Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serambi di lobi utama gedung Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) riuh oleh diskusi sekelompok mahasiswa. Salah satunya bernama Surya, mahasiswa program studi psikologi yang menulis cerita tentang Ferdianto, anak Sumbawa yang sudah setahun ini menjadi joki kecil.
Surya menulis artikel itu sejak Desember 2013, dua bulan setelah ia menjadi relawan dalam program Homeschooling Joki Cilik Sumbawa yang diinisiasi almamaternya. "Tulisan ini akan diterbitkan dalam buku Joki Kecil Berhak Sekolah," kata Surya kepada Tempo pekan lalu. Ada 24 kawan Surya yang turut menulis profil joki kecil, pengalaman mendampingi mereka, serta perbedaan perilaku mereka sebelum dan sesudah mengikuti program homeschooling.
Ilmiyati Zain, 34 tahun, Dekan Fakultas Psikologi UTS, mengatakan buku itu dibuat untuk merayakan hari jadi Kabupaten Sumbawa, yang jatuh pada 22 Januari. Tapi ada misi lebih penting: ia berharap buku ini akan mendorong lahirnya peraturan daerah tentang pendidikan bagi para joki kecil. "Target kami sudah dicetak pada Maret nanti," ujarnya kepada Tempo.
Homeschooling Joki Cilik Sumbawa berawal pada September 2013, dengan program perdana selama sepuluh hari. Pengajarnya tim psikologi UTS—bekerja sama dengan Pertamina Foundation. Selain para joki, saudara joki yang masih di bawah umur dan anak pemelihara kuda bisa menjadi murid.
Pelajaran digelar di tenda-tenda dekat arena pacuan. Sekitar 60 anak berumur 5-12 tahun berkumpul di Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara, Kabupaten Sumbawa, ketika Tempo berkunjung ke sana sebelum akhir 2013. Di bawah tenda itu, mereka belajar layaknya di sekolah. Ada yang menggambar, ada yang mengerjakan soal perkalian. "Kami belajar selama dua jam, sejak pukul 18.30 hingga 20.30," kata ÂSyafruddin, 12 tahun, salah satu joki kecil.
Ada 25 pengajar, yang terbagi dalam beberapa kelompok. Peserta kelas adalah murid-murid kelas III-VI sekolah dasar. Jadi resminya mereka bersekolah. Namun kehidupan di arena pacuan membuat mereka sering absen ke sekolah.
Sebelum kelas dimulai, setiap guru menanyakan si anak duduk di kelas berapa dan apa pelajaran terakhirnya. Dari jawaban sang murid, guru akan menentukan materi kelas. Agar tak bosan, mereka diajak ber-hula-hoop—melingkari api unggun.
Dosen Fakultas Psikologi UTS, Yossy Dwi Eliana, 36 tahun, mengatakan setiap joki adalah anak yang diberkahi keterampilan dan bakat. Alangkah baiknya jika bakat ini dikembangkan dengan pembinaan yang benar sehingga mereka punya bekal ilmu ketika dewasa. "Menjadi joki hanya bersifat sementara," Yossy menegaskan.
Tradisi pacuan kuda tradisional di Sumbawa menjadikan anak lelaki sebagai joki. Lazimnya mereka berasal dari keluarga petani atau peternak. Memiliki anak joki adalah kebanggaan besar bagi para orang tua di daerah ini. Mereka berharap anak-anaknya yang bisa memenangi pacuan dapat memperbaiki ekonomi keluarga.
Masalahnya, joki sering tidak bersekolah. Lokasi arena pacuan yang berpindah-pindah dan waktu pacuan yang panjang membuat mereka sering membolos. Dalam setahun setidaknya ada empat pacuan kuda—masing-masing makan waktu minimal tujuh hari. Ini belum termasuk jadwal pertandingan tak tetap. Walhasil, banyak di antara mereka yang ketinggalan pelajaran, tak naik kelas, bahkan putus sekolah.
Dari kampus di Jalan Raya Olat Maras, Batu Alang, Sumbawa Besar, tercetuslah ide mendatangkan guru bagi para joki kecil. Menurut Yossy, meski namanya homeÂschooling, konsep yang diterapkan lebih dekat pada sekolah komunitas: inisiatif adanya kegiatan belajar-mengajar berasal dari para guru, bukan orang tua.
Yossy mewawancarai sejumlah guru yang punya murid joki kecil. Dari sana terungkap, sekolah kerap menegur orang tua murid yang membiarkan anak-anaknya membolos. "Tapi para orang tua menjawab tak mengapa anak tinggal kelas asalkan bisa ikut pacuan kuda," Yossy menirukan ucapan beberapa orang tua.
Hasil pengamatan itu menjadi bahan awal untuk menentukan materi kelas. Sejumlah mahasiswa yang bersedia menjadi relawan pengajar mulai direkrut. Ada 25 mahasiswa psikologi UTS yang bersedia bergabung ketika program mulai digelar pada September lalu.
Selama seminggu, mereka mengikuti pelatihan mengenal karakter anak, cara mengajarkan pengetahuan dasar pelajaran sekolah, seperti membaca, menulis, dan berhitung, juga bagaimana mendampingi anak-anak dalam kondisi emosi tak stabil. Mereka juga belajar memanfaatkan permainan untuk mengembalikan keceriaan anak.
Selepas pelatihan, para relawan mendatangi tenda tempat pacuan dan menginap di sekitar arena lomba. Mereka meminta izin orang tua dan membujuk para joki agar mau bergabung di kelas. Mereka mendekati orang tua joki pada pagi hari dan berbincang tentang kuda dan pacuan. Setelah suasana mencair, barulah mereka memperkenalkan ihwal sekolah khusus untuk joki. Para relawan "menjual" serunya aneka game yang bisa dimainkan sehabis belajar.
Awalnya, banyak orang tua tak memberi izin. Buat mereka, jauh lebih penting anak-anak berkonsentrasi penuh untuk memenangi pacuan. "Kegiatan sekolah ini macam bersenang-senang saja, dan akan membuyarkan konsentrasi anak-anak kami saat berpacu," kata Taufik, 35 tahun—ayah Black, nama julukan joki cilik terkenal di Sumbawa.
Sulitnya mendapat izin dari orang tua makin bertambah dengan minimnya jumlah joki yang mau masuk ke tenda belajar. Bagi mereka, ajang pacuan kuda justru menjadi kesempatan untuk terbebas dari tugas-tugas sekolah.
Black menuturkan awalnya tak mau mengikuti kegiatan sekolah di arena pacuan. Setelah mendapat penjelasan bahwa ada game yang akan dimainkan, barulah ia mau. Beruntung, ayahnya pun melunak dan membolehkannya mendatangi dan belajar di tenda sekolah. "Saya paling suka (acara) berkenalan dan bercerita tentang pribadi kami kepada teman sesama joki," ujar Black kepada Tempo.
Menurut Taufik, semenjak anaknya mengikuti sekolah khusus untuk para joki ini, bahasa dan sikap Black jadi lebih santun dan ceria. Setelah beberapa lama, dia setuju mendukung anaknya ikut homeÂschooling asalkan pelaksanaannya sore hari setelah pacuan usai—dan jangan malam hari. Taufik mengatakan, pada malam hari, anak-anak perlu beristirahat sebelum bertanding.
Tim pengajar berupaya menyerap semua masukan demi murid-murid cilik ini: "Setidaknya mereka bisa tetap belajar sehingga dapat mengatasi ketertinggalan pelajaran sewaktu mereka beradu di arena," ujar Yossy.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan sekolah di arena bagi para joki adalah alternatif yang amat membantu. "Dengan begitu, para joki tetap mendapat pendidikan ketika harus bertanding," tuturnya.
Sejauh ini, belum ada bentuk kerja sama dengan sekolah formal. Terutama untuk memastikan kualitas pelajaran yang sama dengan sekolah formal. Tim pengajar dari UTS kini tengah sibuk mempersiapkan kelanjutan program Homeschooling Joki Cilik Sumbawa—untuk menyambut musim pertandingan berikutnya.
Mereka sudah mengancar-ancar materi pelajaran hingga pacuan-pacuan pada Mei nanti. Menurut Yossy, "Setelah mengetahui lokasi perlombaan, tim UTS akan mendirikan tenda dan mendatangi setiap orang tua joki untuk membujuk mereka mengirimkan anak-anaknya ke sekolah."
Syari Fani (Jakarta), Yuli Andari (Sumbawa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo