Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lepas Baju Modal Republik

Satu-satunya pemuda dari luar Jakarta yang terpilih sebagai anggota panitia Gerakan Rakyat Baru. Forum perkenalan dengan tokoh pergerakan nasional.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sutomo spontan melepas baju yang ia pakai, lalu membantingnya. Gara-garanya, ia kesal mendengar argumen sebagian pemuda bahwa kemerdekaan Indonesia tertunda antara lain karena hambatan ekonomi. "Kalau negeri ini tak punya uang, jual baju saya," kata Sutomo, seperti ditirukan anak keduanya, Bambang Sulistomo, akhir Oktober lalu.

Bambang mengisahkan kembali cerita yang ia dengar dari bapaknya. Pada awal Juli 1945, Bung Tomo berangkat ke Jakarta memenuhi undangan sidang Gerakan Rakyat Baru. Naik kereta api dari Surabaya, Bung Tomo pergi tanpa membawa baju ganti. Di ruang sidang, Bung Tomo melepas satu-satunya baju yang ia pakai.

Pertemuan Gerakan Rakyat Baru itu berlangsung di Gedung Chuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat) pada 6 Juli 1945. Sekarang tempat itu menjadi Gedung Pancasila, di kompleks Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat.

Delapan puluh pemuda dari beragam organisasi menghadiri pertemuan itu. Mereka datang atas rekomendasi empat promotor, yakni Sukarno, Mohammad Hatta, Kiai Wahid Hasyim, dan Wiranatakusumah. Pemerintah Jepang menunjuk keempat promotor ini pada awal Juli 1945.

Bung Tomo hadir berkat rekomendasi dua promotor, yakni Bung Hatta dan Wahid Hasyim. "Saya diberi tahu oleh Wahid Hasyim (almarhum)," kata Bung Tomo dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.

Waktu itu Bung Tomo bekerja sebagai wartawan di kantor berita Jepang, Domei—cikal bakal kantor berita Antara. Sebelum menjadi wartawan, Bung Tomo pernah mendapat penghargaan Eagle Scout dari Kepanduan Bangsa Indonesia di era penjajahan Belanda.

William H. Frederick dalam buku Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia menyinggung hal di luar prestasi dan rekam jejak Bung Tomo. Sutomo, menurut dia, juga populer karena kebetulan memiliki nama serupa dengan Soetomo, dokter terkenal yang juga merupakan tokoh pergerakan nasional.

Sidang menunjuk 15 orang sebagai anggota panitia Gerakan Rakyat Baru. Sutomo merupakan satu-satunya pemuda dari luar Jakarta yang menjadi anggota. Pemuda asal Jakarta yang terpilih antara lain B.M. Diah, Chairul Saleh, Sukarni, dan Anwar Tjokroaminoto. Berada di tengah tokoh-tokoh berpandangan revolusioner, dalam bukunya, Sutomo mengaku "merasa benar-benar kecil".

Menurut B.M. Diah, dalam buku Angkatan Baru '45, panitia Gerakan Rakyat Baru yang terpilih memiliki kesamaan dalam bersikap dan beraksi politik terhadap pemerintah Jepang.

Jauh sebelum Bung Tomo datang ke Jakarta, sejumlah pemuda beberapa kali mengadakan pertemuan di rumah B.M. Diah di Jalan Yogya, Jakarta—sekarang di Jalan Ki Mangunsarkoro 75. Pada 15 Juni, sepuluh pemuda menyepakati anggaran dasar dan pedoman kerja Angkatan Baru Indonesia.

Gerakan pemuda diam-diam ini rupanya tercium tentara Jepang. Dalam sidang kedelapan Chuo Sangi In pada 18 Juni, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Y. Nagano, mengumumkan pembentukan Gerakan Rakyat Baru sebagai pengganti beberapa organisasi pemuda bentukan Jepang sebelumnya.

Pembentukan wadah baru pemuda ini rupanya hanya untuk meredam gerakan B.M. Diah dan kawan-kawan. Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, menegaskan bahwa setiap pemuda yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Baru harus tunduk sepenuhnya pada Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang). Selain itu, Gerakan Rakyat Baru harus bekerja di bawah pengawasan pejabat pemerintah Jepang.

Mengetahui tujuan pemerintah Jepang, anggota Panitia Gerakan Rakyat Baru bersiasat agar bisa memasukkan agenda mereka. Panitia mengusulkan opsi sembilan nama Gerakan Rakyat Baru, di antaranya Barisan Republik Indonesia, Gerakan Nasional Indonesia, dan Gerakan Indonesia Pasti Merdeka.

Dalam rapat panitia Gerakan Rakyat Baru, menurut B.M. Diah, muncul juga usul tujuan organisasi, yakni membangun negara Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Tentu saja pihak Jepang tak menyetujui usul nama dan tujuan organisasi yang menggunakan kata republik itu.

Lewat secarik kertas, pejabat Gunseikanbu Saito meminta Sukarno, yang merupakan ketua sidang, menolak usul penggunaan kata republik. Sukarno pun membacakan permintaan pemerintah Jepang itu di depan peserta rapat.

Protes keras segera bermunculan. Bung Tomo termasuk peserta rapat yang maju ke mimbar untuk mendebat Sukarno. Ia mengkritik sikap Sukarno yang dianggapnya mendukung Jepang. "Kalau Bung Karno terus-menerus bersikap seperti sekarang ini, suatu waktu rakyat akan kehilangan kepercayaan," kata Bung Tomo. Hadirin serentak bertepuk tangan mengiringi Bung Tomo yang turun dari mimbar.

Sewaktu Bung Tomo kembali duduk di kursi, Kiai Haji Mas Mansur menepuk bahunya. "Ya, begitulah, Nak, seharusnya. Bila bukan yang muda-muda yang mulai, siapa lagi yang akan berani?" kata tokoh Muhammadiyah itu, seperti ditulis Bung Tomo dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.

Pemuda lain pun menunjukkan sikap tegas. Adam Malik, misalnya, meninggalkan ruang sidang setelah menyatakan protes. B.M. Diah melakukan hal serupa. "Saudara yang mengerti kehendak Angkatan Baru barangkali dapat mengerti bahwa kita tidak bisa bersikap lain daripada meninggalkan sidang," kata B.M. Diah sebelum meninggalkan ruangan.

Langkah Adam Malik dan B.M. Diah diikuti peserta sidang lain, seperti Chaerul Saleh, Muwardi, Pandu Wiguna, Wikana, Sukarni, Chalid Rasjidi, Sudiro, Trimurti, Harsono Tjokroaminoto, Supeno, dan Asmara Hadi.

Meski menyampaikan protes keras, Sutomo termasuk pemuda yang tak meninggalkan ruang sidang. Menurut B.M. Diah, Bung Tomo tampak kebingungan seperti tidak paham atas apa yang terjadi. "Ia memang tidak pernah berhubungan langsung dengan gerakan pemuda di Jakarta," kata B.M. Diah dalam buku Angkatan Baru '45.

Setelah diboikot para pemuda, Gerakan Rakyat Baru tak pernah bersidang lagi. Namun, bagi Sutomo, forum itu telah memberi kesempatan berharga untuk bersentuhan langsung dengan tokoh pergerakan di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus