Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Maradona indonesia?

Sejumlah sekolah sepak bola muncul di indonesia. jairo matos dari brasil terdaftar sebagai instruktur di pardedetex school. beberapa eks pemain nasional menjadi instruktur.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ingat Jairo Matos? Pemain asal Brasil itu pernah memukau penggemar sepak bola di sini, ketika bermain di bawah bendera klub Galatama Pardedetex, Medan. Kini bekas pemain klub Atletico Mineiro, juara nasional Brasil 1971 itu terdaftar sebagai salah satu instruktur di Pardedetex Football School (PFS). Sekolah sepak bola ini didirikan oleh Johny Pardede, 33 tahun, putra T.D. Pardede, pengusaha dan pemilik klub Pardedetex yang kini sudah bubar. Setelah sebulan berdiri, hari Minggu lalu sekolah itu diresmikan dengan sebuah upacara sederhana di Gelanggang Mahasiswa Kuningan, Jakarta. Tapi yang mendaftar sudah 170 murid. "Ibu memasukkan saya kemari, karena dia kenal Jairo Matos," kata Nurma Ari Wibowo, 11 tahun, salah seorang siswa yang masih duduk di kelas 4 SD di Ulujami, kawasan pinggiran Jakarta. Nama si Brasil itu tak pelak lagi menjadi daya tarik tersendiri. Dari sekian sckolah yang sama, PFS-lah yang menggunakan instruktur asing. Di Pardedetex, 1982, Jairo sempat jadi bintang. Namanya cuma dikalahkan pemain Singapura Fandi Ahmad, yang ketika itu memperkuat Niac Mitra Surabaya. Tapi setahun kemudian, Jairo Matos dan Fandi, juga beberapa nama lainnya, harus angkat kopor, setelah PSSI melarang pemain asing. Kini Jairo belum dapat izin kerja dari Depnaker. Rekomendasi dari PSSI saja belum ada. Untuk itu, pekan depan dia harus mudik ke Brasil mengurus surat-surat. "Saya belum terima gaji," kata Jairo, 35. Dengan tinggi 1,69 m, berat 73 kg, dia tampak terlalu tambun sebagai pemain bola. Apalagi duda berkumis cokelat itu rajin mengisap rokok Marlboro serta menenggak kopi. Tanpa Jairo, sekolah ini pun cukup punya daya tarik. Sejumlah bekas pemain nasional menjadi instruktur di situ. Abdul Kadir pemain sayap terkemuka PSSI, 1970-an, menjadi pimpinan instruktur. Anggotanya, Dede Sulaeman, Johanes Auri, Hadi Ismanto, Harry Muryanto, dan bekas kiper andal Judo Hadianto serta Sudarno. Pemain gelandang PSSI A Herry Kiswanto, juga jadi pengajar. Menurut Jairo - jabatan resminya penasi hat teknik - anak-anak akan dididik dengar metode Brasil. Yaitu mengutamakan kemampuan individu pemain dalam mengendalikan bola. Mereka harus suka dan akrab dengan bola. "Cara Brasil menuntut seperti itu," kata Jairo, yang sudah bisa bicara Indonesia. Kurikulum pelajaran sudah tersusun. Dan sasarannya pun tak kepalang tanggung, terdengar seakan menggantang asap. "Jairo bilang dia akan mencetak Maradona Indonesia. Masa Singapura bisa punya Fandi Ahmad, kita tidak?" kata Johny Pardede, bersemangat. Betapapun, tumbuhnya sejumlah sekolah sepak bola yang diurus swasta - harus dibedakan dengan diklat sepak bola yang ditangani pemerintah, semacam yang di Salatiga itu - belakangan ini memang menggembirakan. Sebenarnya, pada 1974, di Jakarta sudah pernah ada yayasan sekolah sepak bola. Pengurusnya, antara lain, bekas kiper PSSI, Maulwi Saelan. Tapi sekarang yayasan itu tak terdengar kegiatannya. Agaknya, dalam bentuk yang masih sederhana, sekolah bola Lambert Eduart Joel terhitung yang pertama dan berhasil di sini. Pegawai Kanwil P dan K itu, sejak 1950-an, menghimpunkan anak-anak dalam klub MBFA (Merdeka Boys Football Association) dan Gawang, berlatih di lapangan Banteng. Produk sekolah itu antara lain Bob Hippy dan Iswadi Idris. Tahun ini, selain sekolah Johny, berdiri pula sekolah sepak bola Tugu Muda Semarang, milik Sartono Anwar, pelatih yang baru saja membawa PSIS menjuarai kompetisi divisi utama PSSI. Dengan tujuh instruktur, di situ ada 350-an murid. Mereka berlatih di Stadion Diponegoro Semarang, tiga kali seminggu, dibagi dalam grup pagi dan sore. Di sini, nama Sartono jadi pemancing siswa. Apalagi tiap murid cuma membayar uang pangkal Rp 12.500 ditambah uang sekolah Rp 5.000 sebulan. Sudah termasuk kaus dan celana bola gratis. Ada lagi rapor setiap triwulan. Di sekolah sepak bola Persija, evalu diadakan setiap empat bulan dengan memberikan sertifikat bernilai: sangat berbak berbakat, dan cukup berbakat. Dengan enam instruktur, sekolah yang dipimpin Todu Barita, Ketua Persija, mengambil tempat berlatih di Stadion Menteng milik bond Jakarta Pusat itu. Sekitar 200 murid berum 10 sampai 16 dibagi dalam tiga kelas, bela dua kali seminggu. Ketika pertama berdiri Juni 1985, siswanya 600-an. Sekalipun jumlah siswanya kini tinggal sepertiga, mereka tergolong yang mampu membayar uang sekolah, di sini Rp 18.000/ bulan. Artinya, mereka bukan datang di masyarakat kelas bawah, kecuali 14 murid yang dibebaskan dari uang sekolah karel kurang mampu tapi berbakat. "Persija ingin mendapatkan pemain bola dengan latar belakang dan status sosial yang cukup baik kata Todung. "Dalam lima tahun mendatang, pemain sepak bola akan didominasi pemain seperti ini." Pengajar UI itu mengungkapkan, ada dua muridnya berkebangsaan Jepang dan satu Amerika. Sinyo Aliandoe, yang sudah dua tahun punya sekolah, justru mengaku sulit menarik bayaran dari 200-an muridnya. "Banyak yang kesulitan membayar uang sekolahnya tepat waktu," kata'bekas pelati PSSI Pra-Piala Dunia itu. Tapi Sinyo memang menaikkan tarif sekolah. Uang pendaftaran yang dulu Rp 25.000 menjadi Rp 30.000 dan bayara bulanan dinaikkan Rp 1.00l dari yang dulu Rp 15.000. "Sekolah ini semata hidup dari bayaran itu. Kami tak didukungan sponsor," katanya. Untuk menyewa lapangan, ditambah dengan gaji empat pelatih dan gaji pimpinan (Sinyo bergaji Rp. 500.000/bulan), uang transpor alat latihan, keperluan adiministrasi, dan sebagainya perlu biaya Rp 3,5 juta sebulan. "Belum biaya tryout ke luar kota," kata pelatih yang memegang sertifikat FIFA itu. Itu berbeda dengan sekolah Brawijaya-82 di Malang milik yayasan yang bernaung di Universitas Brawijaya. Dari universitas mereka memanfaatkan lapangan dan ruang kuliah gratis. Malah bantuan tenaga dokter tanpa bayar. Sejak berdiri dua tahun lalu, 300-an siswa cuma dikutip Rp 2.000/bulan. "Kalau kurang dana, kami cari sponsor," kata Djanalis Djanaid, pengurusnya. Sponsor tampaknya masih perlu. Dan di sinilah kelebihan PFS: Johny Pardede berhasil menggaet Citibank dan distributor sepatu Puma sebagai sponsor - ini merupakan hal baru. "Begitu saya tawari, mereka langsung setuju," kata Johny. Perusahaan itu menanggung kostum dan peralatan latihan. Para siswa pun cuma kena uang sekolah Rp 1 0.000/bulan. Amran Nasution, Laporan Toriq Hadad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus