Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ambisi Lama Sang Jenderal

Prabowo Subianto adalah bintang paling terang sebelum diberhentikan dari dinas militer pada Agustus 1998. Kariernya melesat, terutama ditopang oleh posisinya sebagai menantu Presiden Soeharto. Ia perwira termuda yang meraih pangkat letnan jenderal pada usia 46 tahun. Diempaskan gelombang reformasi, ia menempuh jalan partai politik sejak 2004. Tumbuh dalam pelarian keluarganya di luar negeri, Prabowo menguasai sejumlah bahasa asing. Sejak kecil ia berambisi menjadi presiden.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terpikat Baret Merah

Dia gandrung membaca kisah-kisah tokoh dunia. Mencintai militer sejak kecil, Prabowo memajang foto Che Guevara di kamarnya sejak berusia 14 tahun.

Mata Prabowo Subianto berbinar menatap topi merah di kepala tamunya. Spontan dia bertanya, "Apa itu?" seraya menunjuk topi tersebut. Tamunya menjawab, "Ini baret merah RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, cikal-bakal Komando Pasukan Khusus)." Perbincangan singkat bersama Prabowo pada 1967 itu tak lekang dari ingatan Kolonel Aloysius Sugianto, kini 85 tahun, mantan intelijen RPKAD.

Saat itu Sugianto ditugasi Ali Moertopo, penasihat khusus Presiden Soeharto, membawa pulang Sumitro Djojohadikusumo dan keluarganya ke Tanah Air-setelah sepuluh tahun di pengasingan. Di rumah Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo, perjumpaan itu terjadi. Prabowo bersama ibunya, Dora Sigar, dan ketiga saudaranya baru tiba dari London, Inggris, ketika itu.

Dua tahun setelah pertemuan dengan si "Baret Merah", Prabowo masuk Akademi Militer Nasional Magelang. Lulus pada 1974, taruna muda itu sempat dijuluki "The Rising Star" oleh para seniornya. "Terakhir kali saya mendengar Prabowo ikut Operasi Seroja di Timor Timur," kata Sugianto kepada Tempo di kantornya pertengahan Juni lalu.

Dalam kenangan sepupunya, Endang Pratiwi Wahyudi Mamahit, 60 tahun, kecintaan Prabowo pada militer tumbuh sejak kecil. Endang ingat Prabowo kerap menjadi pelindung saudara-saudara dan teman-temannya serta mahir meyakinkan lawan bicara.

Lahir sebagai anak ketiga Sumitro Djojohadikusumo-Dora Sigar, Prabowo menempuh masa kanak-kanak dengan berpindah-pindah negara: Malaysia, Singapura, Hong Kong, Swiss, dan Inggris-sebelum kembali menetap di Tanah Air.

Sumitro kerap mengunjungi keluarga adiknya, Miniati, yang menikah dengan Bambang Prasetyo Wahyudi, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Mereka adalah orang tua Endang. Hampir setiap akhir pekan, Sumitro menitipkan tiga anaknya, Biantiningsih, Maryani, dan Prabowo, di Jalan Borobudur. Hashim masih bayi saat itu. Usia Endang dua tahun lebih muda daripada Prabowo. Dan dia mengaku sering diemong kakak sepupunya itu. "Bowo nakal, tapi dia tak pernah mem-bully," ujar Endang kepada Tempo.

Suatu ketika, saat mereka bermain mobil-mobilan di sirkuit balap, kepala Endang terjedut. Spontan Prabowo berlari mendekat, mengelus-elus jidat Endang yang benjol. Keakraban dua saudara ini terputus ketika Sumitro dan keluarganya pamit dari Tanah Air karena situasi politik yang panas di masa Sukarno. Pak Cum-begitu Endang memanggil pamannya-merasa keluarganya terancam.

Orang tua Sumitro, yang sudah menetap di Kuala Lumpur, kemudian mempertemukan keluarga besar yang terpencar-pencar akibat krisis politik. Pada pertengahan 1957, Endang sekeluarga mendapat hadiah tiket pesawat dari eyangnya ke Singapura-yang saat itu masih bergabung dengan Malaysia. Dalam liburan tersebut, Endang kembali bertemu dengan Prabowo. Dia diundang menginap di apartemen sepupunya: sebuah apartemen sederhana dengan dua kamar tidur.

Untuk bermain, mereka harus turun ke taman, entah bersepeda entah sekadar kejar-kejaran. Enam tahun kemudian, para sepupu kembali berjumpa di Kuala Lumpur. Endang menginap di rumah eyangnya dan menemukan keluarga Prabowo punya kegemaran baru, yakni menonton film. "Mereka itu 'buaya' film," ujar Endang sambil tertawa.

Menempuh masa remaja di Kuala Lumpur, Prabowo praktis hidup di negeri jiran yang hubungannya dengan Indonesia sedang melorot ke titik terendah itu. Presiden Sukarno, ketika itu, kerap memekikkan slogan "Ganyang Malaysia" dan mempersiapkan operasi militer. Prabowo pun mendesak ayahnya segera angkat kaki dari Malaysia.

Dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, yang diterbitkan Sinar Harapan pada 2000, Sumitro mencatat protes keras anak ketiganya. "Kenapa bawa kita ke negeri ini. Saya tahu Papi berseberangan dengan Sukarno. Tapi saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi di sini, saya akan menjadi pro-Sukarno!"

l l l

Sejak kecil, Prabowo rajin membaca. Melalui aneka kitab, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia. Gerilyawan Kuba, Che Guevara, misalnya, dia "temukan" pada usia 14 tahun. Foto pejuang Kuba asal Argentina itu dia pajang di kamar tidurnya. Remaja ini beruntung karena pamannya, ayah Endang, menjalankan bisnis penerbitan dan memasok buku-buku impor. PT Indira nama penerbitan buku itu.

Walhasil, Prabowo kerap menyambangi toko buku di Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. "Ia kadang ke gudang di belakang rumah kami untuk memilih sendiri buku-buku," kata Endang. Buku tentang Hitler, pemimpin fasis Jerman; Sun Tzu, ahli strategi perang Cina; hingga Hamish Macdonald, jurnalis senior asal Australia yang banyak mengkritik ayahnya dan Soeharto, dilahapnya dengan rakus. "Dia seperti perpustakaan berjalan," ujar Endang.

Jopie Lasut, mantan wartawan harian Indonesia Raya, menuturkan, saat kuliah di tingkat I dan II, Prabowo giat mendengarkan ceramah Himawan Soetanto. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dan penasihat Panglima Besar Jenderal Sudirman itu banyak berbicara tentang Leader Hard dan teori perang Inggris.

Bakat militer Prabowo disalurkannya sejak masa kanak-kanak: dia gemar memainkan strategi perang, seperti battle ground of Waterloo, bersama adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Dalam bukunya, Sumitro menulis, dia membiasakan anak-anaknya akrab dengan dunia politik. Pak Cum kerap mengajak mereka berdiskusi-saat anak-anak seusia mereka masih sibuk bermain-main.

Mencermati karakter Prabowo semasa bocah, ekonom senior Emil Salim mengatakan sudah menduga anak ketiga sahabatnya itu bakal masuk ke dunia militer. "Jiwa prajurit dan komandannya sudah ada sejak dia masih kecil," kata Emil.

Perkenalan pertama Emil dengan Prabowo terjadi saat Emil menjadi asisten Sumitro di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dia kerap menyaksikan seorang anak laki-laki yang lasak-berlari naik-turun tangga. Menurut Emil, si bocah tampaknya suka hal-hal menantang. "Dan sepertinya suka berkelahi juga," ujar Emil.

Dalam kenangan Endang, Prabowo sebetulnya juga memiliki elegansi dan sifat lembut terhadap perempuan. Dia mencontohkan, suatu ketika, pada 1969, Prabowo singgah ke rumah orang tua Endang-yang sudah dia pandang sebagai orang tua keduanya. Prabowo menghampiri adik sepupunya dengan satu amplop tertutup di tangan. Teka-teki pun terjawab. Kata Endang, "Surat itu ternyata untuk perempuan tetangga, buyut Bupati Sumedang terkenal, Wiranatakusumah."

Di masa dewasa, Endang menemukan "kejutan lain", yakni kegemaran saudaranya pada es krim. Suatu ketika, dalam pertemuan dengan Hashim Djojohadikusumo, Endang mendapat hadiah dua kotak besar es krim Haagen Dazs. "Eh, yang satu kotak dibawa pulang Prabowo," ujar Endang, tergelak.

Setelah pencopotan Prabowo sebagai Panglima Kostrad, selepas pecahnya kasus penculikan para aktivis pada 1997-1998 , Endang mengatakan saudaranya cenderung tertutup-dan giat berbisnis: profesi yang dulunya "diharamkan" dalam keluarga besar Sumitro.

Endang terus hadir dalam kegiatan yang menyokong kampanye Prabowo-bersama para sepupu dan saudara kandung Prabowo. Keluarga ini disebut-sebut sangat dekat satu sama lain dan menjadi pilar utama pendukung mantan Panglima Kostrad itu. Dalam satu acara doa bersama di Balai Kartini, Jakarta, pertengahan Juni lalu, Hashim, misalnya, menyebut "istri" sesungguhnya Prabowo bernama Pertiwi.

Para undangan terdiam. Mereka tahu perempuan yang pernah menjadi istri Prabowo bernama Siti Hediati Soeharto. "Ibu pertiwi, negara ini," Hashim meneruskan kata-katanya, disambut tawa aplaus para pengikut calon presiden nomor urut satu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus