TELEPON kini bisa menjadi alat untuk memperpanJang penahanan seorang tertuduh. Bahkan lebih dari itu, alat komunikasi itu dipakai juga untuk memperkuat vonis. Agaknya, inilah yang lupa dirumuskan pembuat undang-undang di dalam hukum acara (KUHAP) sebelumnya. Ternyata, itu pula yang kini menimpa bekas bendaharawan Pemda Sum-Ut, Machmud Siregar. Terdakwa perkara korupsi, yang divonis pengadilan tinggi 10 tahun penjara itu, berdasarkan surat penahanan dari Mahkamah Agung, seharusnya sudah keluar tahanan 24 April. Tapi, ketika pengacaranya, Syaiful Jalil Hasibuan, menjemputnya ke tahanan, Senin dua pekan lalu, ia kecele. Pihak LP Tanjung Gusta, Medan, menolak melepaskan tahanan, yang, menurut hukum acara (KUHAP) itu, sudah harus bebas dari tahanan demi hukum. Tahanan tak bisa keluar karena di penjara itu sudah ada nota telepon dari Mahkamah Agung kepada Pengadilan Negeri Medan. Isinya memperpanjang masa penahanan Machmud sampai 25 Mei ini. "Jadi, nasib Machmud ditimpa gagang telepon," ujar Syaiful kecewa. Gagang telepon itu ternyata memang ampuh. Tiga hari setelah Syaiful kecele, gagang telepon kembali berdering di Pengadilan Negeri Medan. Kali ini Mahkamah Agung memberitahukan bahwa vonis pengadilan tinggi, 10 tahun penjara buat Machmud, telah dikuatkan peradilan tertinggi itu. Artinya, Machmud tidak akan pernah keluar lagi dari tahanan - kecuali dapat grasi dari Presiden - sebelum masa hukumannya habis. Machmud, 49 tahun, Juni tahun lalu diadili di Pengadilan Negeri Medan dengan tuduhan telah mengkorup dana Pemda Sum-Ut untuk proyek-proyek nonfisik sebanyak Rp 824 juta. Di sidang, Machmud mengakui sebagian tuduhan itu. Tapi uang itu, katanya, tidak ditelannya semua. Sebagian ia berikan kepada atasannya, antara lain Kepala Biro Mental Pemda Sum-Ut, Bahrum Siregar, dan sebagian lainnya dibagikannya kepada aparat Pemda yang ikut menangani proyek itu sampai ke Itwilprop, dan petugas Depdagri di Jakarta. Kendati majelis hakim menerima alasan Machmud itu, baru dia yang sampai kini diperkarakan. Di Pengadilan Negeri Medan ia divonis 9 tahun penjara. Keputusan itu kemudian diperberat oleh peradilan banding. Karena itu, ia naik kasasi. Tapi di Mahkamah Agung nasibnya tidak lebih baik. Selain vonis itu dikuatkan mahkamah, proses perpanjangan penahanan dan pemberitahuan vonis tetapnya dilakukan melalui telepon. Syaiful kembali meradang, kendati tidak banyak gunanya. Ia, misalnya, menyesalkan pihak Mahkamah Agung, yang tidak segera menyusulkan surat perpanjangan penahanan setelah memerintahkan pengadilan bawahan lewat telepon tadi. Buku hukum memang tidak banyak gunanya dalam praktek. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan, I B. Ngurah Adyana, yang membenarkan mendapat perintah memperpanjang penahanan Machmud dan pemberitahuan vonis Mahkamah Agung lewat telepon, menolak mengomentari sah tidaknya proses hukum melalui telepon itu. Ketua Muda Mahkamah Agung Adi Andojo Sutjipto membenarkan dipakainya telepon oleh pihaknya dalam menyampaikan keputusan-keputusan penting yang seharusnya tertulis itu. Tapi alat komunikasi itu katanya, dipakai untuk mencegah keterlambatan pengiriman keputusan melalui surat. Jika itu surat perpanjangan penahanan, akibatnya, katanya, terdakwa telanjur dilepaskan. "'Kan nanti mencarinya jadi masalah lagi," ujar Adi Andojo. Ia membantah bahwa kebijaksanaan semacam itu di luar ketentuan KUHAP. Seringnya keterlambatan perpanjangan penahanan dari Mahkamah Agung diam-diam memang sudah menjadi masalah lama di peradilan tertinggi itu. Akibatnya, banyak terpidana terombang-ambing. Dua orang terhukum perkara korupsi Koperasi Tahu Tempe di Semarang, Bambang Sulistijono dan Andiryanto, misalnya, terpaksa bolak-balik masuk bui akibat cara kerja Mahkamah Agung yang tidak tepat waktu. Kedua terpidana korupsi, masing-masing 8 tahun penjara, itu pada tanggal 1 Oktober 1985 terpaksa dilepaskan dari tahanan karena masa tahanannya sudah habis, sementara perpanjangan penahanan yang diminta pengadilan banding daerah itu ke Mahkamah Agung tidak kunjung datang. Tapi sialnya Bambang kepergok wartawan ketika berbelanja di pusat pertokoan di - kota itu. Beritanya kemudian menghebohkan Semarang. Akibat berita itu, beberapa hari setelah itu Mahkamah Agung menelepon Pengadilan Tlnggi Jawa Tengah memperpajang penahanan kedua terpidana. Setelah 12 hari di luar tahanan, demi hukum mereka harus masuk kembali ke lembaga pemasyarakatan. Lain lagi nasib Alex Sibala, di Palu, Sula wesi Tengah. Pengusaha itu di vonis Pengadilan Negeri Palu 6 tahun penjara karena mengkorupsikan uang proyek reboisasi Rp 2 milyar. Sesuai dengan KUHAP, masa penahanan Alex habis pada 17 November 1985, sementara perkaranya yang dalam proses kasasi tidak kunjung diputuskan Mahkamah Agung. Ia tidak pula dikeluarkan dari LP, kendati tidak berstatus tahanan atau hukuman. Vonis Mahkamah Agung yang menguatkan putusan pengadilan bawahan memang akhirnya turun, 17 November. Tapi keputusan yang berkekuatan hukum itu baru sampai ke Alex di Palu -- entah mengapa akhir Februari lalu. Sebab itu, ia meminta agar bisa berada di luar tahanan sampai putusan grasinya turun. Karena tidak dikabulkan, ia kemudian nekat melarikan diri ke Jakarta ketika mendapat izin berobat di luar negeri. Awal bulan ini ia dikabarkan telah tertangkap kembali di Palu dan dieksekusi untuk menjalani hukumannya. Itu hanya sekadar contoh-contoh cara komunikasi aparat peradilan kita. Karni Ilyas, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini