Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIB Ronny Elopere seperti pepatah Melayu "sudah jatuh tertimpa tangga". Sudah menyetor mahar Rp 1,5 miliar untuk selembar surat rekomendasi Partai Hanura, ia tetap gagal mendapat dukungan menjadi calon Wakil Bupati Jayawijaya, Papua.
Syahdan, sejak Agustus tahun lalu elite-elite Hanura di Jakarta setuju Ketua Hanura Jayawijaya itu menjadi calon jagoan mereka dalam pemilihan bupati tahun ini. Ronny pun diminta ke Jakarta untuk mengambil surat rekomendasi dukungannya. Rupanya, itu tidak gratis. Ronny harus menebusnya Rp 700 juta.
Angka tersebut berdasarkan jumlah kursi Hanura di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jayawijaya sebanyak dua orang. Ronny menawar Rp 600 juta. Deal. "Karena saya kader, saya mendapat diskon Rp 100 juta," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Uang dalam pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu itu tunai diserahkan kepada Wakil Bendahara Umum Hanura Benny Prananto. Tapi, berhari-hari kemudian, surat rekomendasi tak kunjung turun, padahal Ronny harus segera mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Jayawijaya sebelum 10 Januari 2018. Penyebabnya, Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang belum membubuhkan tanda tangan di kertas tersebut, sementara Sekretaris Jenderal Sarifuddin Sudding sudah meneken.
Setelah lama menunggu, bukan rekomendasi yang ia terima. Ronny malah menerima pemberitahuan bahwa Hanura tak mendukungnya dalam pemilihan Bupati Jayawijaya. "Uangnya dikembalikan utuh Rp 600 juta," ujarnya.
Tak mau peluangnya menjadi orang nomor 2 di Jayawijaya pupus, Ronny melobi sana-sini. Ia terbang dari Wamena ke Jakarta menemui Oesman Sapta dan Sudding di gedung City Tower, Jakarta Pusat, pada 7 Januari lalu. Oesman, kata Ronny, berjanji mengeluarkan surat rekomendasi yang baru.
Benar saja, rekomendasi tersebut terbit esoknya- hari dimulainya pendaftaran calon bupati dan wakilnya di KPUD. Hanya Oesman yang membubuhkan tanda tangan. Sudding menolak karena partai itu pecah dan Sudding berseberangan kubu dengan Oesman. Karena waktu mendesak, Ronny mencari Sudding agar mau memberikan tanda tangan.
Ronny menemui Ketua Tim Pemenangan Pilkada Hanura, Herry Lontung. Alih-alih menghubungkannya ke Sudding, Herry malah meminta mahar Rp 2,1 miliar. Lagi-lagi Ronny menawar. "Saya hanya bisa bayar Rp 1,5 miliar, sisanya akan dilunasi setelah urusan pendaftaran di KPU beres," tutur Ronny.
Esoknya surat itu terbit. Oesman membubuhkan tanda tangan, Sudding memberikan paraf. Bungah karena perjalanan jauh-jauh ke Jakarta berhasil, Ronny memesan tiket Batik Air untuk mengejar waktu pendaftaran di Wamena sebelum KPUD menutupnya pada 10 Januari 2018.
Saat check-in di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Ronny menunggu anak buahnya mengkonfirmasi tiket itu ke loket. Lama menunggu, pemuda yang menemaninya selama di Jakarta tak kunjung kembali. Ronny baru sadar ia sudah ditipu setelah duduk lama di ruang tunggu. "Rupanya mereka kabur membawa tiket," katanya.
Maka tertutup sudah masa pendaftaran di KPUD. Ronny gigit jari di Jakarta. Di tengah kekacauan itu, Sudding meneleponnya. Ia mengaku tak memberi paraf atas surat rekomendasi baru. Ronny menduga tanda tangan Sudding di surat itu dipalsukan. Ronny lunglai dua kali.
Benny Prananto tak menampik kabar menerima uang Ronny. Ia mengaku hanya menjalankan tugas partai. Belakangan, Benny bergabung dengan kelompok Sudding, yang menentang Oesman. Ia sudah melaporkan pengusaha itu ke polisi dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Soalnya, Oesman meminta Benny agar mentransfer uang mahar para calon kepala daerah dari Hanura itu ke rekening perusahaan Oesman, OSO Securities, sebanyak Rp 28,4 miliar.
Adapun Herry Lontung membantah pernah meminta Ronny menyetor Rp 2,1 miliar sebagai syarat turunnya rekomendasi. "Enggak benar itu," ujarnya. Namun ia tak menepis kabar bahwa partai meminta sumbangan kader dan calon kepala daerah yang didukungnya ke kas partai. "Sumbangan itu tak mengikat, sah-sah saja," katanya.
Rupanya, aturan mahar diterapkan ke semua calon kepala daerah. Yan Mandenas, yang ingin maju jadi calon Bupati Biak Numfor, di Papua juga, diminta membayar Rp 350 juta per kursi. Di DPRD Biak, Hanura punya dua kursi.
Yan menolak bayar, hingga ia menerima pesan pendek dari seseorang yang mengaku bernama Benny Ramadhani, Ketua Bidang Organisasi Hanura, pada 11 Desember tahun lalu. Benny meminta Yan membayar mahar hari itu juga.
Merasa diperas, Yan mengundurkan diri dari pencalonan. Ia kecewa karena Hanura pusat tak melihat jasanya mendirikan partai ini di Papua. "Di era Pak Wiranto, Hanura punya lima kursi pun kader bisa mencalonkan diri secara gratis," ujar Yan menyebut nama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang memimpin Hanura sebelum Oesman itu.
Bukan hanya Hanura yang memasang tarif rekomendasi. Di Sulawesi Tenggara, Asrun yang menjadi calon gubernur juga harus menyetor uang. Ia ingin menjadi calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Maka Asrun melobi semua partai mendukungnya. Pada pertengahan tahun lalu itu, hanya Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa yang belum bergabung dalam koalisi besar pendukungnya.
Astaga. Asrun harus menebusnya Rp 5 miliar per kursi PPP dan PKB. Masalahnya, seperti Ronny Elopere di Papua, saat mendaftar di KPUD Kendari, PPP tak datang, PKB tak melampirkan surat tipe B.1. Akhirnya KPUD mencabut dukungan dua partai itu kepada Asrun. Uangnya tak dikembalikan. "Yang lalu biarlah berlalu," kata Adriatma Dwi Putra, anak Asrun yang memegang telepon ayahnya itu.
Ketua PKB Sulawesi Tenggara Nurfa Thalib menampik jika disebut mendagangkan rekomendasi. Nurfa berdalih, elite PKB di Jakarta tak setuju partai mereka mendukung Asrun. Sekretaris PPP Sulawesi Tenggara Ihsan Insani cuma menjawab singkat ketika dimintai konfirmasi, "Halo."
Di Cirebon, Jawa Barat, Brigadir Jenderal Siswandi juga dimintai mahar sebagai ongkos dukungan. Siswandi dan Euis Fetty Fatayati butuh tujuh kursi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kabupaten itu. Mereka sudah mendapat rekomendasi Gerindra dan Partai Amanat Nasional. Masalahnya, jumlah dukungan yang menggabungkan jumlah kursi dua partai hanya enam, kurang satu kursi lagi.
Tinggal Partai Keadilan Sejahtera yang belum memutuskan dukungan. PKS juga menerapkan syarat tiga kursi berharga Rp 750 juta. Melalui orang kepercayaannya, Bob Hasan, Siswandi menawar Rp 300 juta, tapi yang disetujui menjadi Rp 500 juta. Uang akan diambi l oleh utusan Ketua PKS Cirebon Karso di Stasiun Cirebon. "Saya bawa cash Rp 200 juta, sisanya memakai cek," ujar Bob.
Setelah Siswandi dipingpong ke sana-kemari, seorang utusan Karso datang dengan menawarkan paket dukungan: Rp 1,5 miliar per kursi PKS di Cirebon. "Kalaupun saya setor uang itu, malaikat mana yang bisa mengantar surat itu dari Jakarta ke Cirebon dalam waktu singkat?" tutur Siswandi. Jakarta-Cirebon butuh waktu tiga jam, sementara waktu pendaftaran hampir tutup.
Ketika ditanya untuk mengkonfirmasi cerita Siswandi itu, Karso menolak menjelaskan dengan dalih sedang ada di sebuah acara. Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera menyebutkan partainya tak pernah menerbitkan rekomendasi untuk Siswandi-Euis. PKS, kata Mardani, menerima sumbangan calon kepala daerah. "Nilainya tak dipatok," ujarnya.
Raymundus Rikang, Adam Prireza, Riani Sanusi (jakarta), Karana W. (palangkaraya), Rosniawanty Fikri (kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo