Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT laki-laki bertubuh kekar berjaga di depan satu rumah toko di Jalan Mangga Besar II, Taman Sari, Jakarta Barat, Jumat pertama Januari lalu. Pintu geser besi berwarna cokelat di belakang mereka hanya terbuka tak sampai seperempatnya. Tujuh pria lain menyebar di samping dan seberang ruko tersebut. Mata mereka menyala setiap kali ada orang berhenti di dekat ruko itu.
"Mereka penjaga mes," kata Vanessa, bukan nama sebenarnya, kepada Tempo, malam itu. Di ruko berlantai lima itulah Vanessa tinggal bersama lebih dari 40 perempuan lain. Hampir semuanya menjadi perempuan penghibur di Classic Hotel, Jalan Samanhudi, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Menurut Vanessa, di mes itu ada lebih dari 20 kamar. Tiap unit ditempati dua perempuan. Ruko itu terlarang bagi orang yang tak dikenal. Kerabat yang datang pun hanya boleh berdiri di pinggir jalan.
Vanessa dan teman-temannya seperti terpenjara. Setiap keluar dari mes, mereka harus ditemani bibi pengurus mes, yang usianya sekitar 50 tahun. Bahkan ke minimarket pun mereka tak bisa sendiri. "Ditemani supaya tidak kabur," ujarnya saat ditemui di Classic satu malam sebelumnya.
Gloria, wanita penghibur di Classic yang tinggal di mes lain di kawasan Mangga Besar, mendapat perlakuan yang sama. Setiap berangkat ke Classic, yang jaraknya tak sampai dua kilometer dari mes, dia dan kawan-kawannya dimasukkan ke mobil khusus yang juga berisi satu bodyguard. Selesai kerja, mereka kembali dengan mobil serupa. Selama setengah tahun bekerja di Jakarta, Gloria tak pernah nonton bioskop atau ke tempat wisata. "Susah punya pacar kalau di mes," kata perempuan 22 tahun berdarah Sunda tersebut sambil terbahak.
Tak hanya sulit meninggalkan rumah penampungan, Vanessa dan Gloria juga hampir menyerah dari niat meninggalkan pekerjaan mereka. Sebab, keduanya berutang besar kepada bos yang menjadi agen pekerja di hotel tersebut. Gloria berutang lebih dari 20 juta. Sedangkan Vanessa terjerat pinjaman lebih dari Rp 70 juta.
Semula utang itu tak sampai belasan juta rupiah. Awalnya, keduanya membutuhkan duit untuk membeli baju dan kosmetik buat menarik perhatian tamu. "Saya juga harus mengirim duit untuk orang tua di kampung," tutur Gloria. Setiap kali mereka membutuhkan uang, sang bos selalu meminjamkannya. Tentu disertai bunga, yang mereka sendiri tak tahu besarnya. Lama-kelamaan, utang pun membengkak dan sulit dilunasi. "Hampir semua perempuan di mes saya punya utang besar," ujar Gloria.
Tempo, yang sejak awal Januari lalu menelusuri sejumlah tempat hiburan di Jakarta, mendapatkan pengakuan yang sama dari dua perempuan lain. Mereka hanya sanggup mencicil dari duit yang diterima setiap melayani pelanggan. Dari tarif Rp 365 ribu per pelanggan, para pekerja seks di Classic mendapat komisi yang besarnya antara Rp 70 ribu dan Rp 150 ribu, tergantung kebijakan bos masing-masing. Komisi itu dibayarkan ke wanita penghibur dua pekan sekali.
Karena berutang besar, Vanessa hampir setahun ini tak mendapat komisi. Untuk makan sehari-hari dan mengirim uang ke keluarga di kampung, dia hanya mengandalkan tip pelanggan. Dalam semalam, sejak lepas magrib hingga dinihari, dia bisa melayani lima-tujuh laki-laki.
Tak jarang Vanessa dan teman-temannya harus menghadapi "klien" yang menuntut macam-macam, seperti bercinta dengan lebih dari satu perempuan, ogah menggunakan kondom, atau mabuk dan berlaku kasar.
Gloria menuturkan, seorang temannya pernah mencoba kabur sebelum utang lunas. Bosnya kemudian mengerahkan anak buah untuk mencari kawannya tersebut. Lima bulan kemudian, temannya itu ditemukan dan dikembalikan ke mes. "Dia harus membayar utang dan bunganya serta denda Rp 1 juta per hari selama lima bulan dia kabur. Utangnya sudah lebih dari Rp 100 juta," katanya.
Direktur Rehabilitasi Sosial Tunasosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial Sonny W. Manalu mengatakan modus jeratan utang sangat lazim terjadi pada pekerja prostitusi. Tujuannya adalah mempertahankan perempuan pekerja seks agar tak buru-buru keluar. Jika banyak perempuan penghibur resign, pelanggan enggan datang. Otomatis, pendapatan lain, seperti dari minuman keras, pun menjadi berkurang. "Ini bisnis yang sangat besar. Mempertahankan perempuan penghibur adalah kunci mendapatkan keuntungan," ujarnya.
VANESSA dan Gloria awalnya bekerja sebagai wanita penghibur tanpa paksaan. Masalahnya klasik: kebutuhan ekonomi. Melalui kenalan perempuan sekampung yang bekerja di Classic, Vanessa dan Gloria melamar ke hotel tersebut. Cantik saja ternyata tak cukup. Dua perempuan berparas ayu itu harus menjalani tes: telanjang di depan bos. Kalau lulus, mereka langsung diterjunkan ke Terminal 2, nama ruangan di Classic yang menjadi tempat berjoget dan memilih perempuan. "Teman saya ada yang mencoba tapi tidak lulus. Dia dikirim ke Terminal 5, yang ceweknya biasa saja," ujar Gloria.
Ada juga perempuan yang terperangkap karena ditawari pekerjaan lain. Shania, perempuan asal sebuah kabupaten di Jawa Barat, diiming-imingi janji bekerja sebagai pemandu karaoke di Jakarta. "Ternyata saya malah disuruh jadi pelacur," ujarnya saat ditemui di Classic Hotel pada pertengahan Januari lalu.
Merasa dibohongi, Shania meminta pulang kampung. Tapi bosnya menolak mentah-mentah. Dia mewajibkan Shania membayar Rp 10 juta jika mundur. Alasannya untuk biaya ganti rugi dan ongkos mendatangkan Shania ke Jakarta. "Bos bilang, itu semua ada di dalam kontrak," katanya. Padahal Shania tak pernah menandatangani selembar kertas pun. Tak berani melawan, Shania menguatkan hati bekerja di sana.
Anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Adriana Venny Aryani, mengatakan jeratan utang yang diderita Gloria dan Vanessa serta penipuan seperti yang dialami Shania masuk kategori perdagangan manusia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan pelaku perdagangan manusia bisa dihukum pidana penjara 3-15 tahun dan denda Rp 120-600 juta. "Saya yakin di semua tempat prostitusi terjadi perdagangan manusia," ujar Adriana.
Tempo mengirimkan surat permintaan wawancara kepada pengelola Classic Hotel dan berulang kali menghubungi hotel tersebut untuk meminta tanggapan. Petugas penerima panggilan telepon menyebutkan permintaan wawancara sudah disampaikan kepada pengelola hotel. "Nanti akan dihubungi kembali," katanya. Hingga Jumat malam pekan lalu, pengelola Classic Hotel tak memberikan jawaban.
Surat permintaan wawancara juga dilayangkan kepada Rudy Susanto, yang tercatat sebagai Direktur Utama PT Buana Mitra Usaha, perusahaan pemilik Classic Hotel, dan komisaris Arief Prijatna. Tapi keduanya tak memberikan respons. Nomor telepon seluler Rudy yang berulang kali dihubungi tak aktif. Pesan pendek pun tak berbalas.
Adriana menegaskan, para perempuan yang bekerja di tempat hiburan adalah korban. Menurut Adriana, bukan hanya perempuan dewasa, anak-anak pun kerap menjadi korban. Tempo sempat berbincang dengan Leonita, 20 tahun, pemandu karaoke yang juga merangkap perempuan penghibur di salah satu tempat hiburan besar di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Dia mengaku bekerja di sana sejak berusia 16 tahun setelah diajak temannya.
Sejak itu, setiap malam Leonita harus menemani tamunya bernyanyi dan minum-minum. Setiap sebotol minuman keras seharga minimal Rp 1,2 juta terjual, dia mendapat komisi Rp 100 ribu. Maka Leonita tak henti membujuk tamunya agar terus membuka botol minuman. Dia tak bisa berhenti karena membutuhkan duit. "Siapa sih, Bang, perempuan yang suka kerja begini," katanya.
Masih Banyak 'Surga' di Ibu Kota
GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan membayar kontan janji kampanyenya. Hotel dan griya pijat Alexis di Ancol, Jakarta Utara, tidak diperpanjang izinnya karena terindikasi menjadi tempat prostitusi terselubung. Namun dampak penutupan ini hanya sementara. Dalam waktu singkat, diskotek dan bar di Hotel Alexis- yang bersalin nama menjadi 4Play- serta karaoke kembali beroperasi. Tempo menemukan masih banyak tempat one stop entertainment serupa 4Play di Jakarta yang menyediakan jasa prostitusi. Beberapa di antaranya menjadi ajang transaksi narkotik. Nama besar pemilik dan kontribusi pajak daerah yang tinggi ditengarai membuat tempat-tempat tersebut seperti tidak tersentuh.
Penyumbang Pendapatan
2015
Pajak hotel : Rp 1,27 triliun
Pajak hiburan : Rp 608,8 miliar
Total pendapatan daerah DKI Jakarta : Rp 29,07 triliun
2016
Pajak hotel : Rp 1,49 triliun
Pajak hiburan : Rp 769,5 miliar
Total pendapatan daerah DKI Jakarta : Rp31,6 triliun
Tabrak Sana-Sini
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Kepariwisataan:
- Pasal 14 (k): "Setiap pengusaha pariwisata wajib turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya."
- Pasal 14 (t): "Setiap pengusaha pariwisata wajib mengawasi dan melaporkan apabila terjadi transaksi dan/atau penggunaan/konsumsi narkoba di lingkungan tempat usahanya."
- Pasal 99: "Setiap pengusaha dan/atau management perusahaan hiburan malam yang terbukti melakukan pembiaran terjadinya peredaran, penjualan, dan pemakaian narkoba dan/atau zat adiktif di lokasi tempat usaha hiburan malam, dilakukan pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata."
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum:
- Pasal 43: "Setiap orang atau badan dilarang menyediakan dan/atau menggunakan bangunan atau rumah sebagai tempat untuk berbuat asusila."
Hiburan Malam
617 hotel
Sebanyak 24 hotel diduga menyediakan jasa one stop entertainment (hotel, karaoke, diskotek, dan griya spa) dari kelas menengah sampai eksekutif.
1.427 tempat hiburan malam
Secara acak, Badan Narkotika Nasional menemukan narkotik di 36 tempat hiburan malam pada 2017.
Modus Izin
One stop entertainment memanfaatkan izin perhotelan untuk mengakali jam operasional diskotek, klub, karaoke, dan griya spa. Mereka tetap bisa beroperasi sepanjang Ramadan karena termasuk fasilitas hotel.
Penggawa Hiburan Malam
Grup Alexis
Hotel Alexis
- Hotel: tarif Rp 1 jutaan per malam
- Diskotek: tiket masuk Rp 100 ribu per orang, pesan meja minimum pembayaran Rp 3 juta
- Griya spa: Rp 1,375 juta (pemijat lokal), Rp 2,2 juta (pemijat warga negara asing) untuk semua pelayanan
Karaoke: minimum pembayaran Rp 3 juta untuk standard room
Tarif tambahan:
- Jasa pemandu lagu Rp 600 ribu per orang
- Pertunjukan eksklusif tari erotis Rp 1,2 juta per penari
- Seks Rp 3,6 juta per penjaja, plus sewa kamar hotel
Pemegang izin: PT Grand Hotel Ancol
Pemilik saham (akta notaris tahun 2008):
- Gold Square Enterprises Limited
- Sension Overseas Limited
Komisaris: Sudarto
Direktur: Djoko Sardjono
Sumbangan pajak : Rp 2,4-3 miliar/bulan
Emporium Boutique Hotel
- Tease Club: tiket masuk Rp 100 ribu, termasuk minuman soda/bir serta pertunjukan house music dan tari erotis
- Karaoke: minimum pembayaran Rp 2,5 juta per ruangan
- Griya spa: Rp 1-1,2 juta, termasuk semua pelayanan
Tarif tambahan: Jasa seks: Rp 2 juta per penjaja plus kamar
Pemegang izin: PT Kandaga Asri Graha
Pengurus: (akta notaris tahun 2008)
Direktur Utama: Sjaftari Santoso
Komisaris Utama: Hartati Santoso
Komisaris: Budiman Santoso
"Saya sekarang hidup sosial saja, mencari paspor ke surga." - Alex Tirta Juwana Darmadji
Grup Alila
Hotel Illigals
- Diskotek: tiket masuk Rp 100 ribu, termasuk minuman ringan
- Karaoke: minimum pembayaran Rp 3 juta
- Spa: Rp 1-3 juta
Tarif tambahan:
- Pemandu lagu: Rp 600 ribu
- Seks: Rp 2,4 juta, termasuk kamar
- Ekstasi: Rp 500 ribu per butir
- Sabu: Rp 2 juta per gram (perkiraan)
Pemegang izin: PT Sumber Sejahtera Sempurna
Pemilik (akta tahun 2009):
- Iwan Tjahyadikarta: 50%
- Mohamad Jusuf Hamka, 50%
- Direksi dan Komisaris:
Direktur Utama: Lucy
Direktur: Donny Tjahyadikarta
Komisaris Utama: Iwan Tjahyadikarta
Komisaris: Mohamad Jusuf Hamka
"Saham saya sudah dijual ke tiga pihak pada 2011 karena saya tak setuju ada prostitusi di sana." - M. Jusuf Hamka
Grup Malio
Hotel Malio
- Klub (ada 2): tiket masuk Rp 150 ribu (sebungkus rokok, minuman ringan, dan pertunjukan tari erotis)
- Karaoke: minimum pembayaran Rp 2-3 juta
- Spa
Tarif tambahan
- Penjaja seks Rp 900 ribu-1,1 juta per orang dan Rp 1,3-1,8 juta untuk dua orang
- Penjaja seks warga negara asing: Rp 2-2,4 juta per orang
Pemegang izin: PT Global Arta Berjaya
Pemilik total saham (akta notaris tahun 2006):
- Dharmawan Rahardja Widjaja: 32,5 %
- Rudy Susanto:25,0 %
- Haston Limardo: 25,0 %
- Sarifuddin Widjaja: 7,5 %
- Kumalawati Widjaja: 5,0 %
- Jaya Raharja: 2,5 %
- Hadi Irianto: 2,5 %
Classic Hotel
- Bunker Club: tiket masuk Rp 85 ribu
- Terminal 2: klub, tersedia 30-40 penjaja seks, tiket masuk Rp 85 ribu
- Terminal 5: klub, tersedia 30-40 penjaja seks, tiket masuk Rp 65 ribu
Tarif tambahan: penjaja seks Rp 365 ribu, 2 penjaja sekaligus Rp 500 ribu, untuk dua jam plus kamar
Pemegang izin: PT Buana Mitra Usaha
Pengurus (akta notaris tahun 2008): lembar saham
Direktur Utama: Rudy Susanto154.800
Komisaris Utama: Eddy Winata245.250
Komisaris:
-Arief Prijatna312.750
-Haston Limardo232.350
-Arie Sasmita145.200
-Foronkid Gunawan273.150
-Kurnia Setiawan68.250
-Sesaria Valeriana 68.250
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo