Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panggung Dua Kandidat

Prabowo Subianto dan Joko Widodo adalah dua kontras di atas peta mutakhir politik Indonesia. Lahir, tumbuh, dan membangun karier politik di lingkungan amat berlainan, kedua kandidat presiden ini menawarkan model kepemimpinan berbeda.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dipertemukan di panggung besar pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014-2019, perbedaan sosok Prabowo Subianto dan Joko Widodo membuat keduanya seperti datang dari penjuru berlawanan. Dari generasi, pendidikan, latar belakang keluarga, karier, cara meniti tangga politik, hingga, barangkali, ideologi tentang power, kekuasaan.

Prabowo, 63 tahun, berpasangan dengan Hatta Rajasa, dicalonkan koalisi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang. Jokowi, 53 tahun, berduet dengan Jusuf Kalla, diajukan gabungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Kedua pasangan memperebutkan sekitar 180 juta suara dalam pemilihan pada Rabu pekan depan. Mereka menayangkan reklame di media massa, terbang ribuan kilometer dari pulau ke pulau, datang ke pondok-pondok pesantren, keluar-masuk pasar, seraya memekikkan aneka yel di depan massa. Semua itu demi menggaet suara. Mereka harus mengikuti lima seri debat-yang lebih tepat disebut dialog karena perdebatannya tak kunjung muncul-yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum.

Kontestasi kekuatan yang menyokong Prabowo dan Jokowi tiba-tiba membelah hampir semua kelompok masyarakat, termasuk organisasi keagamaan. Hampir sepanjang waktu, media sosial diriuhkan debat pendukung mereka. Saling cerca terjadi, sampai-sampai memantik permusuhan. Pro-kontra muncul, dan kerap sarat dengan fanatisme buta-tanpa landasan argumentasi yang kuat.

Kami menyusun edisi khusus calon presiden dan wakil presiden ini untuk memberikan lebih banyak informasi tentang mereka kepada publik. Basisnya adalah reportase dari orang-orang terdekat-yang hadir pada setiap fase kehidupan mereka. Termasuk para pengritik mereka.

Idenya, laporan panjang ini bisa menyampaikan gambaran-yang syukur-syukur utuh-tentang "luar-dalam" setiap calon. Dengan cara ini, kami berharap, setiap calon pemilih dapat meneguhkan niat buat mendukung atau menolak salah satu pasangan calon.

l l l

Keluarga adalah kontras pertama yang membentuk sosok kedua kandidat ini:

Prabowo Subianto lahir dari keluarga terpandang. Kakeknya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, seorang bangsawan pendiri bank. Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, dikenal sebagai begawan ekonomi. Masa kecil Prabowo banyak dihabiskan di kota-kota mancanegara: Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, juga London.

Prabowo banyak bergaul dengan anak-anak keluarga terkemuka, termasuk sejumlah pelarian PRRI/Permesta, gerakan perlawanan kepada pemerintahan Sukarno yang dipimpin Sumitro dan membuat sang begawan harus lari ke luar negeri.

Anak ketiga dari empat bersaudara ini menempuh pendidikan awalnya di luar negeri-yang membuatnya menguasai beberapa bahasa asing.

Tatkala masuk Akademi Militer di Magelang pada 1970, ia kesulitan mengungkapkan pendapatnya dalam bahasa Indonesia karena, "Bermimpi pun saya memakai bahasa Inggris," kata Prabowo.

Jokowi datang dari lingkungan masyarakat kebanyakan. Orang tuanya merintis usaha perdagangan kayu ketika ia kecil. Karena kesibukan orang tuanya itu, ia diasuh kerabat ibunya. Mereka tinggal di rumah mungil berdinding bambu, berbagi tempat dengan kayu barang dagangan. Lingkungan rumahnya berdekatan dengan Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah.

Kawan sepermainan Jokowi kecil adalah anak-anak orang biasa. Ia tumbuh bersama denyut kehidupan kampung: mencari ikan di sungai, mengejar bebek di pematang sawah, menyusuri rel kereta. Pada masa mudanya, ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia berbagi tempat kos dengan kawan seangkatan. Ia menyukai musik rock dan senang mendaki gunung.

Di jalan politik, keduanya datang dari alur yang sama sekali berbeda:

Prabowo membangun karier politiknya dari latar militer. Sejak awal, menurut kawan-kawan dekatnya, ia bercita-cita menjadi presiden. Kariernya melesat, dibantu statusnya sebagai menantu penguasa Orde Baru, Soeharto. Tapi gelombang reformasi mengempaskannya dengan tiba-tiba. Dia diberhentikan dari dinas militer karena dinyatakan bertanggung jawab atas penculikan sejumlah aktivis prodemokrasi oleh Komando Pasukan Khusus pada 1997-1998.

Prabowo masuk partai politik enam tahun setelah itu. Ia mengikuti konvensi Partai Golkar pada 2004, bersaing dengan sejumlah politikus beringin. Gagal di Partai Golkar, dia mendirikan Partai Gerindra pada 2008. Partai ini mampu melewati ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum setahun kemudian. Berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia menjadi calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun yang sama.

Jokowi mengawali kehidupannya di dunia usaha setelah tuntas kuliah. Sejumlah politikus daerah PDI Perjuangan membelokkan nasib dia dengan mencalonkannya sebagai Wali Kota Solo pada 2005. Keberhasilannya memimpin kota itu, antara lain, dengan memindahkan pedagang kaki lima tanpa kekerasan. Perhatian nasional mulai terarah ke Wali Kota Solo ini. Majalah Tempo menobatkannya sebagai salah satu kepala daerah terbaik pada 2008.

Jokowi kian menyedot perhatian tatkala menang total pada pemilihan Wali Kota Solo periode kedua. Sejak itu, banyak orang mulai merintis jalannya ke panggung lebih besar: kursi Gubernur Jakarta. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, dia memenangi pemilihan pada 2012. Kebiasaan Jokowi meninggalkan kantor untuk turun langsung ke masyarakat-yang menarik perhatian media massa-membuatnya semakin dikenal.

Media massa bahkan mempopulerkan istilah slang baru yang bersumber dari gaya manajemen kerja Jokowi: blusukan. Istilah yang sempat memikat perhatian sejumlah linguis tapi belum ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti kurang-lebih menyelusup atau keluar-masuk suatu kawasan.

Dua kontras itu memunculkan sosok kepemimpinan yang berbeda:

Prabowo sering muncul ke berbagai acara politik dengan "simbol kebesaran" yang khas: orang-orang menghormat ala tentara, aneka panji-panji dikibarkan, kedatangannya disiapkan dengan protokoler ketat. Bintang tiga-lambang kepangkatan letnan jenderal, posisi terakhirnya di militer sebelum diberhentikan-dipajang di mana-mana. Orasi Prabowo pun tertata, selalu menonjolkan kesan tegas.

Jokowi datang ke acara publik seperti orang biasa. Walau sesekali menggunakan pengawalan, ia lebih sering tiba diam-diam. Bila terlambat hadir di suatu acara, dia akan bersantai di kursi baris belakang. Ketika mencoba tampil gagah-misalnya dalam seragam dan baret Satuan Tugas PDIP-ia malah terlihat lucu. Pidato Jokowi tak pernah membakar, lebih banyak menonjolkan contoh-contoh nyata.

l l l

PEMBACA yang budiman, edisi ini tentu saja tak akan menonjolkan perbedaan kedua calon presiden. Semua tulisan disusun melukiskan fase-fase kehidupan yang telah membentuk Prabowo dan Jokowi sejak kanak-kanak hingga sekarang. Kami meminjam sudut pandang orang-orang yang pernah berinteraksi secara dekat dengan keduanya.

Subyektivitas terhadap kedua calon tak bisa dihindari. Untuk itu, sejak awal, tim penyusun yang dipimpin Redaktur Bagja Hidayat memutuskan penggalian informasi lebih ditekankan pada pengalaman narasumber, bukan penilaian mereka. Dengan mengecek ke sumber-sumber lain, penuturan mereka ditulis dalam bentuk cerita. Satu narasumber, Kolonel Purnawirawan Gatot Purwanto, kami tampilkan dalam bentuk wawancara, untuk menghindari salah interpretasi atas pengalamannya membantu Prabowo di Timor Timur.

Bagaimanapun, panggung pemilihan tetap milik calon presiden. Karena itu, porsi penulisan untuk dua calon wakil presiden dibuat lebih sedikit. Sebisa mungkin, kami memberikan porsi setara kepada kedua kubu, baik dari sisi jumlah item penulisan, ruang halaman, maupun kesempatan wawancara.

Sayang, Prabowo tak bersedia memberikan wawancara meski permintaan telah diajukan melalui berbagai jalur. Sejumlah orang dekatnya mengatakan dia sakit hati terhadap sampul dan opini-bukan artikel hasil liputan-majalah Tempo edisi 28 Oktober-3 November 2013, yang berjudul Palagan Terakhir Prabowo.

Sikap tersebut agaknya menular kepada semua kerabat dekatnya, termasuk adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Demi keberimbangan, kami pun menurunkan wawancara Prabowo pada Oktober 2013. Dari sepupunya, Endang Pratiwi Wahyudi Mamahit, kami akhirnya berhasil memperoleh beberapa penggalan cerita masa kecil dan remaja Prabowo, walau tak selengkap yang kami rencanakan.

Tiga tokoh lain berusaha meluangkan waktu untuk wawancara. Reporter Tempo, Ananda Teresia, bahkan bertanya-jawab dengan Jokowi di dalam mobil, dalam perjalanan dari tempat tinggal sang calon di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menuju Kerawang, Jawa Barat. Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa diwawancarai di rumah masing-masing. "Saya sebenarnya sedang menghemat suara untuk debat," kata Hatta, yang sedang terserang flu, Selasa pekan lalu. "Tapi saya tidak pernah menolak permintaan wawancara."

Pembaca, banyak pemilih rasional yang masih terus mencari informasi tentang kedua pasangan calon untuk menjadi dasar keputusan mereka di bilik suara pada 9 Juli. Edisi ini diharapkan dapat memenuhi keperluan itu. Kami percaya, pemimpin ideal tak pernah dihasilkan oleh kumpulan orang yang menentukan pilihan berdasarkan fanatisme buta.

Selamat membaca.


EDSUS CAPRES
PENANGGUNG JAWAB: Budi Setyarso, PEMIMPIN PROYEK: Bagja Hidayat, Agustina Widiarsi, Dody Hidayat, Dwi Wiyana, PENYUNTING: Hermien Y. Kleden, Budi Setyarso, M. Taufiqurrahman, Amarzan Loebis, Leila S. Chudori, Seno Joko Suyono, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Yos Rizal Suriaji, Mardiyah Chamim, Nugroho Dewanto, Qaris Tajudin, L.R. Baskoro, Wahyu Dhyatmika, Yosep Suprayogi, Elik Susanto, Tulus Wijanarko, Bina Bektiati, Yudono Yanuar, Agustina Widiarsi, Sapto Yunus, Philipus Parera, PENULIS: Bagja Hidayat, Agustina Widiarsi, Dody Hidayat, Dwi Wiyana, Nurdin Kalim, Jobpie Sugiharto, Purwani Diyah Prabandari, Retno Sulistyowati, Sunudyantoro, Anton Aprianto, Muhammad Nafi, Zacharias Wuragil, Maria Hasugian, Sukma N. Loppies, Bobby Chandra, Eni Saeni, Agoeng Wijaya, Mustafa Silalahi, Sandi Indra Pratama, Anton Septian, Cheta Nilawaty, Agung Sedayu, Akbar Tri Kurniawan, Dian Yuliastuti, Mahardika Satria Hadi, Kartika Chandra, Febriyan, Rusman Paraqbueq, M. Iqbal Muhtarom, Dianing Sari, Isma Savitri, Wayan Agus Purnomo, Angga Wijaya, Ratnaning Asih, Ananda Badudu, Ananda Teresia, PENYUMBANG BAHAN: Akbar Tri Kurniawan, Kartika Chandra, Dianing Sari, Ananda Teresia, Nur Alfiyah, Wayan Agus Purnomo, Ananda Badudu, Baiq Atmi Pertiwi, Ali Hidayat, Faiz Nasrillah, Indri Maulidar (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo), Sohirin (Salatiga), Shinta Maharani (Yogyakarta), Anwar Siswandi (Bandung), Adi Warsidi (Banda Aceh), Parliza Hendrawan (Palembang), Prio Hari Kristanto (Jakarta), Musthofa Bisri (Madura), PERISET FOTO: Ijar Karim (Penanggung Jawab), Ratih Purnama Ningsih (Koordinator), Nita Dian, Jati Mahatmaji , FOTOGRAFER: Aditya Noviansyah, Seto Wardhana, Imam Sukamto, Prima Mulia, Dian Triyuli, Budi Purwanto, Dhemas Reviyanto, Pius Erlangga, DESAIN: Eko Punto Pambudi, Agus Darmawan Setiadi, Djunaedi, Kendra Paramita, Gatot Pandego, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo BAHASA: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus