Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“MASYARAKAT akan mati konyol. Air sudah tidak layak dimanfaatkan lagi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail Bang sudah bisa membayangkan jika perusahaan tambang benar-benar akan menggaruk hutan lindung yang menaungi kampungnya, Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Kepala adat Nyaribungan itu tahu persis batang air di hutan lindung itu—yang menjadi hulu Sungai Ratah—telah diduduki sejumlah konsesi tambang batu bara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahad petang itu, 30 Juli lalu, Bang baru pulang setelah beraktivitas di Sungai Nyaribungan. Kampung tempatnya tinggal berada tepat di pertemuan sungai tersebut dan Sungai Ratah. Dari sana, air akan mengalir ke arah timur hingga bertemu dengan Sungai Mahakam.
Selain Sungai Nyaribungan, sungai yang menyumbang Sungai Ratah adalah Sungai Pari. Semuanya berhulu di hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang menaungi Desa Nyaribungan dan beberapa desa di sekitarnya, seperti Long Gelawang, Danum Paroi, dan Muara Ratah.
Sebagian besar kawasan hutan lindung itu sedang diusulkan untuk diturunkan fungsinya menjadi hutan produksi tetap. Usulan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 100.417 hektare ini merupakan kelanjutan dari pengesahan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur pada akhir Maret lalu. Jika revisi itu dikabulkan, penurunan fungsi hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa dikhawatirkan oleh sejumlah pegiat lingkungan hidup bakal menjadi pintu masuk dimulainya penambangan terbuka sejumlah perusahaan batu bara.
“Itu juga yang kami takutkan dari dulu,” kata Bang. “Hutan itu akan hilang.”
Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, 30 Juli 2023. Betahita.id/Aryo Bhawono
Yang bikin Bang geregetan, ia tak pernah mendapat informasi ihwal pengusulan dan pengkajian rencana perubahan kawasan hutan lindung tersebut. Dia hanya tahu PT Pari Coal, perusahaan tambang batu bara di bawah bendera PT Adaro Energy Indonesia Tbk, telah memulai survei dan pengeboran pada 2018 untuk mengetahui potensi batu bara di sekitar Nyaribungan. Selama itu, kata dia, Pari Coal beberapa kali berganti perusahaan jasa pertambangan. “Entah berapa titik yang mereka bor, saya tidak tahu,” kata Bang.
Kini rencana pemerintah membuat Bang semakin waswas. Menurut dia, sejak awal, ia tak mendukung keberadaan tambang batu bara di kampungnya. Selama ini, kata dia, masyarakat adat di Nyaribungan sangat bergantung pada hutan di sekitar kampung. “Saya, 66 tahun, masih cari kayu untuk jukung—perahu kecil—masih cari binatang malam,” kata dia. “Kita sudah lihat di televisi dampak tambang. Tinggal tunggu saja hutan rusak.”
Bang pantas resah. Tak hanya PT Pari Coal yang mengantongi konsesi tambang batu bara di hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa. Ada pula PT Ratah Coal, PT Maruwai Coal, dan PT Lahai Coal. Ketiganya juga anak perusahaan Grup Adaro, kelompok usaha yang sebagian sahamnya dimiliki Garibaldi Thohir, kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Jika diakumulasi, luas konsesi keempat perusahaan yang beririsan dengan rencana penurunan fungsi hutan lindung mencapai 56.329 hektare, hampir seluas wilayah DKI Jakarta.
Mantan anggota Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Provinsi Kalimantan Timur, Yohanes Budi Sulistiadi, punya kekhawatiran yang sama. Menurut dia, sejak awal timnya merekomendasikan agar hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa dipertahankan statusnya. Kala itu, tim KLHS mengkaji rencana perubahan fungsi hutan lindung tersebut di wilayah Desa Long Gelawang dengan luas usulan hanya 19.545 hektare. “Saya tidak tahu bagaimana bisa sekarang usulannya malah menjadi 100 ribu hektare,” kata Budi.
Pertimbangan tim KLHS agar hutan lindung itu tak diubah statusnya cukup gamblang. Hutan lindung di daerah aliran sungai (DAS) Ratah tersebut kaya keanekaragaman hayati. “Hutan lindung itu juga menjadi ruang hidup satwa-satwa dilindungi,” ujarnya.
Manajemen Grup Adaro tak mengabulkan permohonan wawancara yang dilayangkan tim laporan khusus ini. Tanggapan perseroan yang dikirim Head of Corporate Communication Division Adaro, Febrianti Nadira, melalui pesan WhatsApp juga tak menjawab semua pertanyaan yang dilampirkan dalam surat permohonan wawancara. Dia hanya menegaskan bahwa Grup Adaro senantiasa mematuhi dan menaati peraturan yang ditetapkan pemerintah, tak terkecuali revisi RTRW. “Revisi tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan dari pemerintah,” kata Nadira pada 14 Agustus lalu. Dia juga menegaskan kegiatan operasional Adaro senantiasa memperhatikan kaidah dan peraturan pelestarian lingkungan.
Camp Pari, lokasi pemondokan eksplorasi PT Pari Coal, yang berada di Kantong 1 habitat badak subspesies Kalimantan di Desa Nyaribungan, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, Juli 2023. Betahita.id/Aryo Bhawono
Menunggu Kepunahan Habitat Badak Kalimantan
Puspa Dewi Liman, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Kalimantan, sebenarnya sudah beberapa bulan terakhir mendengar kasak-kusuk tentang rencana perubahan kawasan lindung di DAS Sungai Ratah. Hanya, ia tak mengetahui persis lokasinya. “Dalam proses penurunan status itu, kami memang sama sekali tidak dilibatkan oleh KLHK,” ucap Puspa.
TFCA merupakan lembaga hasil kerja sama pemerintah RI dan Amerika Serikat yang bermitra dengan The Nature Conservancy (TNC) serta Yayasan World Wide Fund for Nature-Indonesia (WWF). Pada periode 2014-2023, organisasi ini telah menggelontorkan dana Rp 200 miliar untuk pendanaan pelindungan lingkungan di Kalimantan, khususnya pada program penyelamatan spesies badak di Benua Etam. Upaya pelindungan itu dilakukan pada Kantong 1, satu dari tiga area yang diidentifikasi sebagai habitat badak Sumatera subspesies Kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni).
Kantong 1 mencakup area seluas 160 ribu hektare. Hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa, yang akan diturunkan fungsinya menjadi hutan produksi, berada di habitat gajah ini.
Itu sebabnya Puspa juga terkejut atas rencana perubahan fungsi kawasan hutan lindung tersebut. Pasalnya, menurut dia, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) telah memiliki data yang kuat bahwa kawasan lindung tersebut sangat penting sebagai habitat terakhir badak. Kamera perangkap juga pernah merekam satu individu Dicerorhinus sumatrensis harrissoni pada 2021. Atas temuan itu, sudah ada rencana untuk memindahkan badan tersebut ke Sanctuary Badak Sumatera Hutan Lindung Kelian Lestari, yang juga disokong TFCA.
“Saya melihat tidak akan mudah bagi KLHK menurunkan status di sana karena, selain urusan Direktorat Jenderal Planologi, masalah ini menyangkut kepentingan KSDAE,” kata Puspa.
Peneliti satwa pada Direktorat Hutan Yayasan Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, menyebut Kantong 1 sebagai habitat terakhir badak di Borneo. Pasalnya, survei terakhir di Kantong 2 dan Kantong 3 pada 2019 tak berhasil menemukan lagi satwa yang berstatus Appendix I pada Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tersebut. Kantong 1 juga merupakan habitat yang diproyeksikan sebagai area pelepasliaran badak yang kelak bakal dikembangbiakkan menggunakan teknologi reproduksi buatan di Sanctuary Badak Sumatera Hutan Lindung Kelian Lestari.
Karena itu, Rizki mengkritik rencana pemerintah menurunkan fungsi kawasan hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa yang diperkirakan masih menjadi tempat tinggal bagi 3-5 individu badak tersebut. Rencana ini, kata dia, juga menunjukkan betapa penataan ruang mengabaikan perlindungan satwa. “Kalau habitat untuk satwa ikon negara seperti badak saja tak diperhatikan, apalagi satwa-satwa lainnya,” kata Rizki.
Sejumlah studi memang menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati di sungai-sungai dalam DAS Ratah. Hasil penelitian menggunakan metode Environmental DNA (E-DNA) tiga tahun lalu mengidentifikasi gen satwa lain yang dilindungi di sungai-sungai tersebut, termasuk di sekitar Nyaribungan. Tak hanya badak, hutan di sekitar Kantong 1 juga merupakan rumah bagi berang-berang, beruang, kucing hutan, monyet ekor panjang, beruk, dan bekantan. Hingga tiga tahun lalu, warga di sekitar Nyaribungan juga masih bisa melihat setidaknya dua pesut mahakam (Orcaella brevirostris) melintas di Sungai Ratah.
Tim kolaborasi Koran Tempo dan Betahita.id telah menyampaikan permohonan wawancara kepada Menteri Siti Nurbaya Bakar sejak 8 Juli lalu. Dia menugasi Ruandha A. Sugardiman, yang kala itu menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), untuk menjawab. Lewat jawaban tertulis, Ruandha mengatakan rencana perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan tidak dilakukan dalam rangka menghapus kawasan hutan di Kalimantan Timur. Usulan perubahan kawasan itu, kata dia, merupakan upaya harmonisasi dengan RTRW Provinsi Kalimantan Timur.
Menurut Ruandha, Tim Terpadu yang mengevaluasi usulan tersebut telah menyusun metodologi penelitian dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan kelembagaan. Tim Terpadu juga akan melaksanakan uji konsistensi yang melibatkan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemegang perizinan berusaha. "Perubahan nanti ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu," demikian ditulis Ruandha.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Tim Laporan Khusus Koran Tempo
Penanggung jawab: Jajang Jamaludin | Kepala proyek: Agoeng Wijaya | Koordinator kolaborasi: Avit Hidayat | Penulis & penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Avit Hidayat, Andi Adam Faturrahman (Tempo), Fachri Hamzah (Padang), Harry Siswoyo (Bengkulu), Sapri Maulana (Samarinda), Aryo Bhawono, Raden Aryo W. (Betahita.id) | Editor: Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq, Suseno, Reza Maulana | Analis spasial: Adhitya Adhyaksa, Andhika Younastya (Auriga) | Bahasa: Suhud, Tasha Agrippina, Sekar Septiandari, Ogi Raditya | Periset foto: Ijar Karim, Bintari Rahmanita