Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye di kampus dan sekolah membuat para pegiat pendidikan waswas.
Mereka menilai jualan politik itu mencederai prinsip netralitas dan imparsial institusi pendidikan.
Agenda tersebut rawan disusupi praktik politik transaksional antara politikus dan pimpinan perguruan tinggi. Sementara, di sekolah, kampanye bisa salah sasaran karena sebagian besar murid belum punya hak pilih.
JAKARTA – Masa kampanye Pemilihan Umum 2024 baru akan dimulai pada akhir November mendatang. Namun sejumlah pegiat pendidikan dan pemerhati pemilu sudah mulai waswas. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye di tempat pendidikan dikhawatirkan bakal menjadi celah politisasi di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi untuk kepentingan elektoral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengkritik putusan MK tersebut. Koordinator KIKA, Satria Unggul, mengatakan kampus dan institusi pendidikan lainnya tak hanya harus netral, tapi juga imparsial. "Kampus tidak boleh disusupi agenda politik praktis," kata Satria kepada Tempo, Selasa, 22 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satria menilai kampanye di tempat pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, bisa mencederai prinsip tersebut. Yang bikin dia khawatir tidak hanya pada urusan penggunaan fasilitas pendidikan, tapi juga kampanye di kampus bakal semakin membuka ruang terjadinya transaksi politik antara politikus dan pimpinan perguruan tinggi.
"Misalnya, pimpinan kampus mendapatkan kue politik, jabatan publik, dari panggung yang mereka sediakan pada masa kampanye," kata Satria. "Putusan MK ini tentu menjadi tantangan untuk menciptakan otonomi perguruan tinggi, untuk mengembangkan ilmu secara imparsial."
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi hakim konstitusi, Arief Hidayat (kanan) dan Suhartoyo, memimpin jalannya sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, 22 Agustus 2023. ANTARA/Sigid Kurniawan
Putusan MK yang dipersoalkan Satria adalah putusan perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023. Dibacakan pada Selasa pekan lalu, putusan ini mengubah isi Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mulanya, pasal tersebut menyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. MK, dalam putusannya, mengubah pasal tersebut dengan menambahkan frasa "kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu".
Frasa pengecualian tersebut sebelumnya tertuang pada bagian penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu. Bagian penjelasan inilah yang mulanya dipersoalkan oleh pemohon karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Materi Pasal 280 ayat 1 huruf h dengan tegas melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye. Namun bagian penjelasan justru mengatur adanya pengecualian.
Para pemohon sebetulnya juga menilai dibolehkannya kampanye di tempat pendidikan akan berpotensi melahirkan pemilu yang membelah institusi pendidikan. Mereka menilai kampanye akan mencederai sistem pendidikan yang tujuan pokoknya adalah mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat. Karena itu, pemohon meminta agar penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h dihapuskan untuk memberikan kepastian hukum.
MK sependapat dengan pemohon bahwa penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h menimbulkan ambiguitas. Penjelasan pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. Namun majelis hakim konstitusi justru memindahkan frasa pengecualian pada bagian penjelasan ke materi Pasal 280 ayat 1 huruf h. "Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan," demikian yang tertulis dalam bagian pertimbangan hukum putusan MK yang dibacakan pada 15 Agustus lalu.
Menguntungkan Peserta Pemilu di Lingkaran Kekuasaan
Satria mempersoalkan adanya perbedaan perlakuan MK dalam putusan tersebut. Majelis hakim konstitusi memberikan pengecualian ihwal penggunaan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan untuk kampanye. Di sisi lain, MK melarang tanpa pengecualian pada tempat ibadah.
Dia menilai perbedaan pengaturan itu menunjukkan putusan MK tidak konsisten. "Kalau di tempat ibadah khawatir tercipta polarisasi, tapi di sekolah atau kampus dianggap sebagai ruang yang kosong," kata Satria.
Padahal, menurut Satria, politisasi kampus lewat pimpinan perguruan tinggi beberapa tahun terakhir semakin marak, terutama di universitas negeri. Pasalnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kata dia, mempunyai saham 35 persen dalam penentuan rektor di kampus negeri. "Besarnya peran pemerintah inilah yang membuat beberapa perguruan tinggi memberikan gelar doktor atau profesor kehormatan kepada para politikus," kata Satria.
Karena itu, Satria khawatir diperbolehkannya kampanye di tempat pendidikan hanya akan menguntungkan peserta pemilu—baik partai politik maupun calon presiden—yang dekat dengan inkumben. Mereka yang berada di barisan pemerintah akan lebih mudah menggunakan fasilitas kampus untuk kepentingan meraup dukungan.
“Sehingga bisa menyebabkan lawan politik tidak mendapatkan kesempatan yang setara dalam mengakses fasilitas pendidikan untuk kepentingan elektoralnya,” kata Satria. “Apalagi untuk menggunakan fasilitas pendidikan butuh izin penanggung jawab di dalam kampus. Kondisi ini rentan bagi oposisi karena tidak mempunyai posisi yang strategis.”
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, sependapat dengan Satria. Dia mengakui pendidikan politik penting. Namun membolehkan tempat pendidikan untuk kegiatan politik elektoral, seperti kampanye, jelas keliru.
"Tempat pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas pemerintah seharusnya menjadi ruang netral untuk kepentingan publik," kata Retno. "Larangan penggunaan ketiga jenis sarana tersebut untuk kampanye harus bersifat mutlak tanpa syarat."
Warga saat mencoblos di tempat pemungutan suara pemilihan kepala daerah di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2020. TEMPO/Prima Mulia
Bagi peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Muhammad Nur Ramadhan, putusan MK ini menyebabkan tempat pendidikan dan seluruh pihak yang ada di dalamnya semakin rentan dijadikan komoditas politik. Begitu pula Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu, Kaka Suminta, yang menilai putusan MK meningkatkan kerawanan pada prinsip netralitas penyelenggara negara di institusi pendidikan. “Bagaimana jika aparatur sipil negara yang ada di dalam institusi pendidikan dimobilisasi. Kerawanan seperti itu sangat besar sekali potensinya sekarang,” kata Kaka.
Dosen hukum kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan selama ini institusi pendidikan memang rentan dipolitisasi untuk kepentingan elektoral. Sejak pemilihan presiden 2004, sekolah dan perguruan tinggi yang berbasis asrama kerap dijadikan wadah untuk mobilisasi suara. "Politisasi institusi pendidikan oleh kekuasaan, calon yang didukung petahana, berpotensi membuat perlakuan yang tidak berimbang, tidak adil, dan tidak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu," kata Titi.
Karena itu, Titi mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur persoalan ini secara cermat, termasuk ihwal skema pengawasan yang akan dijalankan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dia juga berharap KPU mengikutsertakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pembahasan aturan teknis karena putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 tak hanya bersinggungan dengan perguruan tinggi, tapi juga sekolah menengah atas dan sederajat yang berisi banyak pemilih pemula.
Menurut dia, konsep awal kegiatan pemilihan umum di tempat pendidikan semestinya dipahami sebagai adu gagasan dan program secara akademis. "Karena tempat pendidikan merupakan arena pergulatan intelektual," kata Titi.
Juru bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anang Ristanto, mengatakan Kementerian sedang mempelajari putusan MK. Dia memastikan Kementerian Pendidikan bakal memberikan masukan ihwal rambu-rambu atau batasan dalam kegiatan kampanye di fasilitas pendidikan. “Kami akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait juga untuk mempelajari putusan ini,” ujarnya.
Petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) memberikan informasi ihwal tahapan Pemilu 2024 kepada sejumlah pelajar saat kegiatan sosialisasi di Badung, Bali, 14 Agustus 2023. ANTARA/Fikri Yusuf
KPU Janjikan Perlakuan yang Adil
Komisioner KPU, Idham Holik, hakulyakin tak mudah mempolitisasi institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi. Mahasiswa, kata dia, merupakan kelompok pemilih rasional. “Jadi khawatir boleh, tapi perlu juga mengapresiasi status akademik kaum intelektual," kata Idham. "Kami yakin mereka bisa bertindak rasional serta tidak mudah dimobilisasi dan dipolitisasi untuk kepentingan politik."
Kendati begitu, Idham Holik memastikan lembaganya segera menyusun revisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu untuk disesuaikan dengan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Tak hanya itu, kata dia, KPU akan menerbitkan pedoman teknis pelaksanaan kampanye yang menggunakan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah.
Menurut Idham, putusan MK ini sebetulnya hanya memperjelas pengaturan sebelumnya, bahwa fasilitas pemerintah dan pendidikan bisa digunakan untuk kampanye sepanjang mendapatkan izin. Yang paling penting saat ini, kata dia, KPU berharap penanggung jawab tempat pendidikan bersikap adil dalam memberikan kesempatan kepada peserta pemilu untuk berkampanye. Dia mengingatkan bahwa pemilu berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. “Kami yakin pihak kampus sebagai komunitas akademik memahami asas pemilu itu sehingga bisa memberikan kesempatan yang setara kepada peserta pemilu,” ujarnya.
Komisioner Bawaslu, Puadi, sependapat dengan Idham bahwa putusan MK memberikan kepastian hukum atas peraturan yang selama ini berlaku. "Prinsipnya, kampanye di tempat pendidikan dibutuhkan, terutama dalam rangka pendidikan politik bagi pemilih pemula," ujarnya.
Kendati begitu, Puadi berharap KPU segera menyusun regulasi teknis yang akan menjadi rujukan bagi Bawaslu dalam mengawasi pelaksanaan kampanye di tempat pendidikan. Kelak pengawasan akan dilakukan oleh pengawas pemilu sesuai dengan yurisdiksi, seperti Bawaslu RI di tingkat pusat, Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, maupun pengawas ad hoc.
Menurut Puadi, untuk memperluas spektrum pengawasan kampanye di fasilitas pemerintah maupun tempat pendidikan, Bawaslu akan mendorong adanya pengawasan partisipatif. Masyarakat, kata Puadi, perlu diberi edukasi untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran kampanye. “Pengawas perlu mensosialisasi bentuk kampanye yang dilarang di tempat pendidikan," ujarnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo