Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desa Aipuntuk, Sumbawa Besar….
Di tanah lapang yang luas dan hijau oleh rerumputan itu, MaraÂdona berlari menembus tirai air dari langit. Bulu kuda putih itu tetap berkilap bak pualam di bawah sinar matahari yang meredup oleh hujan. Dari pinggir kebun, Masrawang, tuan MaÂradona, menghampiri kudanya, yang perlahan mengurangi kecepatan. Dia menarik tali pengikat, membawa kuda ke bawah pohon asam tak jauh dari kebun, lalu memberinya santapan lezat rumput segar bercampur dedak. "Hari ini Maradona berlari lebih dari dua puluh putaran," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Kini berusia 75 tahun, Masrawang mengatakan salah satu masa terindah hidupnya adalah tatkala dia menjadi joki kanak-kanak, saat berusia 9 tahun. Sejak itu, dia tak bisa beralih dari kuda dan pacuan. Tak terhitung berapa banyak maen jaran yang telah dia ikuti sebelum beralih menjadi pemilik kuda-kuda pacuan.
Itu sebabnya pria Sumbawa ini tahu betul memperlakukan hewan pacuan berikut joki-joki ciliknya. Dua minggu sekali, Masrawang memastikan Maradona berlatih sejak pukul sembilan hingga sebelas siang. Pakan Maradona diperhatikan betul: rumput dicampur sedikit dedak. Kaki-kakinya rutin dibersihkan agar terhindar dari jamur yang dapat mengakibatkan pincang.
Musim tanding terakhir telah menutup 2013. Pada Januari-Februari, Masrawang dan para juragan kuda pacuan Sumbawa lainnya tengah sibuk merawat jagoan mereka untuk musim tanding baru, sekitar tiga bulan lagi. "Justru pada masa jeda seperti ini kami menggenjotnya sehingga, saat berpacu nanti, kuda siap tempur," Masrawang menjelaskan sembari mengelus-elus Maradona.
Maen jaran amat populer di seantero Sumbawa. Sepanjang tahun, setidaknya empat pacuan diselenggarakan di berbagai arena di seluruh pulau. Ini belum termasuk pacuan saat acara pemerintah daerah dan perusahaan. Satu turnamen biasanya berlangsung seminggu.
Jokinya bocah 5-12 tahun. Mereka terpilih karena ukuran kuda yang mini, hanya sekitar 1,2 meter. Tubuh anak ringan sehingga kuda bisa berlari kencang. Pada setiap pertandingan, Masrawang tak pernah lupa merecikkan air ke atas kepala joki-joki cilik—sebagai bagian dari ritual bejiwa. Upacara ini bertujuan menyatukan jiwa kuda pacu dengan jokinya. "Untuk mengantisipasi serangan 'ilmu jahat' dari lawan di arena," katanya kepada Tempo.
Kemenangan selalu menjadi kebanggaan besar. "Apabila kuda saya menang, semua manusia di Tana Samawa (sebutan lokal untuk Sumbawa) akan membicarakannya," ujar Masrawang.
Tak diketahui kapan tepatnya pacuan tradisional kuda mulai digelar di Sumbawa. Sejak masa Kesultanan Sumbawa, permainan ini telah digemari segala kalangan, termasuk para bangsawan. Sultan Kaharuddin III, yang memerintah pada 1931-1952, memiliki kuda pacu yang diurus khusus oleh seorang punggawa jaran.
Daeng Aning, 69 tahun, salah satu kerabat dekat Kesultanan Sumbawa, menunjukkan kepada Tempo dua lembar foto hitam-putih yang memperlihatkan sang Sultan di arena pacuan kuda. "Saya masih ingat nama kuda pacu milik Sultan Kaharuddin III, Langgar Laut dan Aswad," katanya.
Pada masa pendudukan Jepang, permainan ini sempat dilarang. Namun penduduk tetap menggelar lomba sembunyi-sembunyi selepas masa panen. Tradisi itu berlangsung sampai sekarang, menyebar ke seluruh pulau hingga ke pelosok-pelosok.
Satu tim pacuan kuda minimal terdiri atas pemilik kuda, pemelihara kuda, sanro, dan joki. Pemelihara kuda bertugas memberi pakan, melatih kuda dan joki, serta ikut memberi masukan dalam pemilihan joki. Sanro—semacam dukun—menyediakan jasa perlindungan spiritual.
Sebelum pertandingan, mereka membangun tenda di sekitar arena. Di sinilah tempat tinggal joki-joki kecil bersama orang tua dan pelatih mereka. Joki kecil mudah dikenali dari atributnya: memakai baju dan celana panjang dari bahan kaus, dilengkapi penutup wajah dan helm plastik. Beberapa di antara mereka memegang pecut. Di balik baju seorang joki, terdapat kain hitam yang melingkari pinggangnya. Di dalamnya dijahit sabuk bertulisan huruf Arab gundul. Itu adalah jimat.
Pacuan kuda tradisional berlangsung mulai pukul sepuluh pagi hingga sore. Karcis masuk hanya Rp 5.000 per kepala. Penontonnya ratusan orang, berasal dari berbagai penjuru Nusa Tenggara Barat. Lima kuda akan digiring ke bilik start begitu pacuan siap dimulai. Untuk menolak bala, kuda dipandu mengitari jokinya tiga kali. Para sanro lalu menggendong joki dan menaikkannya ke punggung kuda pacu.
Perlu waktu hampir sejam sampai semua tim siap. Kadang ada kuda pacu ngambek, tak mau masuk ke kotak start. Bilik-bilik yang sempit sering membuat joki kesakitan karena lututnya tergesek. Tak jarang ada kuda pacu yang lari sebelum aba-aba.
Biasanya 60 kuda atau lebih ikut berpacu. Joki akan memeluk leher kuda erat-erat. Salah satu tangan memegang pecut. Di luar arena pacu, para juragan kuda mengamati jagoannya dengan wajah tegang—dan mendesak sanro tak henti merapal mantra.
Di beberapa sudut, orang mulai berkelompok membawa pecahan Rp 50 ribu-5 juta dan membuka taruhan. Perputaran uang bisa mencapai ratusan juta rupiah. Jika fulus kurang, ada cukong yang stand by di lokasi pacuan, siap meminjamkan uang dengan jaminan barang.
Para pemilik kuda harus merogoh kocek dalam-dalam pada setiap pertandingan. Masrawang, misalnya, membawa paling sedikit Rp 7 juta untuk membiayai kebutuhan pacuan. "Perlu modal besar untuk menuruti hobi saya ini," ujarnya. Pria yang bekerja sebagai petani itu selalu menyisihkan uang untuk keperluan pacuan, setiap usai panen.
Agar uang itu awet, Masrawang membawa bekal dari rumah berupa beras, ikan asin, dan sambal untuk dia dan timnya. "Kami hanya makan ikan asin. Yang diutamakan adalah makanan kuda serta biaya jasa joki kecil," katanya.
Pemilik kuda yang lebih kaya biasanya tak merawat kuda dan tak turun ke arena sendiri seperti Masrawang. Mereka mempercayakan segala urusan kepada pemelihara kuda. Misalnya Sirajuddin, 36 tahun. Sudah lima tahun dia memelihara kuda pacu seorang pengusaha lokal di Bima, bagian timur Pulau Sumbawa. "Bos punya sepuluh ekor kuda pacu. Saya bertugas memberi makan, melatih lari, memilih joki yang cocok, dan mengurus keberangkatan kuda ke arena pacuan," ujarnya.
Pada setiap pertandingan, sang bos bisa mengeluarkan uang sampai Rp 15 juta untuk biaya transportasi, kebutuhan kuda, dan administrasi pacuan. Biaya besar tak membuat pemilik kuda kapok. "Bos saya menganggap kuda sebagai salah satu investasinya. Uang keluar banyak tidak jadi masalah bagi dia," kata Sirajuddin.
Kemenangan di arena pacu ditentukan dua hal: kuda terbaik dan joki terandal. Kuda pacu Sumbawa biasanya dipilih sejak masih kecil. Pemilik kuda membeli atau mengawinkan induk kuda pacu untuk mengambil anaknya. Mereka memilih kuda yang posturnya bagus dan besar serta berleher panjang. Harga anakan kuda jenis ini Rp 7-15 juta.
Pemilihan joki lazimnya merujuk pada ketangguhan, ketangkasan, dan kemampuan mengendalikan kuda pacu—yang liar sekalipun. Mendapat ponten tinggi, anak-anak dengan kualitas semacam ini biasanya datang dari keluarga pencinta pacuan (lihat "Dua Bintang Pacuan").
Salah satunya Syamsuddin, 7 tahun. Awalnya, ia sering ikut kedua orang tuanya menonton pacuan kuda. Lalu ia ditawari menjadi joki oleh teman ayahnya dengan iming-iming dibelikan sepeda. Pemilik kuda kerap juga mencari anak yang punya dua pusaran rambut (unyeng-unyeng) di kepala. Mereka dianggap pemberani, kuat, tahan banting, tidak cengeng, dan mampu mengendalikan kuda pacu.
Syaiful, 8 tahun, adalah salah satu joki yang terpilih dengan cara itu. Melihat pusaran di rambutnya, seorang pemilik kuda mendatangi ayahnya dan meminta izin melatih bocah ini. Sebagai imbalan, sang ayah diberi seekor sapi.
Mereka lalu berlatih menunggang kuda selama berbulan-bulan. Lokasinya di pinggir pantai atau arena pacuan. Tak ada honor tetap bagi mereka. Pemilik kuda membelikan mereka makanan atau kudapan, seperti es campur, bakso, dan nasi campur. Terkadang mereka diberi uang Rp 30 ribu. Jika para joki itu bertanding, orang tua mereka diberi imbalan uang atau hewan ternak.
Meski tak ada bayaran pasti, anak-anak menyatakan tetap menikmati kegiatan sebagai joki. "Saya senang naik kuda. Rasanya seperti terbang. Orang tua juga menjadi bangga kepada saya," kata Syaifudin. Anak ini sempat menjadi rebutan para pemilik kuda karena tubuhnya yang kecil dan ringan. "Saya menjadi joki favorit dan mendapatkan banyak hadiah barang dan uang," tuturnya.
Tapi efek buruk sudah menanti. Anak-anak ini rata-rata putus sekolah demi bertanding—hal yang bahkan disokong penuh oleh orang tua mereka (lihat "Sekolah di Pinggir Arena").
Ambisi pemilik kuda—yang bisa laku dijual Rp 30-200 juta—juga kerap mengorbankan keselamatan joki di lapangan. Maun, 23 tahun, mantan joki kecil, ingat betul pengalamannya ketika masih aktif berpacu. "Saya selalu takut terjadi kecelakaan fatal di arena. Tak ada pertolongan pertama terhadap kecelakaan dan tak ada obat-obatan memadai," ujar pria yang kini menjadi pemelihara kuda itu. Keadaan ini tak banyak berubah sampai sekarang.
Ukuran bilik start yang sempit—hanya satu meter per kuda—membuat tubuh joki kerap bergesekan dengan papan atau besi pembatas bilik. Belum lagi pintu bilik yang menggunakan sistem tarik ke atas itu sering membentur kepala penunggang kuda.
Dalam salah satu putaran pacuan kuda yang Tempo saksikan di arena pacuan Angin Laut, Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara, seorang joki mogok karena terlalu lelah. Tapi ia sudah telanjur dikontrak sehingga harus patuh. Ia dimarahi pemilik kuda, penjudi, dan penonton. Tingkahnya dianggap menghambat peserta lain.
Aksi mogok bahkan sering dianggap akibat ulah ilmu hitam para lawan. Walhasil, joki kerap dibekali jimat. "Kata sanro, kami harus memakai jimat supaya ringan, lengket di punggung kuda, dan tidak akan jatuh. Kenyataannya, kalau tak erat memeluk leher kuda, tetap saja jatuh," Maun menuturkan pengalamannya.
Dalam regulasi yang diterbitkan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia cabang Sumbawa, belum ada pasal yang mengatur hak dan kewajiban joki anak. Tak ada juga standar keselamatan yang patut. "Seharusnya panitia menyediakan pelana, helm yang layak, pelindung kaki dan tangan, serta melapisi bilik start dengan busa," ujar Siti Aminah, 40 tahun, bidan di Desa Langam, Kecamatan Lape.
Kepada Tempo, perempuan itu menambahkan dalam nada prihatin, "Berpacu dapat membantu perekonomian keluarga, tapi janganlah sampai mengorbankan nyawa anak."
Sadika Hamid (Jakarta), Yuli Andari (Sumbawa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo