perusahaan, pemilik hotel adalah Gold Square Enterprises Limited dan Sension Overseas Limited, perusahaan yang berbasis di surga pajak, British Virgin Islands.

Akta tersebut juga menyebutkan Djoko Sardjono, yang tinggal di Kompleks Komando Pasukan Khusus, Cijantung, Jakarta Timur, duduk sebagai direktur. Sedangkan komisaris perusahan dijabat Sudarto, warga Kampung Kojan, Kalideres, Jakarta Barat. Tempo menelusuri keberadaan Djoko dan Sudarto. Menurut pengurus rukun tetangga di tempat tinggal Djoko yang tak mau disebut namanya, tak ada warga bernama Djoko di sana.

Sedangkan rumah Sudarto berada di gang sempit di perkampungan kumuh yang tak bisa dilintasi mobil. Penghuni rumah itu menyebutkan Sudarto bekerja sebagai tentara dan sudah pindah ke Tangerang. Dia tak mau memberikan alamat baru Sudarto.

Alex Tirta enggan menanggapi ketidakjelasan pemilik Alexis. "Saya sudah tidak mengurus lagi," ujarnya. Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah mengatakan tak mengetahui kemungkinan ada tentara yang terlibat dalam bisnis esek-esek. "Mendatangi tempat hiburan malam saja sudah dilarang, apalagi mengamankan," tuturnya. TNI, kata Sabrar, akan menindak tegas personel yang terlibat dalam dunia hiburan malam.

WAJAH lelaki itu tak terlihat jelas di Club Voyeur, Hotel Illigals, Jakarta Barat, pada malam pertengahan Januari lalu. Ruangan berukuran sekitar seperempat lapangan sepak bola itu hanya diterangi lampu disko yang bergerak cepat menyebar ke berbagai penjuru. Petrus, pengunjung klub malam tersebut, memberikan 20 lembar duit 50 ribuan ke tangan pria itu, yang kemudian menghitungnya kembali. Lelaki itu kemudian pergi ke arah tirai yang kerap dilalui pelayan dan staf.

Tak sampai lima menit, dia kembali. Tangannya menggenggam sesuatu yang kemudian diberikan kepada Petrus. Setelah pria itu berlalu, Petrus menunjukkan barang yang beralih tangan: sebungkus plastik obat dengan dua butir pil mungil. "Ini inex. Bisa bikin happy," kata Petrus. Dalam keremangan, jarinya memecah pil tersebut menjadi dua bagian. Diberikannya satu pecahan kepada kawannya.

Tak sampai setengah jam, efek inex alias ekstasi itu mulai terasa di tubuh Petrus dan kawannya. Kepala mereka mulai berputar-putar mengikuti ributnya musik disko yang diputar disc jockey. Lalu keduanya asyik berjoget bersama belasan pengunjung lain. Meskipun tak keruan, gerakan mereka terlihat sangat energetik. Seorang perempuan bahkan sampai berjoget sambil menungging.

Menurut Petrus, di Illigals tak hanya tersedia ekstasi, tapi juga sabu-sabu. Harganya sama dengan ekstasi, Rp 500 ribu untuk 0,2 gram, dan diedarkan oleh anggota staf Illigals yang biasa dipanggil "Kapten". "Saya pernah pakai sabu di sini," ujar teman Petrus.

Di Illigals juga tersedia pelayanan seksual dengan tarif wanita penghibur Rp 2,4 juta. Meski Club Voyeur buka hingga pukul delapan pagi, layanan perempuan itu berlangsung 24 jam sehari tanpa henti. Ini melanggar Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Kepariwisataan, yang membatasi jam operasional hiburan malam hingga pukul dua pagi pada hari biasa dan pukul tiga pada akhir pekan.

Pada Mei tahun lalu, Badan Narkotika Nasional menemukan seribu butir ekstasi dan ratusan paket sabu siap edar di Illigals. Meski begitu, pemerintah DKI tak menutupnya dan hanya memberikan teguran. Ini berbeda dengan Diskotek MG di Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat, yang ditutup tak lama setelah BNN menemukan laboratorium pembuatan sabu cair dan ekstasi di sana.

General Manager Hotel Illigals, Erwan, enggan berkomentar soal adanya praktik prostitusi dan peredaran narkotik di hotelnya. "Akan saya pastikan lebih dulu," ujar Erwan. Dia menyarankan Tempo menanyakannya kepada Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta. Erick Halauwet, ketua asosiasi itu, mengatakan seharusnya semua tempat hiburan tak membiarkan praktik prostitusi dan peredaran narkotik. "Kalau ada transaksi, silakan tindak tegas," ucap Erick.

Ihwal peredaran narkotik di tempat hiburan malam, Kepala BNN Budi Waseso meyakini di hampir semua tempat prostitusi terjadi peredaran narkotik. Menurut Buwas- demikian dia akrab disapa- anak buahnya sudah menyurvei secara acak 36 tempat hiburan malam di lima wilayah DKI. Hasilnya, "Semuanya positif ada peredaran narkoba," kata jenderal bintang tiga yang akan pensiun pada Februari mendatang ini. BNN masih mendalami jaringan pengedar narkotik di tempat hiburan malam tersebut.

Buwas menilai tidak diperpanjangnya izin satu-dua tempat hiburan malam tak berpengaruh terhadap peredaran narkotik. "Masih ada ratusan, mungkin ribuan, tempat hiburan lain yang juga menyediakan narkoba," ujar mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini. Buwas menuding maraknya peredaran narkotik di tempat hiburan malam terjadi karena pengawasan yang lemah dari pemerintah DKI Jakarta. "Seharusnya, kalau ditemukan pelanggaran, langsung ditutup. Jangan pilih kasih."

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berjanji menindak tempat hiburan malam yang mengedarkan narkotik. "Jika ditemukan pelanggaran, tentu (ditutup). Kami selalu tegas, untuk itu tidak ada negosiasi," katanya Jumat pekan lalu.


Tim Investigasi

Penanggung jawab: Setri Yasra Kepala proyek: Erwan Hermawan Penyunting: Mustafa Silalahi, Setri Yasra, Stefanus Pramono Penulis: Erwan Hermawan, Istman Musaharun, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono Penyumbang bahan: Avit Hidayat, Erwan Hermawan, Istman Musaharun, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono, Wayan Agus Purnomo bahasa: Uu Suhardi foto: Ijar Karim Desain: Eko Punto Pambudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus