Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hubungan Panas-Dingin Ali Sadikin dengan LBH Jakarta

Ali Sadikin ikut mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Tak putus berkontribusi meski tak menjabat Gubernur DKI Jakarta lagi.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ali Sadikin merogoh kocek pribadi untuk menyantuni LBH Jakarta.

  • Menggunakan LBH Jakarta untuk mengontrol Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

  • Tak pernah cawe-cawe dalam urusan internal LBH Jakarta.

GANTI kuncinya!” Ali Sadikin memerintah seorang tukang yang menemani kedatangannya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat, pada pertengahan 1995. Ali menunjuk sebuah pintu di bagian tengah ruangan. Sehari-hari, ruangan tambahan berdinding tripleks itu digunakan Mulyana W. Kusumah, mantan Direktur Nonlitigasi YLBHI.

Kedatangan Ali menyita perhatian para penghuni kantor. Direktur YLBHI saat itu, Bambang Widjojanto, dan sejumlah pengurus lain hanya bisa menonton. Kegaduhan itu merupakan puncak kemarahan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut terhadap konflik internal para pengacara publik di YLBHI yang tak berkesudahan. “Kemarahan itu pesan simbolik dari beliau,” ujar Bambang, 62 tahun, pada Kamis, 11 Agustus lalu.

Kala itu, Ali merupakan anggota Dewan Penyantun YLBHI. Organisasi ini berdiri pada 1981 untuk menaungi berbagai lembaga hukum di Tanah Air, salah satunya Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta. Ali juga berperan penting dalam pendirian LBH Jakarta, cikal bakal YLBHI, pada 28 Oktober 1970.

Konflik internal muncul setelah Bambang Widjojanto terpilih menjadi Direktur YLBHI. Dewan Penyantun, selaku pemegang keputusan tertinggi YLBHI, mendaulat Bambang sebagai pengganti Adnan Buyung Nasution yang mengundurkan diri.

Kepengurusan baru, kata Bambang, tak leluasa bergerak lantaran pengurus lama masih menguasai fasilitas kantor. Aktivitas mereka bahkan kerap melenceng dari tujuan utama LBH sebagai penasihat hukum.

Mulyana, misalnya, mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu dan menjadikan kantor YLBHI sebagai sekretariat. Mantan pengurus YLBHI, Hendardi, juga masih berkantor di sana. Sekondan Bambang di kepengurusan YLBHI, Munir Said Tahlib, bahkan pernah diam-diam menggembok ruangan Hendardi agar ia segera angkat kaki.

Ulah sejumlah pengurus lama itu sempat dilaporkan kepada Dewan Pengurus. Tapi hanya Ali yang turun tangan. Menurut Bambang, Ali bukanlah tipikal anggota Dewan Penyantun yang suka cawe-cawe urusan internal. Tapi kegaduhan yang muncul saat itu membuat Ali harus bertindak dengan pendekatan tangan besi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara Senior, Adnan Buyung Nasution (kanan) berbicara dengan Ali Sadikin di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, 17 November 2003. TEMPO/Lourentius EP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ternyata cara ini ampuh. Sejumlah mantan pengurus lama memilih eksodus setelah dilabrak Ali. “Kami meninggalkan YLBHI dan merintis pendirian lembaga baru yang mencerminkan visi terhadap keberadaan pengacara publik,” ujar Hendardi, 64 tahun, kini Ketua Setara Institute.

Setelah “digusur”, Hendardi dan sejumlah rekan mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Organisasi ini merupakan konsorsium dari berbagai LBH partikelir. Hendardi menilai misi PBHI mengakomodasi aspirasi arus bawah yang sudah lama meminta reformasi di tubuh YLBHI, yakni menuntut otonomi LBH dari peran Dewan Penyantun.

Pada masa itu, kata Hendardi, gagasan otonomi hanya didukung oleh segelintir anggota Dewan Penyantun seperti Johannes Cornelis Princen dan Mochtar Lubis. Mayoritas menolak.

Meski sempat memanas, hubungan Hendardi dan Ali di kemudian hari kembali mencair. “Suatu waktu saya dikontak ajudan Bang Ali dan meminta saya datang ke rumah kediaman. Bang Ali meminta maaf atas tindakan ketika itu. Dia mengaku salah,” ujarnya.

•••

ALI Sadikin dan YLBHI memiliki ikatan emosional kuat dan riwayat panjang. Buku otobiografi Adnan Buyung Nasution berjudul Dirumahkan Soekarno Dipecat Soeharto (2004) menggambarkan dukungan Ali Sadikin ketika gagasan pembentukan LBH Jakarta disampaikan Adnan Buyung Nasution.

Ketika itu, Ali menjabat Gubernur Jakarta. Sementara Buyung anggota Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Sebelumnya, Buyung dan Ali tak saling mengenal. Pertemuan keduanya difasilitasi oleh peran seorang aktivis, Nina Yamin.

Pada akhir 1960-an, Buyung dan Nina menjenguk Ali yang tengah terbaring di ruang rawat inap Paviliun Cendrawasih, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Awalnya, mereka hanya mengobrol hal lain. Di sela pertemuan, Buyung mengutarakan niatnya mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Buyung menyampaikan mandat kongres Peradin yang memintanya membidani kelahiran LBH Jakarta. Lembaga ini diniatkan sebagai pusat layanan rakyat miskin yang kesulitan mendapat akses pembelaan hukum.

Ia menyitir pengalaman sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat yang sudah lebih dulu memfasilitasi keberadaan lembaga serupa atas dukungan pemerintah. Buyung meminta Ali bersedia mendukung gagasan tersebut.

Tak berpikir panjang, Ali langsung setuju. “Wah, saya setuju, dah. Setuju! Saya mau. Buyung, kamu bikin proposalnya, ya!”

Mendapat lampu hijau, Buyung sigap bergerak. Ia menyerahkan proposal pendirian LBH Jakarta kepada Ali beberapa hari kemudian. Buyung berupaya membangun komunikasi kepada Ali secara intensif untuk mematangkan konsep dan cetak biru kelahiran lembaga ini. Keduanya kerap bertemu di Balai Kota atau tempat lain.

Atas saran Ali, Buyung diminta memformalkan kelahiran lembaga ini lewat surat keputusan. Legalitas ini penting agar pemerintah Jakarta punya dasar untuk menggelontorkan dukungan anggaran. Keduanya bersepakat.

SK pembentukan LBH Jakarta kemudian diterbitkan oleh Peradin. Kepengurusan juga dibentuk. Buyung didaulat menjadi ketua. Ali melantik Buyung dan pengurus lain pada 28 Oktober 1970.

Ali menepati janji membantu pembiayaan organisasi. Sebagian di antaranya bahkan ia keluarkan dari kocek pribadi. Sejak mulai beroperasi pada 1971, dukungan anggaran dari pemerintah Jakarta kepada LBH Jakarta mengalir secara rutin.

Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kebutuhan operasional organisasi dan tingginya permintaan layanan lembaga ini. Di tahun keenam, anggaran LBH Jakarta meningkat delapan kali lipat.

Ahmad Tamrella, mantan pengacara LBH Jakarta pada periode awal, mengaku sempat kewalahan meladeni permintaan masyarakat. Jumlah aduan dan permohonan bantuan hukum setiap tahun mencapai ribuan kasus.

Sementara itu, jumlah pengacara LBH Jakarta tak sampai sepuluh orang. Itu sebabnya sebagian di antara kasus itu diselesaikan lewat jalur nonlitigasi (di luar pengadilan). “Banyak yang diselesaikan secara damai,” tutur Ahmad.

Hubungan unik antara LBH Jakarta dan Ali sebagai gubernur DKI Jakarta mulai terbentuk pada fase ini. Meski menerima anggaran negara, LBH Jakarta juga kerap membantu masyarakat menggugat kebijakan Pemerintah Provinsi Jakarta.

Kasus yang banyak mengemuka di masa itu adalah pembelaan hukum bagi masyarakat korban penggusuran yang dilakukan pemerintah Jakarta. Sebagian di antaranya dimenangkan LBH Jakarta, tapi tak sedikit yang kandas. “Uniknya, Bang Ali bisa memahami posisi kami melayangkan gugatan itu,” ucap Ahmad.

Ahmad Tamrella menceritakan Ali paham keberadaan LBH Jakarta sebagai alat kontrol untuk mengawasi kinerja bawahannya. Ia mengenang kisah ketika LBH Jakarta memprotes pembebasan lahan penduduk untuk proyek ambisius Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur.

Belakangan terungkap nilai kompensasi yang diterima penduduk terpangkas jauh. “Harusnya Rp 100 ribu per meter, tapi yang mereka dapat cuma Rp 50 ribu,” ujarnya.

LBH Jakarta melaporkan temuan ini kepada Ali. Ia meradang. Ia lantas memecat puluhan petugas pembebasan lahan.

Ali merangkul LBH Jakarta sebagai pelaksana sekaligus lembaga pengawas setiap kali penyerahan kompensasi ganti rugi digelar di kelurahan setempat. “Lembaga pengawasan seperti inspektorat jenderal belum ada saat itu. Peran pengawasan kala itu banyak diambil alih media massa dan LBH Jakarta,” kata Ahmad.

Ali mengaku tak rugi mendukung keberadaan LBH Jakarta. Menurut dia, keuntungan terbesar lembaga ini adalah meningkatnya kesadaran hukum warga Jakarta. “Ketika itu, warga Jakarta tidak seluruhnya orang terpelajar, kaya, dan melek hukum. Padahal mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dalam hukum,” demikian kutipan dalam buku otobiografi Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.

Ali Sadikin saat keluar dari kantor YLBHI melewati corat-coret protes pemilihan ketua YLBHI, Jakarta, 1996. TEMPO/Rully Kesuma

Ali meyakini keberadaan LBH Jakarta tak akan berjalan maksimal tanpa dukungan anggaran pemerintah. Bantuan donasi dari masyarakat hanya mampu menutup 10 persen dari anggaran operasional LBH. “Apakah dengan begitu lembaga ini bisa obyektif?” Jawabannya sudah pasti... sering pemerintah Jakarta menjadi lawan perkara, baik di luar maupun melalui sidang pengadilan,” ujar Ali dalam buku Catatan H. Ali Sadikin.

Mantan Direktur YLBHI lain, Todung Mulya Lubis, tak ragu atas pernyataan Ali. Meski kerap berhadapan di jalur hukum, Ali paham betul menjaga marwah LBH Jakarta sebagai lembaga yang independen.

Ali tak pernah menyandera dukungan anggaran LBH Jakarta meski kerap dihujani gugatan hukum. “Itu yang membuat saya menghormati beliau,” ujar Todung, yang kini menjabat Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia.

Dukungan Ali terhadap LBH Jakarta juga tecermin ketika lembaga ini menjadi sasaran represi Orde Baru, khususnya setelah tragedi 27 Juli 1996 (Kuda Tuli). Sebelum kerusuhan meledak, demonstrasi dan panggung orasi berpusat di kantor Partai Demokrasi Indonesia yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari LBH Jakarta.

Banyak pula aktivis yang memanfaatkan kantor LBH Jakarta sebagai panggung gerakan prodemokrasi. Kantor mereka juga dijadikan tempat perlindungan bagi para aktivis yang lari dari kejaran polisi saat kerusuhan terjadi. Akibatnya, para pengacara publik LBH Jakarta ikut menjadi sasaran.

Situasi yang serba mencekam itu membuat Bambang Widjojanto menutup kantor. Semua pengurus LBH Jakarta diminta bekerja dari rumah. Hanya sebagian di antaranya yang bertugas menjaga kantor.

Bambang turut merasakan suasana mencekam tersebut. Kala itu, ia harus meninggalkan istri dan kedua anaknya untuk waktu yang cukup lama. “Kebutuhan makan dipasok Bang Ali. Bahkan susu untuk kedua anak saya pun beliau yang mengirimi,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penyantun hingga Akhir Hayat"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus