Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN seragam dril lengan panjang dan kacu merah-putih, Bung Tomo datang ke Perkemahan Wirakarya tingkat nasional di Gisting, Lampung Selatan. Pada 17 Juli-28 Agustus 1971, ratusan anggota pramuka penegak dan pandega dari pelbagai kwartir daerah di Indonesia sedang melakukan kemah bakti membangun bendungan dan saluran irigasi.
Sosoknya segera mencolok di antara para peninjau perkemahan itu. "Bung Tomo hadir memberi motivasi kepada peserta dan ikut tinggal bersama kami," kata Upi Suprihati kepada Tempo, Senin tiga pekan lalu. Ketika itu Upi menjadi Ketua Sangga Kerja atau panitia pelaksana perkemahan.
Kehadiran Bung Tomo di Gisting, yang terletak di kaki Gunung Tanggamus, karena ia menjabat Ketua Pandu Wreda. Ini merupakan wadah mantan pandu yang tidak aktif lagi menjadi pembina atau pengurus organisasi Gerakan Pramuka, fusi dari berbagai organisasi kepanduan yang dibentuk pada 1961. Sejak 1961, yang menjadi tahun kelahiran Gerakan Pramuka, sebutan pandu berubah menjadi pramuka.
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1968 membentuk Pandu Wreda dan Bung Tomo menjadi ketua yang ketiga. "Bung Tomo yang berinisiatif berkunjung ke Perkemahan Wirakarya di Gisting dengan biaya sendiri," kata Nurman Atmasulistiya, yang pada 1970 menjadi Kepala Sekretariat Kwarnas Gerakan Pramuka.
Saat itu Nurman merangkap menjadi sekretaris Bung Tomo di Pandu Wreda. Menurut Nurman, tiga tahun menjadi ketua, Bung Tomo sering hadir dalam kegiatan pramuka. Bahkan dia ikut memfasilitasi pengumpulan dana bagi pengembangan organisasi Gerakan Pramuka. Bung Tomo, yang lahir pada 1920, seperti memegang teguh pesan Robert Baden Powell, Bapak Pandu Sedunia, "sekali pandu, tetap pandu".
Aktivitasnya di kepanduan bermula saat Sutomo berusia 12 tahun. Notosudarmo, kakek dari ayahnya, yang mendorongnya masuk Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). "Peristiwa ini menjadi salah satu langkah terpenting pada awal masa kehidupannya," kata William H. Frederick dalam bukunya, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia.
KBI merupakan organisasi kepanduan berasaskan kebangsaan yang terbentuk pada 1930 oleh dr Moewardi, alumnus School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Kedokteran Hindia Belanda. Pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, Moewardi yang menjadi utusan Jong Java ikut mengikrarkan Sumpah Pemuda. KBI adalah fusi tiga organisasi kepanduan: Pandu Kebangsaan, Nationale Islamietische Padvinderij, dan Pandu Pemuda Sumatera.
Dalam metode pendidikan kepanduan, peserta dikelompokkan berdasarkan usia. Dalam KBI ada golongan pandu anak serigala, yang berisi anak laki-laki 8-13 tahun, dan kurcaci, yakni anak perempuan 8-12 tahun. Saat ini anak serigala disebut pramuka siaga. Lalu pandu yang berisi remaja laki-laki 12-18 tahun dan golongan perempuan disebut pandu putri, yang kini disebut pramuka penggalang.
Golongan terakhir adalah penuntun, yaitu pemuda laki-laki 18 tahun ke atas dan 17 tahun ke atas untuk perempuan. Sekarang namanya populer sebagai pramuka penegak. Karena usianya, ketika bergabung dengan KBI, Sutomo masuk golongan anak serigala.
Sutomo lulus dari sekolah dasar negeri di dekat rumahnya di Kampung Tembok Dukuh, Kecamatan Bubutan, Surabaya. Dia masuk sekolah menengah tapi tidak lulus karena tidak ada biaya. Bung Tomo mengambil kursus korespondensi tingkat sekolah menengah atas dari Belanda dan menyelesaikan seluruh kursus tersebut. "Kecuali ujian akhir karena harus dilakukan di Eropa," tulis William Frederick.
Menurut Frederick, Sutomo mengisi waktu luang selain kegiatan pramuka dengan berjualan koran dan mengambil cucian tetangga. Menurut Nurman Atmasulistya, yang menjadi anggota Pandu Rakyat di Jakarta sejak 1974, setiap anggota pandu harus berlatih secara rutin dalam gugus depannya yang didampingi seorang pembina.
Untuk kenaikan tingkat dalam setiap golongan, mereka menempuh syarat kecakapan umum (SKU). Ujian ini lebih banyak pada pembentukan karakter atau kejiwaan. Ada lagi ujian pelengkap, yakni syarat kecakapan khusus (SKK) berisi keterampilan kepramukaan dan keterampilan di luar kepramukaan.
Keterampilan kepramukaan antara lain menjelajah; membaca peta/kompas, semaphore, dan morse; memasak; menjahit; serta hidup di alam bebas. Di luar itu antara lain keterampilan berkomunikasi (berpidato), sastra, perbengkelan, otomotif, pertanian, teknologi, dan tata busana. Pengujinya seorang pembina yang memiliki keterampilan khusus tersebut.
Menurut Frederick, Sutomo mengikuti semua ujian SKU dan SKK sehingga mendapat banyak lencana pada seragam pandunya. Pada usia 16 tahun, ia mendapat penghargaan Pandu Garuda (Elang) dari KBI. "Hanya ada dua orang Indonesia yang mampu mencapai tingkat ini sebelum masa pendudukan Jepang," kata Frederick.
Nurman Atmasulistya menjelaskan, Pandu Garuda adalah sebutan bagi pramuka yang telah menyelesaikan tingkat kecakapan tertinggi pada golongannya. Salah satu ujiannya adalah berjalan kaki selama beberapa hari dengan bekal makanan yang dibawanya dan mengadakan kegiatan pramuka di lokasi yang dilewatinya.
Untuk golongan penuntun, dia harus magang jadi pembantu pembina bagi para juniornya. "Menjadi seorang Pandu Elang membuat penduduk setempat mengakui Sutomo sebagai seorang pemimpin pemuda," kata Frederick. Keterampilan khusus yang dikuasai Sutomo menjadi bekal dia mencari nafkah untuk menopang hidup selama orang tuanya kesulitan uang.
Aktivitasnya di KBI, ujar Frederick, mengenalkan Bung Tomo kepada kegiatan politik sehingga dia ditunjuk menjadi sekretaris ranting Parindra di kampungnya.
Sutomo juga berminat pada sandiwara hingga membentuk kelompok drama. Boleh jadi para seniornya di KBI yang mengenalkan sejarah Robert Baden Powell, pensiunan jenderal Kerajaan Inggris yang mendirikan organisasi kepanduan dunia. Baden Powell memang pandai bermain musik (piano dan biola), teater, berenang, berlayar, berkemah, mengarang, dan menggambar. "Pendidikan terbesar Bung Tomo dari kepanduan," kata Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo.
Sulistina bersaksi, kepanduan membuat suaminya tak hanya paham soal kenegaraan dan palang merah, tapi juga pandai memanjakannya. "Dia pintar memasak. Sewaktu menikah, aku enggak bisa masak, dia yang memasak. Saya suka masakannya," kata Sulistina.
Dalam buku Frederick, Bung Tomo mengakui peran penting kepanduan yang telah membentuk karakternya. "Kepanduan tak hanya memperkuat wawasan kebangsaan saya, juga mengajari keahlian praktis dan menjadi dasar kehidupan masa depan," tulisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo