Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dua Bintang Pacuan

Menjadi joki kecil adalah kebanggaan besar di Sumbawa. Sering bolos sekolah membuat masa depan mereka tidak menentu.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas pelana kuda, Syafruddin melintas secepat kilat menembus garis finis—disambut pekik penonton yang membahana. Bocah lelaki 12 tahun ini baru saja memenangi pacuan kuda pada hari itu. Sejumlah petaruh berpekik-sorak di arena judi begitu Syafruddin menembus garis finis. Sembari memeluk erat tunggangannya, perlahan-lahan dia mengerem laju kudanya. Senyum lebar mengembang di wajahnya. Syafruddin menjadi juara umum periode 2013.

Berasal dari Desa Ampu, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa, Syafruddin adalah joki terbaik pada 2012 dan 2013 di Angin Laut, Penyaring—desa di Pulau Sumbawa yang masyhur karena pacuan-pacuan kudanya. Tempo hadir di sana pada musim pacu terakhir tahun lalu—menjelang akhir 2013.

Badan sang juara kecil kurus. Langkahnya cepat dan lincah. Dia mengaku berhasil karena rutin berlatih sejak kecil. "Saya belajar menunggang sejak berusia lima tahun," ujarnya kepada Tempo. Pada usia enam tahun, dia resmi menjadi joki.

Peminatnya laris. Pemilik kuda dari berbagai daerah kerap mengontrak Syafruddin menunggang kuda mereka. "Saya menerima uang sekitar Rp 4 juta selama pacuan berlangsung," kata Taufik, 35 tahun, ayah Syafruddin. Sang ayah dulu tak memiliki pekerjaan tetap. Sejak anaknya menjadi joki, perekonomian keluarga mereka membaik: rumah bisa dibangun dengan patut dan 12 ekor sapi mengisi kandang di dekat rumah. "Saya ingin Egi, anak kedua kami, juga menjadi joki," ujar Taufik.

Menjadi joki, apalagi juara, adalah kebanggaan penduduk Sumbawa. "Itulah alasan banyak anak tertarik menjadi joki kecil. Ada prestise tersendiri," kata Muhammad Maun, 23 tahun, mantan joki kecil. Pria asal Penyaring ini menceritakan pengalamannya menjadi juara umum pada 2004. Kala itu, banyak hadiah yang ia dapat, antara lain uang Rp 800 ribu dari pemilik kuda.

Ayah Maun senang bukan main ketika anaknya menang lomba. Ia langsung membelikan sepeda untuk Maun. Bagi penduduk setempat, sepeda adalah barang mewah. "Saya bangga sekali bisa mengendarai sepeda ke sekolah," ujar pria yang menjadi joki sejak berusia delapan tahun ini.

Orang tuanya, menurut Maun, awalnya tak mendukung. "Mereka sempat melarang, apalagi ibu saya," katanya. Kala itu, sang ibu tak ingin anaknya terluka. "Dia takut mendengar cerita-cerita joki yang jatuh dan matanya lebam, tangannya patah, kepala terbentur, atau gegar otak sebelum meninggal," ujar Maun.

Kata Maun, jika tak dilarang, ia sudah menjadi joki kecil sejak berumur enam tahun. "Saat itu, seorang paman membeli kuda pacu dan mencari joki," tuturnya. Sang paman sampai menjanjikan imbalan seekor sapi kepada orang tuanya. Tapi ibu Maun teguh menolak tawaran itu.

Dua tahun kemudian, kesempatan kembali datang. Kali ini dari seorang tetangga. Ia melihat Maun sangat suka menonton pacuan kuda. "Saya menonton dari awal hingga selesai," ujarnya.

Tetangganya diam-diam mengajari si kecil Maun, dari membiasakan diri duduk di atas seekor kuda hingga bertahan di atas punggung kuda saat binatang itu berlari. "Senang sekali. Tubuh terasa ringan, sebagai terbang," tuturnya kepada Tempo.

Setiap selesai latihan, Maun mendapat imbalan uang Rp 25 ribu dan makanan. Ini membuat dia kian termotivasi. Lima belas tahun lalu, uang sejumlah itu terhitung banyak, apalagi bagi anak delapan tahun. Suatu saat kakaknya mengadukan "latihan rahasia" itu ke orang tua mereka. Tutur Maun, "Ibu begitu marah, sampai hampir memukul saya. Ayah diam saja."

Sang pemilik kuda mendatangi rumah mereka untuk meminta maaf. "Dia sampai berjanji tidak akan melatih saya lagi. Mendengar itu, saya menangis sekeras-kerasnya," Maun melanjutkan ceritanya kepada Tempo. Sang ibu pun luluh. Walau akhirnya diizinkan, Maun tetap sedih tak bisa menjadi joki sejak berusia enam tahun. "Jika tak dilarang, pasti sekarang saya punya banyak sapi," katanya itu dengan mata menerawang—mengenang masa jayanya.

Berpacu sejak kecil membuat pendidikan Maun dan Syafruddin terbengkalai. Maun, misalnya, bersekolah sampai tahun pertama sekolah menengah kejuruan. Dia dikeluarkan karena terlalu sering membolos. Sebenarnya ia masih punya kesempatan melanjutkan pendidikan. Seorang tetangga bersedia menyekolahkannya di Kota Sumbawa Besar. Tapi, karena sang bocah terlihat tidak serius, biaya pendidikan dihentikan. Sekarang dia menyesal betul. "Yah, tapi ini jalan hidup saya," ujarnya.

Tak punya keahlian lain, mantan joki cilik itu kini bekerja sebagai pemelihara kuda. Karena sudah menggeluti bidang ini sejak kecil, sulit baginya untuk bekerja di luar arena. "Saya juga tidak mau jauh-jauh dari pacuan kuda," dia memberi alasan.

Nasib Syafruddin setali tiga uang. Taufik mengaku anaknya sering membolos untuk ikut pacuan. Dia tidak melarangnya. Bahkan, kalau ada jadwal ujian yang bentrok, Taufik merelakan anaknya tetap berlomba. "Saya sebenarnya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk dia. Tapi Syafruddin ingin tetap berpacu," Taufik menyodorkan alasan. "Toh, uangnya ditabung untuk keperluannya sendiri kelak," dia buru-buru menambahkan.

Amanda T. Siddharta (Jakarta),Yuli Andari (Sumbawa)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus