Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tata Kota Jakarta Ali Sadikin Mencegah Banjir

Tata kota Jakarta pada masa Ali Sadikin memprioritaskan kawasan hijau untuk mencegah banjir. Tak ragu menghukum anak koleganya yang melanggar aturan.

13 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ali Sadikin menetapkan tata kota Jakarta dengan ruang terbuka hijau 37,5 persen wilayah Ibu Kota.

  • Membenahi persoalan Jakarta, Ali Sadikin mengirim orang ke Belanda.

  • Ali Sadikin tak berkompromi menjalankan tata kota Jakarta.

KETUA Dewan Arsitek Indonesia Bambang Eryudhawan masih teringat ceramah mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, di gedung Jakarta Design Center pada pertengahan 1997. Berbicara di hadapan sekitar 250 arsitek, Ali mengungkapkan kekecewaannya terhadap tata kota Jakarta. Penyebabnya, sebagian besar ruang terbuka hijau Ibu Kota telah disulap menjadi bangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Persoalan itu terjadi karena rendahnya disiplin aparat untuk menegakkan aturan,” ujar Bambang menirukan ucapan Ali saat ditemui Tempo di rumahnya, Rabu, 3 Agustus lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Dewan Arsitek Indonesia Bambang Eryudhawan di Jakarta, 3 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta selama sebelas tahun sejak 1966 hingga 1977. Di awal kepemimpinan Ali, Jakarta memiliki konsep tata kota yang dinilai banyak kalangan cukup matang. Salah satu konsep yang tertuang dalam Rencana Induk DKI Jakarta 1965-1985 itu adalah menyediakan ruang terbuka hijau 37,5 persen dari luas wilayah Jakarta.

Ruang terbuka hijau itu termasuk kawasan green belt atau sabuk hijau Jakarta. Disebut sabuk hijau karena berupa kawasan hijau yang mengelilingi Jakarta dari area pantai di Jakarta Utara hingga Jakarta Barat. Berfungsi sebagai daerah resapan air hujan, sabuk hijau juga melindungi Jakarta dari limpahan air dari daerah sekitarnya yang berkontur tanah lebih tinggi.

Setelah Ali Sadikin tidak lagi menjadi gubernur, konsep ruang hijau itu berantakan. Sabuk hijau Jakarta bahkan lenyap. Pembangunan gedung untuk perkantoran dan permukiman tak terkendali. Ruang terbuka hijau di Ibu Kota terus berkurang. “Tergerusnya ruang terbuka hijau membuat Jakarta yang secara geografis rawan genangan menjadi makin rawan banjir,” kata Bambang.

•••

PEKAN pertama menjabat Gubernur DKI Jakarta pada akhir April 1966, Ali Sadikin berkeliling melihat secara detail kondisi kota yang dia pimpin. Ia menemukan begitu banyak persoalan, dari jalan bolong, lalu lintas kacau, dan kampung kumuh. Lahan gersang di berbagai sudut membuat Jakarta panas. Namun, begitu hujan turun sebentar, banjir langsung melanda.

Kenyataan itu membuat Ali kebingungan. “Hampir-hampir tidak tahu mesti mulai dari mana memperbaiki dan meningkatkan Ibu Kota,” ujar Ali di buku Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 yang ditulis Ramadhan K.H.

Ali lantas teringat bahwa Jakarta sudah memiliki rancangan induk penataan kota untuk 20 tahun yang selesai disusun di era Gubernur Soemarno Sosroatmodjo pada 1965. Meski rancangan tata kota Jakarta telah rampung, Gubernur Soemarno belum mengesahkan dan menjalankannya.

Selama satu tahun Ali mempelajari rancangan tersebut dan menyesuaikan isinya dengan kondisi Jakarta. Pada 3 Mei 1967, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Jakarta mengesahkannya menjadi Rencana Induk DKI Jakarta 1965-1985. Bermodal rancangan tersebut, Ali memacu pembangunan Jakarta.

Ia menyiapkan jalan-jalan baru yang menghubungkan daerah permukiman dan perkantoran serta pusat bisnis. Fasilitas transportasi dari terminal hingga halte bus diperbaiki. Ali juga mendatangkan 2.500 bus sebagai moda transportasi publik untuk mengurangi laju pertumbuhan kendaraan pribadi.

Ali mengalokasikan 25 persen anggaran belanja pemerintah Jakarta untuk pembangunan jalan dan transportasi. Selama sebelas tahun memimpin, ia menambah jalan Jakarta yang semula hanya 800 kilometer menjadi lebih dari 2.000 kilometer. Untuk mengurangi kemacetan, Ali melarang becak beroperasi di jalanan Jakarta.

Pembangunan jalan yang tertata memicu tumbuhnya kawasan-kawasan usaha baru. “Salah satunya adalah pembangunan Jalan Rasuna Said di kawasan Kuningan,” tutur Bambang Eryudhawan, Ketua Dewan Arsitek Indonesia.

Kawasan Kuningan di Jakarta Selatan saat itu masih berupa persawahan dan kampung tanpa akses jalan. Maka meski berada di pusat kota, wilayah itu tidak berkembang. Ali lantas membangun jalan membelah kawasan Kuningan yang sekaligus menghubungkan Kebayoran Baru dan Menteng. Dampaknya langsung terasa, berbagai gedung perkantoran tumbuh di sana. 

Tidak hanya membangun kawasan bisnis, Ali juga menyulap 166 kampung kumuh menjadi kampung layak huni. Pesatnya pertumbuhan Jakarta menyebabkan tingkat urbanisasi ke Ibu Kota melonjak. Penduduk dari daerah lain berbondong-bondong hijrah ke Jakarta.

Akibatnya, tingkat pengangguran di Jakarta kembali meningkat. Gelandangan kembali memenuhi jalanan Jakarta. Mereka juga berpenyakit karena tidur di trotoar atau emperan toko. Alasan itu yang menyebabkan Ali mengeluarkan kebijakan menutup Jakarta dan merazia gelandangan.

Dalam buku Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977, Ali menceritakan pengalamannya ketika suatu malam melewati Taman Suropati di depan gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Di taman tersebut terdapat tiga patung Kartini. Namun malam itu jumlah patung seperti bertambah satu.

Ternyata “patung” keempat itu adalah perempuan gelandangan tua yang sakit dan tertidur. Ali memanggil polisi untuk membawa perempuan tersebut ke rumah sakit. Ia merasa kasihan. “Tapi saya ingin menendang gelandangan yang kuat, namun malas, tiduran mengotori taman dan pemandangan,” ucapnya. 

Tantangan terberat yang dihadapi Ali adalah mengatasi banjir Jakarta. Posisi DKI yang menjadi muara dua sungai besar, Ciliwung dan Cisadane, menyebabkan kota ini kerap kebanjiran. Berdasarkan perhitungan Ali, biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi banjir mencapai US$ 800 juta. Keuangan pemerintah Jakarta tidak mencukupi. Bantuan pemerintah pusat pun seret. 

Ali lantas mengeruk muara sungai, menormalisasi sungai dan saluran, serta membikin waduk-waduk kecil. Namun upaya itu tak cukup menyelesaikan persoalan banjir secara menyeluruh. Ali memperbanyak kawasan hijau untuk mengurangi potensi banjir merendam Jakarta. “Saya menggebrak dengan gerakan penghijauan di seluruh Jakarta,” kata Ali.

Dia juga memerintahkan Kepala Pertamanan Jakarta saat itu, Agus Djaelani, melakukan penghijauan. Bahkan Ali menyuruh Agus pergi ke Belanda dan mempelajari cara pemerintah Belanda memperindah kota sekaligus mengurangi banjir. 

Ali Sadikin saat peresmian perbaikan kampung di Pisangan Lama, Jakarta. Dok. TEMPO/Humas DKI

Sempat muncul gagasan untuk meniru Belanda dengan menanam pohon asem di berbagai sudut Jakarta. Namun Ali tidak setuju karena pohon asem memerlukan waktu lama untuk besar dan rindang. Ingin Jakarta segera hijau, Ali memilih akasia, angsana, mahoni, flamboyan, dan cemara yang lebih cepat tumbuh.

Penanaman pohon dilakukan di semua penjuru kota. Jalan-jalan utama, seperti Jalan Sudirman, dibelah dan di tengahnya ditanami pohon. Dalam waktu sekitar dua tahun, wajah Jakarta yang gersang berubah menjadi hijau.

Ali juga menetapkan Jakarta Selatan sebagai kawasan hijau dan penahan air kiriman dari selatan DKI. Ia memperketat perizinan pembangunan permukiman dan perkantoran di sana. Koefisien dasar bangunan di sana tidak boleh lebih dari 30 persen. Artinya, pemilik tanah hanya boleh mendirikan bangunan tidak lebih dari 30 persen luas lahan yang dimiliki.

Di kawasan tertentu yang dianggap sebagai kawasan penampung air, seperti Kelurahan Kemang, tingkat koefisien dasar bangunan bahkan hanya 20 persen. Sedangkan untuk kawasan hutan kota sama sekali terlarang untuk didirikan bangunan.

Ali tak segan menindak tegas pelanggar aturan tata kota Jakarta. Salah satunya anak Wakil Gubernur Jakarta Bidang Kesejahteraan Rakyat Soewondo. Saat itu anak Soewondo yang memiliki perusahaan real estate diduga menyerobot daerah hijau. Ali menghukum anak Soewondo membayar denda Rp 700 juta.

“Ali tidak pernah kompromi dalam menjalankan aturan tata kota Jakarta. Itu yang membedakan Ali dengan para Gubernur Jakarta setelah dia,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga pada Jumat, 12 Agustus lalu.

Namun tata kota Jakarta yang dibangun Ali perlahan runtuh setelah dia tidak lagi menjabat gubernur pada 11 Juli 1977. Presiden Soeharto menunjuk Letnan Jenderal Tjokropranolo menggantikan Ali. “Hampir seluruh kebijakan Tjokropranolo berkebalikan dengan Ali Sadikin,” kata Nirwono. 

Kampung-kampung kumuh tidak lagi diperhatikan sehingga perlahan kembali ke wujud awalnya. Jakarta kembali terbuka lebar bagi para pendatang, yang berdampak pada peningkatan jumlah penganggur dan gelandangan. Lalu lintas juga macet setelah becak diperbolehkan kembali beroperasi.

Larangan pembangunan di ruang terbuka hijau pun tak lagi diterapkan. Hutan kota berubah menjadi permukiman dan gedung perkantoran. Pada 1985, luas kawasan hijau di Jakarta berkurang menjadi 25,8 persen. Kondisi makin buruk ketika Rencana Induk DKI Jakarta 1985-2005 tidak lagi memasukkan kawasan sabuk hijau Jakarta. 

Kawasan Kemang pun dipenuhi bangunan. Hutan kota di Tomang, Jakarta Barat, berubah menjadi apartemen dan pusat belanja. Hutan Angke Kapuk yang semula merupakan kawasan hutan lindung berubah menjadi perumahan mewah. Kian lama ruang terbuka hijau kian menyusut hingga tersisa hanya 9 persen dari luas Jakarta.

Akibatnya, hampir setiap tahun bah menghantam Jakarta. Pada 1996, banjir membuat 529 rumah hanyut dan 30 ribu penduduk mengungsi. Sebelas tahun kemudian atau pada 2007. 70 persen wilayah Ibu Kota terendam dan 80 orang meninggal.

“Banjir akan terus berulang dan makin parah jika pemerintah tidak segera menyeimbangkan pembangunan dengan ruang terbuka hijau,” tutur Nirwono. Idealnya ruang terbuka hijau adalah 30 persen dari luas kota.

Masalahnya, menurut Nirwono, sejak 2000 hingga sekarang pemimpin Jakarta tidak kunjung bisa memperbaiki tata kota Jakarta dengan meningkatkan luas kawasan hijau. “Ini yang membuat kami, warga Jakarta, selalu merindukan sosok pemimpin seperti Ali Sadikin.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dibangun Ali Dirusak Pengganti"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus