Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lahirnya sebuah karya besar

Soemarsaid moertono meninggal pada usia 65 th. ia meninggalkan karya tulis yang sangat penting tentang budaya jawa yang berjudul state and statecraft in old java. sebuah tesisnya di cornel university.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soemarsaid Moertono, pengarang State and Statecraft in Old Java yang sangat masyhur sebagai rujukan, sudah meninggalkan kita Senin, 13 April lalu. Umar Kayam, budayawan yang mendapat Ph.D.-nya di alma mater tempat Soemarsaid menyelesaikan tesis M.A.-nya yang besar (1964) itu, melepas kepergiannya dengan sebuah kenang-kenangan yang sekaligus menunjukkan posisi Almarhum di dunia ilmu. ITHACA, kota kecil tempat berlindung Cornell University, bisa tidak ramah pada muslm dingin. MenJelang salju turun, waktu suhu mendekati titik beku dan angin mengembus kencang, hidung dan telinga bisa merasa disambar sebilah silet. Begitu nyeri: wajah-wajah bagai direntang kencang-kencang seperti siap dijadikan dendeng, sementara bibir kering dan pecah-pecah. Diamput, trembelane! Ngapain, sih, jauh-jauh ke sini cuma mau disiksa musim kayak begini? Sumpah-serapah itu mengiring masuk seorang bertubuh tinggi, yang membuka dan membanting pintu gedung Cornell Modern Indonesia Project yang tua, mengentak-entakkan boots karetnya sambil menaiki tangga berkereot-kereot masuk ke dalam kamar. Diempaskannya badannya yang (untuk ukuran orang Jawa) berukuran besar itu di ranjang berkasur kumal yang diseraki segala kertas dan buku. Dipejamkannya matanya. Lima hingga sepuluh menit dia akan begitu. Kemudian pelan-pelan bangkit kembali, membuka mantelnya yang tebal, sweater, halsdoek, dilemparkannya semuanya ke arah ranjang. Kemudian duduk di belakang meja tulis. Setumpuk kertas ketikan penuh coretan dikeluarkannya dari dalam tas. Dipandangnya lama-lama gundukan kertas itu, dan berkali-kali ditariknya napas panjangnya. Di mukanya akan terbayang wajah pembimbingnya, Profesor Oliver Wolters, sejarawan ahli Asia Tenggara yang botak, dingin, ketil, dan sangat Inggris. Masih saja, dalam sekian kali dialog mereka, profesor tua itu dapat menangkap secercah lubang kelemahan dalam rancangan tesisnya. Trembelane tenang Ia tahu betul: ia pasti jauh lebih paham tentang karangannya daripada si bule botak itu. Konsep nagari-gung Mataram, hasta-brata Serat Rama, jumbuhing kawula lan gusti, dan serentetan konsep lain yang akhirnya menjalin serat budaya Kerajaan Mataram, seberapa jauh sang guru tua itu lebih mendalam ilmunya dibanding dia? Tetapi, segera juga ia akan menerima tugas pembimbing tesis yang, bagai Socrates, memang harus terus mengejar muridnya sampai ke pemahaman paling mendasar, dan paling jernih, tentang konsep yang ditawarkan si murid sendiri. Ia menundukkan kepalanya, menghormati dan mencintai guru besarnya yang, ternyata, bersikap ketil terhadap draft tesisnya demi kebaikan tesis itu sendiri. Dibacanya sekali lagi - ketikan demi ketikan. Dibuka-bukanya kembali Babad Tanah Jawi, Serat Centini, Serat Rama, Gato Loco, Darma Gandul dan tentu juga semua studi kontemporer dari orang-orang seperti Berg, De Graaf, Pigeaud, maupun surat-surat keputusan, kekancingan, dan peraturan-peraturan keraton. Para penjaga perpustakaan dan Wason Collection mengenalnya sebagai orang yang tidak mengenal lelah. Sering mereka menemuinya tertidur lelah di carol (meja kecil untuk para mahasiswa tingkat lanjut) di perpustakaan. Tetapi, ada pula saat-saat ketika ia duduk termenung-menung di kamarnya di gedung Cornell Modern Indonesia Project. Ada saat-saat ketika kemacetan total tak terhindarkan, ketika kelelahan adalah juga kesepian dan kerinduan. Akan dibayangkannya rumahnya dan keluarganya di Jawa. Kadang dirasakannya "absurditas" kehadirannya di Cornell pada usia empat puluhan, meninggalkan keluarga yang sangat membutuhkan bimbingannya, "hanya" untuk belajar dari depan lagi. Itulah saat yang paling mengendurkan semangatnya. Tetapi agaknya, begitu titik lemah itu mencapai puncak, suatu kekuatan, suatu greget yang entah dari mana, akan muncul kembali. Mungkin gelombang vibrasi kasih sayang yang tidak hentinya dikirim anak-istrinya di Malang menyentuhnya pada saat seperti itu. Mungkin pula etos kerjanya sebagai priayi Jawa, yang sangat menjunjung tinggi kewajiban, menghardiknya untuk menegangkan kembali semangat itu. Apa pun, begitu ia bisa mengatasi suasana, ia akan gembira lagi. Kawan-kawan akan mengerumuninya di kamarnya, minta dibacakan - dan dijelaskan - bagian-bagian yang yahud dan hot dari Serat Centini. Dengan suaranya yang ulem dan merdu, akan ditembangkannya bagian-bagian itu. Kemudian semua yang mengikuti penjelasannya akan tertawa berderai-derai. Atau, di saat lain, ia akan memetik gitar, menyanyikan lagu-lagu keroncong - dengan halsdoek melilit di leher. Cikini di Gondangdia ... dan teman-temannya, para mahasiswa tua kedaluwarsa, akan nimbrung beramai-ramai. Akhirnya, sosok tesis itu tampak jelas. Sesudah sekian ratus lembar draft, sekian kali perdebatan dengan para pembimbing sekian kali diskusi dengan teman-teman, sekian kali frustrasi dan nyaris putus asa, karangan itu dinyatakan jadi. Tidak tebal - tetapi hati si pengarang lega: keinginannya selama ini, untuk melacak dan menata kembali perkembangan dasar pemikiran bernegara dan kiat mengatur negara Mataram abad-abad XVI-XIX, telah mewujud. Karya yang boleh dibilang tipis itu, yang tidak exhaustive atau njlimet melelahkan, ditulis dalam bahasa Inggris yang jernih, dengan judul State and Statecraft in Old Java, telah mampu menjelaskan banyak hal tentang budaya Jawa yang selama ini hanya kita tangkap dan kenal secara sepotong-sepotong. Dan, seperti ternyata kemudian pada waktu penerbitannya sebagai monograf dari Cornell Modern Indonesia Project, tesis itu langsung mendapat sambutan ramai dari dunia ilmu. Mereka yang ingin memahami Indonesia atau Jawa kontemporer merasa mendapat tambahan perspektif baru untuk analisa mereka. Buku demi buku, esai demi esai, bergantian mencomot isi karya itu sebagai referensi penting. Ia contoh tesis M.A. yang berbobot Ph.D. Kemudian, Soemarsaid Moertono, penulis karya besar itu, meninggalkan kita. Bagi banyak sahabat dan pengagumnya, kepergiannya yang mendadak beberapa waktu yang lalu itu, setelah sakit agak lama, merupakan kehilangan besar. Umurnya yang 65 tahun memang bisa dianggap tua oleh mereka yang berhitung secara "pensiunan", tetapi muda bagi mereka yang masih terus berharap akan lahirnya karya cemerlangnya yang lain. Benar-benar satu babakan yang terlalu tergesa-gesa direnggut dan dihabisi. Apa mau dikata. Barangkali Sang Penulis Skenario Agung telah menetapkan, sejak mula, bahwa tidak akan pernah lahir seorang Prof. Dr. Soemarsaid Moertono - sederet titel yang di negeri ini sering dipakai orang sebagai patokan kualitas ilmu. Hanya seorang Soemarsaid Moertono - yang, seperti juga hanya seorang Emily Bronte, yang hanya menulis satu roman, Wuthering Heights - yang terus dikenang dan dibicarakan hingga sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus