Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ibarat Pesawat yang Terguncang Turbulensi

Stres pada anak paling sering terjadi karena kondisi lingkungan terdekatnya: keluarga inti di rumah. Sebelum membantu anak kembali bangkit dan pulih, orang tua harus lebih dulu menyadari dan membenahi gangguan psikologis yang mereka alami.

20 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi anak belajar. Tempo/Ijar Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anak stres karena kelamaan belajar hingga bermain di rumah.

  • Orang-orang terdekatnya mempengaruhi munculnya stres pada anak.

  • Ajak anak-anak berkegiatan di luar ruangan dengan memilih tempat yang jauh dari kerumunan.

Psikolog anak, Mischa Indah Mariska, beberapa kali mendapat klien orang tua yang merasa anaknya mengalami gangguan mental. Mereka mengeluhkan perilaku anaknya yang berubah menjadi mudah marah, sedih, tertutup, dan enggan bergaul, atau tak punya semangat dalam beraktivitas. Selama masa pandemi, keluhan semacam itu lebih sering ia dengar, baik lewat para klien maupun teman-temannya yang curhat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi pandemi, kata Mischa, memang menimbulkan banyak perubahan besar yang berdampak pada anak-anak. Dari terhentinya kebiasaan dan rutinitas lama, seperti bersekolah, hingga bermain yang hanya bisa dilakukan di rumah. “Anak mulai bosan dan stres akibat kelamaan diam di rumah,” ujar Mischa kepada Tempo, Selasa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun sebetulnya, menurut dia, perubahan kebiasaan dan aneka keterbatasan itu bukan faktor utama penyebab stres pada anak. “Justru penyebab utama anak menjadi stres datang dari orang-orang di lingkungan terdekatnya, orang tua atau anggota keluarga lain,” tutur psikolog klinis lulusan magister Universitas Indonesia tersebut. Bisa jadi, ujar dia, gangguan mental pada anak muncul akibat orang tuanya sendiri yang mengalami stres atau depresi duluan.

Hal sepele, misalnya orang tua yang malah balik marah ketika anak uring-uringan, merupakan salah satu penyebab anak "tertular" stres dari orang tuanya. “Padahal seharusnya orang tua memvalidasi perasaan dan emosi anak, bukannya malah balik memarahi,” ujarnya. Sebelum menyelidiki lebih lanjut kondisi anak dari klien yang berkonsultasi, Mischa biasanya mencari tahu dulu bagaimana kondisi kejiwaan orang tua.

Bukan hal aneh, kata Mischa, para orang tua yang datang berkonsultasi justru curhat panjang-lebar soal aneka masalah yang mereka alami dan rasakan. Hal umum yang terjadi adalah para orang tua mengalami stres karena harus bekerja sambil mendampingi anak mereka bersekolah di rumah. Hal ini membuat orang tua jadi lebih mudah marah kepada anak. Selain itu, meskipun sosok orang tua selalu hadir di rumah pada masa pandemi, justru kualitas interaksi dan kedekatan dengan anak menurun drastis.

Mischa menjelaskan, kondisi kejiwaan anak-anak pada dasarnya berbeda dengan kondisi kejiwaan orang dewasa. Gangguan kejiwaan pada orang dewasa, seperti stres atau depresi, biasanya muncul tak hanya karena faktor eksternal (lingkungan, tekanan pekerjaan, atau masalah ekonomi), tapi juga berasal dari internal jiwa mereka, seperti trauma masa lalu atau kenangan buruk pada masa kecil yang biasa disebut sebagai luka jiwa.

“Nah, pada anak-anak, faktor dominan penyebab gangguan kejiwaan adalah kondisi eksternal mereka, yakni lingkungan dan orang-orang sekitar,” kata psikolog berusia 32 tahun ini. Anak tanpa sadar ikut menyerap dan merekam pola perilaku orang-orang di sekitar mereka. Dengan demikian, ketika orang tua memperlihatkan gejala stres atau depresi, anak pun ikut terkena dampak dan turut merasakan hal tersebut.

Karena itulah, sebelum menangani anak yang mengalami stres, para orang tua harus memiliki kondisi mental dan emosi yang stabil. Atau, jika sedang mengalami stres dan depresi, orang tua harus memulihkan kejiwaan mereka lebih dulu.

Mischa mengibaratkan kondisi gangguan kejiwaan dalam keluarga seperti guncangan ketika pesawat mengalami turbulensi. “Ketika terjadi turbulensi dan masker oksigen di pesawat keluar, penumpang dewasa harus memakai masker tersebut lebih dulu, sebelum membantu penumpang lain atau anak di sebelah mereka.”

Psikolog anak Mischa Indah Mariska. Dok. Pribadi

Jika orang tua tak berupaya memulihkan kondisi kejiwaan mereka, upaya memulihkan kejiwaan anak pun akan berat. “Kalau orang tuanya sudah happy, kan anak juga akan ikut bahagia,” tuturnya. Orang tua yang sedang stres atau depresi perlu mencari kegiatan yang bisa menurunkan tekanan batin mereka. “Orang tua harus care pada diri mereka sendiri dulu.”

Obat paling mujarab untuk meredakan stres pada anak adalah kualitas hubungan dan kedekatan antara anak dan orang tuanya. Dalam kondisi pandemi, meski orang tua selalu ada di rumah, anak membutuhkan perhatian dan waktu khusus. Karena itu, Mischa menyarankan para orang tua untuk meluangkan waktu minimal 30 menit setiap hari untuk bercengkerama dengan anak.

Untuk menciptakan interaksi yang berkualitas, saat berinteraksi dengan anak pun, orang tua harus bebas dari gangguan. “Misalnya, saat menemani anak bermain, belajar, atau sekadar mengobrol, orang tua jangan sambil pegang handphone atau menonton televisi. Pokoknya 30 menit itu berfokus pada anak,” kata Mischa. Aktivitas tersebut akan sangat membantu anak, sehingga mereka merasa lebih diperhatikan dan didengar oleh orang tuanya.

Hal lain yang perlu diperhatikan orang tua adalah soal rutinitas. Gejala stres pada anak bisa semakin berat atau bertambah jika mereka tak memiliki kepastian yang secara tak sadar membuat anak cemas. Orang tua perlu membuat jadwal tetap setiap hari untuk aktivitas anak, seperti waktu bermain, makan, mandi, belajar, atau menonton televisi.

Aktivitas lain yang juga sangat penting dimiliki anak adalah kegiatan di luar ruangan. “Memang, pada masa pandemi ini, orang tua banyak yang takut kalau membiarkan anak mereka bermain di luar,” katanya. Tapi, Mischa menambahkan, orang tua bisa bersikap bijak dengan mengajak anak bermain di sekitar rumah atau mencari taman yang sepi dan jauh dari kerumunan. “Atau mengajak anak berjalan setiap pagi keliling kompleks ketika kondisi masih sepi.”

Berbagai penelitian, kata Mischa, menyebutkan bahwa aktivitas fisik pada anak bisa meningkatkan dan menjaga kesehatan mental anak-anak dan juga orang dewasa. “Ketika beraktivitas fisik, tubuh akan memproduksi hormon seperti endorfin yang memicu perasaan dan mood bahagia.” Dengan demikian, selain fisik menjadi lebih sehat, keseimbangan emosi terjaga.*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus