Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Cita-cita Ali Sadikin Mendirikan Dewan Kesenian Jakarta

Ali Sadikin membentuk Dewan Kesenian Jakarta sebagai pengelola kegiatan seni di Taman Ismail Marzuki. Dia melarang keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan TIM.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dewan Kesenian Jakarta saat ini berisi aparatur sipil negara yang bertugas untuk keperluan kesekretariatan.

  • Dana pembiayaan kegiatan TIM sudah beralih dari hibah menjadi APBD melalui Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

  • Dewan Kesenian Jakarta mengklaim masih bisa independen dalam menjalankan tugas kuratorial seni di TIM.

DANTON Sihombing, Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2020-2022, menyodorkan dokumen digital tentang panduan kurasi karya seni dan pertunjukan yang boleh tampil di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Danton mengklaim hendak mengembalikan kualitas dan marwah TIM sebagai pusat pencapaian kesenian. Para seniman tak ingin kegiatan tersebut ditunggangi berbagai kepentingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami sedang menjaga dengan ketat. Taman Ismail Marzuki sudah melewati berbagai masa dengan masing-masing pengalamannya. Kami ingin membawanya ke semangat awal,” kata Danton kepada Tempo, Kamis, 11 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memang organisasi yang memegang peran penting dalam penyelenggaraan kegiatan seni dan budaya di TIM. Lembaga ini lahir saat ratusan seniman yang berkumpul di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memilih tujuh perwakilan untuk menjadi formatur, 9 Mei 1968. Mereka adalah Rudy Pirngadie, Djajakusuma, Zulharman Said, Mochtar Lubis, Asrul sani, Usmar Ismail, dan Gayus Siagian.

Para formatur tersebut bertugas memilih 25 seniman untuk menjadi anggota Badan Pembina Kebudayaan—kemudian berganti nama menjadi Dewan Kesenian Jakarta—untuk masa jabatan selama tiga tahun. Ali kemudian melantik Trisno Sumardjo yang dipilih sebagai ketua dan 24 seniman lain, 19 Juni 1968.

Ali membentuk Dewan Kesenian karena menilai TIM harus dikelola oleh para seniman sendiri. Pemerintah tak boleh terlibat dalam pengelolaan agar tak terjadi konflik kepentingan. Pemerintah pun hanya bertugas memberikan bantuan dana karena kegiatan seni berkualitas jarang mendatangkan keuntungan, tapi penting bagi peradaban masyarakat. Selama kepemimpinan Ali hingga 1977, TIM setidaknya mampu menggelar 250 pertunjukan dan pameran per tahun.

Ali pun tak menunjuk aparatur pemerintah DKI Jakarta saat Dewan Kesenian membutuhkan orang yang paham tentang manajerial dan keuangan. Dia justru menunjuk seorang pengusaha, Surihandoko, untuk menjadi direktur pertama yang mengatur keuangan TIM. Ali sendiri tercatat mengucurkan dana hingga Rp 2,5 miliar—angka yang sangat tinggi pada era tersebut—untuk membiayai kegiatan TIM pada 1968-1977.

Sebagai jaminan kualitas anggota DKJ, Ali membentuk Akademi Jakarta yang berisi seniman senior yang memiliki masa jabatan seumur hidup. Mereka bertugas memilih semua seniman yang akan menjadi anggota Dewan Kesenian. Ali juga menginisiasi pembangunan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kemudian berganti menjadi Institut Kesenian Jakarta. Lembaga ini akan menjadi tempat penyemaian bibit seniman muda.

Setelah era Ali, sistem pusat kebudayaan yang dibangunnya berubah. Pemerintah mengeluarkan peraturan pedoman baru yang membatasi jabatan anggota Akademi Jakarta hingga usia 70 tahun. Anggota Dewan Kesenian kini berjumlah 33 orang yang tiga di antaranya perwakilan Pemerintah Provinsi DKI dari Dinas Kebudayaan. Sejumlah manajer TIM pun adalah aparatur sipil negara.

Belakangan, badan usaha milik daerah, PT Jakarta Propertindo, pun akan masuk dalam struktur pengelolaan TIM. Keberadaan mereka seolah-olah sebagai konsekuensi pelaksanaan proyek revitalisasi pada 2020 senilai Rp 1,8 triliun. 

Namun para seniman masih optimistis TIM tak akan menjadi sekadar lokasi pertunjukan seni komersial. “Semua ada di tangan DKJ, karena keputusan dan kurator seni tak pernah dipindah,” kata Irawan Karseno, Ketua DKJ 2017-2019.

Menurut Irawan, DKJ tetap bisa mengambil jarak dengan kepentingan pemerintah dan politik. Salah satunya ditunjukkan saat dirinya meminta tambahan dana hibah TIM dari Rp 4,9 miliar menjadi 18,7 miliar pada 2019. Dia mengklaim tak melakukan lobi politik agar keputusan pendanaan bukan utang budi terhadap pemerintah atau partai tertentu.

Pemerintah kemudian berhenti memberikan hibah dan menggantinya dengan alokasi dana dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah melalui Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dewan Penjaga Kualitas Seni"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus