Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jakarta, Tokyo, dan Kucuran Darah

Sebuah film thriller yang penuh adegan keji untuk penonton dewasa. Kerja sama yang intens antara tim Jepang dan Indonesia.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Killers
Sutradara: Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel)
Skenario: Ushiyama Takuji dan Timo Tjahjanto
Pemain: Kazuki Kitamura, Oka Antara, Rin Takanashi, Luna Maya, Ray Sahetapy

Sebuah kepala dibungkus plastik. Sepasang bibir berpoles gincu yang mencoba mengais oksigen. Seperangkat alat rekam yang "menatap" dengan haus. Lalu kepala dihantam. Darah muncrat ke layar Anda. Darah mengucur deras seperti keluar dari ledeng. Dan seterusnya.

Bagi mereka yang sudah menyaksikan Rumah Dara, film pertama duo Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (dikenal dengan nama Mo Brothers), ini adegan yang "terlalu biasa". Soal tokoh psikopat; perangkat pisau, palu, dan peralatan penyiksaan yang menjadikan layar penuh darah; serta garis yang kemudian membuat kaburnya batas antara manusia dan binatang.

Perempuan yang dihajar itu tak bernama. Lelaki keji tersebut bernama Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura), seorang lelaki muda yang mengaku sebagai pengusaha. Tampan dan berpakaian perlente, dengan mudah Nomura mengail perempuan muda mana saja untuk kemudian disiksa, diiris, dan dihajar hingga tewas. Seluruh proses itu diunggah ke Internet hingga ada berjuta-juta orang dari berbagai pelosok dunia menyaksikannya, termasuk Bayu Aditya (Oka Antara), wartawan investigasi di Jakarta.

Bayu gelisah karena ingin mengungkap kebobrokan seorang politikus busuk bernama Dharma (Ray Sahetapy). Karena itu, kehidupan pribadinya (istri dan anak) jadi berceceran dan kariernya tak kunjung beres karena Dharma selalu lolos dari terkaman hukum. Akibat sebuah sergapan dua bajingan di malam yang busuk, Bayu akhirnya merasakan bagaimana dia bisa juga membunuh. Perlahan ia tertarik pada sisi gelap Nomura. Mereka berbincang dan selangkah demi selangkah, serta saling mengunggah video korban masing-masing.

Meski ritme awal film ini agak lambat, setelah 30 menit, kita mulai merasakan deru adrenalin Nomura dan Bayu yang bertukar-tangkap. Ada rasa sakit, ada ketakutan. Struktur skenario terasa ketat dan padat, meski harus diakui bagian Jakarta lebih menggali psikologi tokoh Bayu dengan lebih dalam dan perkembangan karakter menjadi lebih jelas.

Saat menyaksikan film seperti Killers, ada satu istilah penting dalam genre ini yang perlu diingat: suspension of disbelief. Di dalam budaya pop, atau katakanlah dalam film, istilah ini "menuntut" penonton mengabaikan realitas dan untuk sejenak menerima realitas pada layar film demi jalan cerita (dan atas nama hiburan). Dalam genre psychological thriller ditambah pula dengan kata slasher seperti ini maka pertanyaan-pertanyaan realis, seperti wartawan macam apa yang tidak meliput setiap hari dan kerjanya mengunggah rekaman video melulu; kenapa begitu banyak orang yang menghilang di Tokyo tidak diurus polisi; omong-omong apa sih persoalan antara Bayu dan Dina, kok yo masih cinta sudah pisahan begitu; dan seterusnya, disimpan saja di lemari, karena itu bukan pertanyaan penting lagi. Menyaksikan film yang menegangkan, yang membuat kita duduk di tepi kursi sembari berharap tokoh Bayu tetap bertahan, tentu membuat kita tak peduli lagi pada serangkaian pertanyaan itu. Suspension of disbelief.

Dan karena itulah film ini berhasil menjadi sebuah film utuh yang dibuat dengan tangan yang rapi dan seni peran yang bersinar. Kita tak heran bila film ini berhasil diseleksi untuk pemutaran pada Sundance Film Festival. Meski ada beberapa titik akhir yang mungkin sebuah homage bagi film psycho, secara keseluruhan film ini menunjukkan kerja sama yang intens antara Ushiyama Takuji dan Timo Tjahjanto dalam penulisan skenario.

Penyutradaraan yang pa­ling berhasil adalah penanganan pada para aktor Jepang ataupun Indonesia. Kazuki Kitamura, yang menyajikan seorang psikopat, berhadapan dengan Oka Antara, yang tampil sebagai lelaki idealis yang semula gagap saat menemukan kegelapan dalam dirinya. Duet ini sungguh lezat. Duet antara Oka Antara dan Luna Maya sebagai suami-istri pun sangat kuat. Oka adalah aktor yang mampu membolak-balikkan tubuh dan jiwa sesuai dengan peran yang dituntut sutradara.

Leila S.Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus