Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Amarah di negeri Koka

Kisah jaringan narkotik di columbia. pemerintah tak berdaya menumpas para pengedar narkotik yang selalu siap dengan aksi pembunuhannya. bahkan raja narkotik di sana dibanggakan sebagian masyarakat.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Bogota, ibu kota Colombia, suatu hari. Sebuah Mercedes putih meluncur di salah satu jalan utama. Di belakangnya, dua anak muda berboncengan Yamaha merah menguntitnya. Ketika mobil itu berhenti, tujuh tembakan terdengar. Waktu itu Mei 1984. Si penembak, mereka yang berboncengan itu. Korbannya, Rodrigo Lara Bonilla, menteri kehakiman. Keesokan harinya, Belisario Betancur Cuartas, Presiden Colombia kala itu, menyatakan perang kepada jaringan narkotik. Bukan baru sekali ini perang diumumkan, tapi di salah satu negeri Amerika Latin itu memerangi jaringan narkotik seperti membasmi jamur: dicabut satu tumbuh dua. Mafia narkotik, demikian sebutan populernya, di Colombia berkembang dengan canggih. Lebih dari mafia Sisilia di Italia dan Amerika, mereka sungguh brutal - pendendam yang tak kunjung padam. Siapa pun mencoba mengusik sarang atau pun orang mereka, mati adalah balasannya. Celakanya, kondisi sosial di Colombia memungkinkan jaringan ini berkembang subur. Seorang kepala polisi di Bogota mengeluh kepada wartawan Gamma. "Tak seorang pun di negeri ini berani campur tangan tuntas melawan narkotik. Konsekuensinya sungguh menakutkan," tuturnya. Dan lebih celaka lagi, cerita polisi itu, antara masyarakat biasa dan pengedar narkotik tak jelas batasnya. Bahkan kini muncul sas-sus, kepada jaringan narkotik diberikan toleransi karena sudah begitu meluas. "Esok, siapa tahu, negeri ini telah menjadi pengekspor narkotik secara resmi," tambah kepala polisi itu. Colombia memang tercatat sebagai salah satu penyumbang terbesar kokain yang beredar di seluruh dunia. Di negeri inilah bermukim raja kokain terkaya Pablo Escobar Gaviria, yang oleh masyarakat sekitarnya dipanggil dengan sebutan. don - tuan bangsawan. Berbeda dengan Kunsha, si raja candu di Segitiga Emas yang hidup sebagai buron, raja narkotik di Colombia tenang-tenang tinggal di real estafe mewah di Bogota. Sesekali ketenangan itu diusik, misalnya, oleh penangkapan-penangkapan yang dilakukan polisi. Umpamanya, Februari lalu, satu dari tiga gembong terbesarnya, Carlos Lehder Rivas, diringkus. Dan ini sebuah kejutan. Sebagaimana rekan-rekannya, Lehder selama ini merasa diri sepenuhnya aman, tak mungkin tersentuh hukum. Mereka membunuh setiap orang yang tidak disenangi, dari menteri sampai anggota Mahkamah Agung - pokoknya siapa saja yang merintangi jalan mereka dengan leluasa. Melalui teror dan kecurangan, dalam banyak hal, sesungguhnya mereka lebih berkuasa daripada pemerintah negara itu. Maka itulah, ketika Lehder pria gagah dan angkuh berusia 39 tahun, ditahan bersama 14 centeng-nya, di salah sebuah rumahnya, orang seperti tak percaya. Inilah hasil operasi pemberantasan narkotik yang benar-benar kakap. Dalam jam-jam berikutnya, Lehder sudah diangkut dengan sebuah pesawat pemerintah, diekstradisikan ke Florida, untuk menghadapi daftar panjang tuduhan keterlibatannya dalam perdagangan obat bius. Di samping rasa heran, kecemasan meruyak di mana-mana. Seluruh Colombia tahu, penangkapan Lehder itu juga berarti para mafiosi narkotik akan unjuk gigi. Seperti kepala polisi itu, orang-orang Colombia tahu persis, sebenarnya negeri mereka sudah berada dalam sanderaan organisasi kejahatan itu. Sementara itu, seberapa tangguhnya tekad pihak pemerintah untuk memerangi penjahat terorganisasi itu belum teruji. Seorang polisi lain menyatakan kepada koresponden majalah Time, "Yang menakutkan, seorang kepala bandit tertangkap, sudah siap sekian bandit menggantikan kedudukannya." Pilihan yang harus dijatuhkan, bagi sejumlah penegak hukum di salh satu negeri Amerika Latin ini, memang sangat merepotkan. "Para pengedar narkotik memiliki kekuasaan yang melewati batas negara, karena kekayaannya yang melimpah," ujar Jaksa Agung Carlos Mauro Hoyos baru-baru ini. "Tapi bila kita membiarkan diri terintimidasi oleh ketakutan atau oleh kekuasaan orang-orang ini, masa depan kita akan makin tak menentu." Bagi William Jaramillo Gomez, Wali Kota Medellin, situasi negerinya kini merupakan "krisis terburuk dalam sejarah kita, karena itu adalah krisis nilai-nilai. Gomez memang berada di garis depan. Medellin, itulah kota yang menjadi pusat kerajaan kokain Colombia. Dinas Penanggulangan Obat-obat Terlarang AS bahkan menempatkan orang-orang di sini. Dan betapa gawatnya situasi bisa dibayangkan dari ini: agen-agen AS itu telah ditarik kembali beberapa lama lalu karena selalu kalah. "Ketika saya berbicara tentang bahaya itu," Wali Kota Gomez melanjutkan, "Saya merasa menyampaikan amanat moral dan intelektual. Tapi, sambutan yang saya dengar hanya keheningan karena terbungkam oleh ketakutan." Sebagaimana Presiden Betancur di tahun 1984, Virgilio Barco Vargas, presiden baru yang masuk kantor pada Agustus tahun lalu, mula-mula hanya memberikan sedikit prioritas kepada penanggulangan masalah narkotik. Dan ketika kekerasan yang berkaitan dengan obat terlarang menjadi gelombang pasang, Barco pun terpaksa bertindak, akhir Desember lalu. Gebrakan inilah yang membuat si Lehder itu tertangkap. Tapi, seperti sudah disebutkan, rasa syukur para warga negara yang menginginkan ketenteraman tidak lama. Pesimisme sudah lama mencekik harapan. Seperti kata seorang editor surat kabar terkemuka, yang hanya ingin bicara di balik tabir kesamaran. "Kita sudah membiasakan diri hidup dengan hukum rimba," katanya. "Saya tidak yakin bahwa pada akhirnya kebajikan akan menang terhadap kebatilan ." * * * Ketika Colombia tergelincir makin terjerumus ke dalam yang oleh pejabat pemerintah disebut "kawah iblis", para pemimpin negeri itu mengakui mereka tidak mempunyai suatu keputusan politik yang nyata. Apa pun cara yang dipakai, perang terhadap jaringan obat terlarang senantiasa menjadi tawar oleh kekerasan atau penyogokan. Pihak polisi atau tentara, karena takut atau oleh sebab sogokan, gagal mencapai lebih jauh ke sosok para pengedar utama bahkan bila sarangnya telah di depan mata. (Carlos Lehder ditangkap setelah sejumlah komandan puncak polisi Medellin diganti beberapa hari sebelumnya.) Sementara itu, Congress, yang disarati politikus yang berkampanye dengan uang panas dari perdagangan obat terlarang, bungkam. Sejumlah anggota terkemuka partai Liberal dan Konservatif disebutsebut bersangkut-paut dengan kartel kokain. Tapi juga kelompok gerilya sayap kiri dikabarkan memungut bagiannya dari uang haram itu. Dan pengadilan telah dibuat lumpuh: 57 hakim (dari awal 1970-an hingga awal tahun ini) dibunuh karena menampik sogokan, atau karena mengabaikan ancaman. Bahkan Gereja Katolik Roma - sungguh mengherankan - yang diketahui sampai tiga tahun lalu menerima sumbangan dari bos-bos mafia narkotik, bungkam tentang masalah tersebut. Seolah tak ada lagi lembaga di Colombia yang bisa diandalkan militansinya untuk melawan mafia jenis ini. Mereka yang merasa berada di pihak yang memusuhi jaringan narkotik, berusaha melindungi dirinya sendiri. Lihat saja, Kedubes AS di Bogota bagaikan sebuah lubang perlindungan para diplomatnya ke mana-mana mengantungi senjata api. Pendahulu Presiden Barco, Belisario Betancur, yang melancarkan kampanye antiobat terlarang, dilindungi sekitar 40 tukang pukul. Mereka yang karena satu dan lain hal tak memiliki perlindungan di dalam negeri, lalu lari ke luar negeri. Tapi di negeri orang pun mereka tetap terancam. Bekas Menteri Kehakiman Enrique Gonzales, misalnya, setelah menghukum sejumlah pengedar narkotik, ia dikirim ke Hungaria sebagai duta besar. Pada 13 Januari lalu, secara ajaib Gonzales selamat dari usaha pembunuhan yang dilakukan di luar kediaman resminya di Budapest. Para bos obat bius menunjukkan, mereka bahkan mampu menerobos Tirai Besi, untuk melaksanakan niatnya. Tindakan balas dendam juga menimpa Kolonel Jaime Ramirez, bekas kepala polisi antinarkotik yang disegani. Ia terbunuh akhir November, 11 bulan setelah ia berhenti dari jabatan itu. Adalah sejumlah wartawan, yang menulis tentang para capo kokain, membongkar kedok mereka, mengkritik pemerintah dan masyarakat yang apatis. Ganjarannya, dalam tiga tahun terakhir ini 24 di antaranya terbunuh. Guillermo Cano Isaza, editor dan penerbit El Espectador, koran terbesar kedua di Bogota, suatu hari menulis di surat kabarnya "Seolah-olah masyarakat sendiri menjadi teler, hingga tak mampu melihat bahwa kekuasaan para pengedar narkotik kian bertumbuh secara besar-besaran." Dan inilah yang diterimanya: ketika ia menyetir mobilnya sendirian dan tanpa senjata, 17 Desember 1986, ia diberondong oleh dua pengendara sepeda motor merah bersenjata api. Ia langsung almarhum. Kematiannya mengguncang elite negeri itu . Kokain telah lama berada di Colombia. Orang-orang Indian menggunakannya untuk berbagai keperluan, dan menikmati kokain menjadi gaya hidup di lingkungan bangsawan Victoria Inggris. Namun "bakat" istimewa untuk mengedarkannya dan menjadikannya lembaran dolar adalah milik kaum mafiosi Colombia. Yaitu dalam cara mereka mengalirkannya ke pasar. Diam-diam tapi masal dengan harga yang cukup murah bagi para pelajar dan kaum sekretaris cukup "aman" bagi bankir-bankir dan khalayak usahawan. Dalam waktu sangat pendek, para mafiosi telah mengontrol seluruh operasi, sejak dari pembelian daun dan getah coca dari petani miskin di Peru dan Bolivia, melalui pemrosesan hydrochloride untuk menjadikannya bubuk putih di laboratorium-laboratorium di Colombia. Sampai akhirnya, mengirimkannya ke agena besar dan selanjutnya menyebarkannya secara ketengan di AS. (Diperkirakan 80 ton kokain dalam setahun kini dimasukkan ke AS.) Pablo Escobar Gaviria Ocha, yang menempati jenjang puncak dari daftar pengedar kokain yang paling di-wanted di dunia, dipanggil dengan rasa hormat oleh penduduk Medellin sebagai Don Pablo. Diperkirakan bos ini memiliki kekayaan sekitar US$ 2 milyar. Termasuk kaum milyaran adalah anak-anaknya sendiri, yang juga bermukim di Medellin: Fabio (yunior), Juan David, dan Jorge Luis. Carlos Lehder Rivas, yang kini menanti disidangkan di Florida, melengkapi kepemimpinan tinggi yang disebut kartel Medellin, walaupun ia berasal dari Kota Armenia, 100 mil ke selatan. Sejak 1978, kartel ini telah menyelundupkan kokain murni senilai milyaran dolar. Dari AS saja ia mengantungi tak kurang dari US$ 10 milyar. Medellin memang cocok menjadi sarang mafia narkotik. Terletak di Colombia barat laut, punya hubungan udara yang baik sekali. Kota ini dikelilingi bukit-bukit, tempat yang sangat ideal untuk menyembunyikan tempat-tempat pengilangan kokain. Apalagi, kota ini adalah kota industri, menjamin tetap adanya barang-barang kimia bagi keperluan pemprosesan kokain, tanpa banyak menimbulkan kecurigaan. Seperti sejarah sudah merencanakannya, pada 1970-an terjadi kemerosotan gawat dalam sektor industri tekstilnya. Beribu-ribu pekerja muda terlempar ke jalan-jalan, menganggur. Mereka inilah nantinya menjadi "keledai tunggang" atau "prajurit" bagi kaum pengedar narkotik. Ketika kerajaan narkotik ini menggelembung, para capo baru itu segera melaksanakan strategi menghapus jejak. Mereka menyuap para polisi dan pejabat. Di samping itu, seperti biasanya OKB alias orang kaya baru, mereka membeli rumah mewah, mobil, pesawat udara, serta kuda pacu yang gagah. Tak ketinggalan adalah hacienda (tanah pertanian dan peternakan amat luas) mereka beli pula. "Tapi impian sejati mereka sebenarnya adalah membeli penghargaan publik, agar mereka diterima dalam lingkungan sosial tradisional," tulis Koresponden Alan Riding, yang menuliskan cerita ini. Dan, mungkin tak mereka duga, harapan itu tak sulit dicapai: masyarakat Medellin dengan riang ria ikut menikmati kekayaan mereka, tanpa mempedulikan benar dari mana datangnya. Malah, "Segera saja para narco itu ingin bergabung dalam Union Club dan Country Club," kata seorang pengusaha setempat tentang mafia narkotik, "dan diterima. Mengagetkan juga." Yang mencolok mata adalah citra narco (narko, dari narkotik) yang segera dilekatkan kepada seseorang yang dianggap dipengaruhi di dalam cara apa pun oleh para capo: ada narko-gerilyawan, narkowartawan, narko-jaksa, narko-politikus, dan lain-lainnya. Bila mafia di AS dikuasai oleh lima keluarga besar, mafiosi narkotik Columbia terdiri dari tiga keluarga utama: Ochoa, Escobar, dan Lehder. Mereka orangorang yang tak sungkan pamer kekayaan. Keluarga Ochoa sering kali mensponsori adu banteng, dan jarang melewatkan acara pacuan kuda. Keurakan utama Lehder, di samping mengagumi Adolf Hitler secara terang-terangan, adalah menjadi panitia pembangunan patung John Lennon, anggota The Beatles yang tubuhnya cabik-cabik diterobos peluru pembunuhnya. Patung itu ditempatkan di kompleks hotel bergaya country milik Lehder. Escobar - yang konon terkaya di antara mereka bertiga - yang bangga akan kebun binatang yang ia bangun di Puerto Triunfo, adalah yang pertama menjadi dermawan sosial. Ia menyumbang kegiatan amal yang diadakan gereja, dan pihak gereja ternyata bersedia menerimanya. Uskup Dario Castrillon dari Pereira belakangan menjelaskan alasannya, "Untuk menegah uang itu diinvestasikan di rumah-rumah pelacuran, produksi obat bius, atau bagi kejahatan lainnya." Escobar juga melaksanakan program yang disebut "Medellin tanpa Kawasan Kumuh". Sekitar 500 rumah sederhana didi rikan di pinggang-pinggang bukit yang menghadap kota. Dan yang menjadi kepala proyek pembangunan rumah bagi si miskin itu, jangan kaget, seorang pastor Katolik Roma. Dan, semua investasi itu tidak sia-sia. Citra Escobar sebagai "Don Pablo yang Baik" membuatnya terpilih sebagai calon pengganti anggota Congress untuk Provinsi Antiquia, pada 1982. "Karcis masuk" buat Don ini disediakan oleh sebuah fraksi Partai Liberal. Di bawah ketiga mereka ada, misalnya, Gonzalo Rodrigues Gacha dan Roberto Rodriguez Orjuela. Orang-orang golongan kedua ini tak kurang royalnya. Adalah saudara laki-laki Rodriguez, Miguel namanya, yang membeli tim sepak bola Amerika dan jaringan radio Grupo Radial Colombiano. * * * Bila para pengedar narkotik bernafsu terlibat dalam politik, memang ada alasan kuatnya. Persetujuan ekstradisi Colombia-AS pada 1979 memungkinkan mereka dikirim ke Amerika untuk diadili. Mereka tentunya tak ingin mengalami mimpi buruk ini: mendekam puluhan tahun di penjara Amerika. Itulah, mereka pun mensponsori upaya pencegahannya, dengan membiayai propaganda kilat menentang persetujuan itu di koran-koran Colombia dan di Congress. Lehder, bahkan, mendirikan surat kabarnya sendiri, Quindio Libre, mendirikan Partai Nasional Latin, dan semuanya itu untuk membantu mengaduk dan membangkitkan sentimen nasional terhadap gagasan mengadili orang Colombia di pengadilan luar negeri. Lehder berkaok-kaok bahwa setiap orang di Colombia mendapat manfaat dari "narko-dollar" yang dibawa masuk ke negeri itu. Pesan manis tapi berbisa itu tampaknya mampu merasuk. Empat tahun kemudian, kendati permintaan orang Amerika datang bersusun tindih, Presiden Betancur tak meneken sepotong perintah ekstradisi pun. Suntikan keberanian datang dari Rodrigo Lara Bonilla, yang, pada musim gugur 1983, diangkat sebagai menteri kehakiman yang baru. Dengan kekuasaannya ia memerintahkan penangkapan pedagang obat bius yang "dapat diekstradisikan". Para capo menggeletuk, takut dan marah, sampai ke lutut-lututnya. April berikutnya, operasi kerja sama pemberantasan narkotik, Colombia dan Amerika, memporak-porandakan sebuah laboratorium narkotik di hutan dan menyita 27.500 pon kokain murni senilai sekitar US 1,2 milyar - hasil terbesar selama ini. Tapi, sebulan kemudian, Lara, menteri baru itu - seperti dikisahkan di awal tulisan ini - diberondong peluru selagi menyetir mobilnya di tengah senja. Berbeda dengan pembunuhan-pembunuhan pejabat sebelumnya, kali ini publik benar-benar marah. Bahkan Presiden Betancur sendiri menyatakan "perang tanpa gencatan senjata" terhadap para pengedar obat terlarang. Ia juga langsung menandatangani perintah ekstradisi yang terkatung-katung selama tiga tahun. Tahun berikutnya, 1985, Presiden Betancur dan menteri kehakimannya yang baru, Enrique Parejo, melakukan ekstradisi 12 orang Colombia dan Jerman ke AS. Sementara tiga orang Amerika dan seorang Colombia diekstradisikan balik ke Colombia. Untuk pertama kali selama bertahun-tahun, Washington secara terang-terangan memuji operasi antinarkotik pemerintah Colombia. Untuk sementara tidak seekor pecesgordos (ikan kakap) pun terjaring. Tampaknya, para bos terpaksa menyembunyikan diri. Agak mengherankan, kali ini pihak mafia melambaikan isyarat damai. Mereka mengimbau suatu "kerja sama di tahun depan". Dan mereka menawarkan akan menarik diri dari bisnis narkotik, meninggalkan kancah politik, dan menarik pulang modal mereka yang tersimpan di bank-bank di AS, Panama, dan Eropa Barat. Syaratnya, Presiden Betancur membatalkan persetujuan ekstradisi yang berlaku surut. Suatu tawaran yang menghina, sebenarnya. (Tawaran yang kurang resmi, yang disampaikan dua tahun belakangan, mereka bersedia membantu membayar utang luar negeri Colombia yang sebesar US$ 13 milyar) . Dan apa yang kemudian terjadi? Rupanya, kemarahan pemerintah tak lama, dan pujian dari Washington-tak cukup. Terjadilah seperti yang sudah-sudah: gembosnya semangat pemerintah. Yang mencengangkan adalah kesediaan bekas Presiden Colombia, Alfonso Lopez Michelsen, menjadi juru runding pemerintah untuk berbicara dengan Pablo Escobar dan Jorge Luis Ochoa dalam satu pertemuan rahasia di Panama. Tapi rupanya Loppez terlambat. Para capo telah menghilang. Lalu dengan buru-buru Jaksa Agung Carlos Jimenez Gomez menuju Panama untuk menerima tawaran para pengedar barang haram itu dalam pertemuan rahasia lainnya. Sementara itu, tidak ada seorang politikus pun yang menginformasikan kepada pejabat Amerika di mana kedua capo buruan itu berada. Dan kemudian tersiar kabar tentang Escobar yang santai minum-minum di Hotel Hilton di Ibu Kota. Atau tentang anak-beranak Ochoa yang terlihat di arena pacuan kuda. Mereka tentunya muncul di depan publik dengan kawalan pasukan pribadi yang bersenjatakan mitralyur ringan yang disamarkan. Tetapi bahwa tak terjadi insiden sama sekali, membuktikan rupanya perundingan berjalan baik. Bahkan seorang capo, yakni Jorge Luis Ochoa, yang terjaring polisi di Spanyol dan menunggu diekstradisikan ke Colombia, bisa lepas. Dengan uang jaminan, si kakap itu lalu bebas, lalu raib. Satu lagi, Ramon Matta Ballesteros, orang Honduras yang jadi tengkulak antara pengedar Colombia dan Meksiko, suatu petang di hari Minggu Maret 1985, membagi-bagikan sejumlah US$ 2 juta kepada para sipir penjara di Bogotap1 dan ia lalu melenggang bebas ke alam merdeka. Dan betapa pemerintah Colombia bisa kecolongan. Pada November 1985, kaum gerilyawan Gerakan 19 April, atau M-19, menduduki gedung Mahkamah Agung di pusat kota Bogota. Mereka, menurut para pejabat Amerika, seketika menghancurkan semua dokumen yang berhubungan dengan ekstradisi yang belum dilaksanakan. Itulah bagian dari "kontrak" mereka dengan kaum bos obat bius. Ketika Tentara menyerang balik, 11 dari 24 hakim agung termasuk di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu. Selama lima tahun terakhir telah 57 hakim yang terbunuh, 36 di antaranya berasal dari kantor pengadilan yang lebih rendah. Mungkin karena risiko itu, kendati men jadi hakim agung dianggap suatu kehormatan, sejumlah hakim yang terpilih memilih minta berhenti. Pada Januari lalu, seorang ketua pengadilan, Fernando Uribe Restrepo, mohon undur diri dan pindah ke Ekuador. Penggantinya, Nemesio Camacho Rodriguez, ketika itu berkata, "Kami semua diintimidasi, tapi saya tidak merasa takut." Lima hari kemudian, dia, juga, minta berhenti. * * * BERTENGGER di tebing berlumpur sebuah sungai yang membelah dataran rendah Colombia, San Jose Guaviare adalah sebuah monumen bagi hasrat dunia yang tak pernah puas akan kokain. Bermula pada awal 1980-an, migran papa sengsara datang berbondong-bondong ke kawasan itu. Tujuannya tidak lain dari ini: menebas semak dan belukar, menanam pohon koka, dan kemudian menyuling dedaunannya yang hijau terang menjadi bubuk berwarna cokelat. Bubuk jahanam itu disebut bahan dasar koka. Dan San Jose - tempat para penanam menjual hasil panennya, memanfaatkan uang mereka dengan gayanya sendiri-sendiri - mencerminkan boom obat bius di kota itu. Tempat itu berkembang sepuluh kali lipat: dipadati 24.000 penduduk, dijamuri puluhan bar, rumah mesum, dan klub malam. Pelabuhan udara baru pun dibangun. Kriminalitas meningkat, walaupun tahun lalu "hanya" 82 pembunuhan yang sempat tercatat, menurun dari 150 pada 1985. Sejumlah 180 polisi dan tentara antinarkotik ditempatkan di San Jose. Tapi mereka jarang meninggalkan posnya di kota. Polisi menunda penyergapan laboratorium darurat pembuat bahan dasar koka, sampai, kata mereka, helikopter tempur dipersenjatai. Dan tentara telah berhenti berpatroli sejak adanya gencatan senjata dengan Pasukan Revolusioner Colombia (FARC, kelompok pemberontak terbesar negeri itu, yang mengontrol sebagian besar ladang koka), Mei 1984. Satu jam berlayar dengan perahu motor ke hulu Sungai Guayabero dari San Jose sampailah di Desa Raudal. Suasana cukup santai. Sejumlah bar dipadati petani yang ingin mengusir udara panas dengan bir dingin. Sebagian terbesar mereka para penanam koka, dan beberapa di antaranya cukup mampu: ada yang berani bertaruh senilai US$ 75 di gelanggang adu ayam. Beberapa yang lain mengenakan seragam khaki yang menyarankan kehadiran diam-diam anggota laskar gerilya kiri. Kekuasaan FARC diterima di desa ini, memang. AS telah memanfaatkan jaringan "MRC-narc" untuk mendukung tuduhannya bahwa kaum kiri dan pengedar narkotik setali tiga kepeng, alias bekerja sama. Negara itu juga menuding bahwa kelompok gerilya lainnya, khususnya M-19, punya pertalian dengan komplotan penjaja obat terlarang. Mereka menerima senjata atau menarik "pajak", dan imbalannya mengizinkan para narko melakukan kegiatan di wilayah yang mereka kuasai. Sementara itu, pemberontak "FARC-narc" di kawasan Guaviare diketahui menerima perolehan dari para tengkulak atau penghubung yang membeli bahan dasar koka. Dan bila ditanya, para gerilyawan itu bilang, mereka "membiarkan" pembudidayaan kokain karena para petani tidak dapat hidup dari hasil pertanian biasa. "Penduduk ingin menanam jagung, yucca, cokelat, atau pisang, tapi mereka tidak memperoleh harga yang pantas," kata Jorge Solano, pemimpin lokal Perserikatan Patriot, partai yang didirikan oleh FARC dan Partai Komunis setelah gencatan senjata 1984. Dan karena mereka berkeinginan mengukuhkan basis sosialnya di kawasan itu, mereka memberlakukan sejumlah peraturan untuk melindungi para petani. Mereka menentukan jumlah hari maksimal bagi pemetik yang dibiarkan mondok sementara. Dan untuk melindungi komunitas itu, mereka menerapkan hukuman keras - termasuk hukuman mati, begitu orang bilang - terhadap yang mencoba-coba mencicipi, apalagi mencandui, narkotik. Jangan kata menawar-nawarkannya kepada orang lain. Akhirnya, meski tak ada kesepakatan hitam di atas putih, petani-petani diizinkan menanam koka. Keyakinan pihak pejabat, konon, pembudidayaan koka lambat laun akan hilang sendiri bila pemerintah telah membuka dan meningkatkan jalan-jalan, membangun sekolah dan klinik, membagi-bagikan tanah dan mendorong pemasaran berbagai produk baru. Harapan yang nyaris utopis. * * * Adalah pembunuhan terhadap Guillermo Cano, seorang penerbit surat kabar, pada 17 Desember 1986, yang membatalkan Presiden Barco mengesahkan usulan Kejaksaan Agung. Tiga hari sebelumnya, pihak Kejaksaan Agung menyatakan bahwa persetujuan ekstradisi AS-Colombia bertentangan dengan undang-undang, berdasarkan alasan-alasan teknis. Karena itu, Presiden Barco dapat mencabut kembali tanda tangannya, membatalkan persetujuan itu. Bukan pencabutan tanda tangan, yang terjadi. Menjawab tantangan mafia narkotik yang membantai Cano, Presiden memerintahkan pengerahan pasukan yang melibat polisi dan tentara. Suatu serangan baru segera disiapkan. Mahkamah Militer diperintahkan menangani kasus-kasus menentukan. Dan hasilnya, itu tadi, Carlos Lehder ditangkap, siap diekstradisikan ke AS. Tetapi belum pasti benar adakah ini perang habis-habisan antara pemerintah Colombia dan mafia narkotik. Akankah terjadi - seperti di Italia dan AS - pengadilan masal buat jaringan narkotik Colombia? Hingga awal-awal 1987 ini jaringan para mafiosi narkotik itu seolah belum terkutik. Carlos Lehder memang diringkus, tapi lihat saja foto dia bersama 14 centeng-nya itu. Tetap gagah, tersenyum gembira, melecehkan para penangkapnya. Seolah ia yakin, sebentar lagi, toh, bebas juga. Sebaliknya, para hakim dan jaksa terus hidup dalam teror. Dan ancaman terhadap keselamatan kaum wartawan masih berlangsung, malah meningkat. "Untuk pertama kali dalam hidupku, saya mengendarai mobil tahan peluru," ujar Hernando Santos, penerbit El Tiempo, koran terbesar negeri itu. "Tapi saya tahu sikap berjaga-jaga tidak berguna." Sudah begitu parahkah keadaan ? Para pengamat jaririgan narkotik menduga bahwa penembakan terhadap Cano, penerbit koran itu, memang disengaja untuk memancing perang. "Kami mendengar mereka memerintahkan dilakukannya pembunuhan terhadap Cano agar para capo kakap dapat merasakan panasnya perang," kata seorang ahli narkotik asing. Konon, bila rencana pembunuhan sudah disetujui, setiap capo besar dimintai sumbangan untuk membayar pembunuh. Tujuannya, menyamaratakan tanggung jawab. Syahdan, kecemasan pun makin meningkat. Yaitu ketakutan terhadap harga yang harus dibayar negeri ini. Orang Colombia yakin bahwa negeri dan diri mereka telah menjadi sanderaan kaum mafia. Tak enaknya lagi, sementara dolar AS-lah yang membuat kaya-rayanya para mafiosi, pemerintahan Reagan sendiri rupanya kurang bersemangat menggasak jaringan narkotik. Ketika AS belakangan ini memotong anggaran program pemberantasan narkotik, segera koran-koran Colombia memberitakannya di halaman depan. Entah putus asa, entah ini memang taktik jitu, Desember lalu, ketua lembaga peradilan, Buitrago Hurtado, mengusulkan legalisasi narkotik. "Ini pendapat pribadi," kata Buitrago, seorang ahli hukum yang tak bisa diremehkan, ketika diwawancarai televisi Bogota. "Saya kira kita telah berlaku tolol, memerangi jaringan narkotik dengan taruhan mahal, sementara kita tak menerima sepeser keuntungan pun." Saran itu langsung ditolak, dinilai absurd, kendati memperoleh juga sejumlah kecil dukungan. Pada Januari, lahir kegemparan yang diakibatkan oleh Alvaro Gomez Hurtado - ini Hurtado yang lain - calon dari Partai Konservatif yang kalah dalam pemilihan presiden tahun lalu. Ia menuding bahwa telah timbul "ketidakseimbangan moral" di dalam cara memandang permasalahan. "Kita tidak sadar," tulis G6mez dalam nada getir, "bahwa para pejabat Colombia telah memprotes sistem demokrasi Amerika yang terkenal buruk dengan sikap toleransinya yang tidak bermoral. Coba, Amerika memberikan kesempatan terhadap pengonsumsian dan pengedaran obat terlarang di wilayahnya sendiri." Pernyataan G6mez merupakan titik balik anggapan selama ini. Para politikus dan kaum cendekiawan Colombia selalu berpikir bahwa Colombialah yang "meracuni" AS dengan kokain-kokain yang bahan bakunya tumbuh subur di negeri ini. Kini mereka menuding AS-lah yang menyebabkan mafia narkotik berkembang makmur. Tapi, jelas, debat sengit boleh berlangsung, sementara negeri itu terpasung di dalam perang yang risikonya tinggi. Untuk menang, Colombia harus membayar mahal: banyak petugas keamanan, wartawan, politikus, penegak hukum akan jatuh menjadi korban. Tapi bila kalah, lebih-lebih lagi. Politik, sosial, dan moral negeri itu akan digangsir habis-habisan oleh kekerasan dan penyelewengan dalam berbagai bentuknya. Bagaimana sebuah negeri bisa dikuasai oleh pengendar narkotik, tanya Anda. Kemungkinan itu bukan sesuatu yang mustahil. Sekarang saja, si Escobar itu, "seorang administrator hasil belajar sendiri, dan seorang organisator genius," mengembangkan jaringannya hingga berakar di segala bidang. Uangnya ditanam di usaha real estate, perusahaan hiburan, dan beberapa usaha lagi yang legal. Yang paling kurang ajar, menurut majalah Time, dalam kartelnya ia menghimpunkan dana yang siap sewaktu-waktu mengganti kerugian kompanyon dagangnya, misalnya mereka tertangkap polisi. Ini semacam usaha asuransilah. Dan "resmi"-nya, para mafiosi itu tak melakukan kejahatan apa pun. Inilah salah satu faktor, sebagaimana para mafiosi Sisilia, yang membuat pihak berwajib tak bisa menangkap mereka begitu saja. "Mereka tidak merampok bank," kata Craig Vangrasslek, yang kini sedang meriset industri obat bius di Bogota dibeasiswai oleh Yayasan Fulbright. "Tapi mereka membelinya." Dilihat dari segi ini, bisa jadi usul Alvaro Gomez Hurtado sebenarnya masuk akal. Colombia memang lain dibandingkan dengan Amerika atau Prancis, umpamanya. Di kedua negara itu yang dilawan oleh para hamba hukum adalah "importir" obat bius, yang tak mempunyai pengaruh sosial dalam masyarakat. Toh, begini pun para polisi sudah kewalahan. Di Bogota, musuh para penegak hukum adalah kaum "industrialis"-nya, yang punya "wibawa" sosial di antara rakyat - bahkan seorang Roberto Suarez Gomez, raja narkotik di Bolivia, dianggap sebagai Robin Hood masa kini. Bisa dipahami, perang antara pemerintah Colombia dan Escobar-escobar itu, melebihi yang sudah-sudah, adalah pertarungan untuk keselamatan sebuah negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus