SUATU hari di Manhattan, New York, Oktober 1984. Seorang wanita, 32 tahun, ber-stocking, berkaca mata, digandeng seorang laki-laki menyusuri trotoar. Di siang bolong tu, tentunya, mereka tak lagi bermesraan, apalagi tangan si wanita terborgol. Dan orang-oran pun kaget. Dialah Sydney Biddle Barrows, anggota kelompok sosial terhormat dengan kode Myf, artinya kelompok ini adalah para keturunan keluarga Pilgrims imigran bangsawan dari Inggris yang mendarat di benua baru pada tahun 1620 dengan kapal bernama Mayflower. Barrows dituduh, dengan nama samaran Sheila Devin, ia melakukan pekerjaan sebagai seorang germo yang mengatur sejumlah cewek cantik dan pintar -- dan memang itulah syarat masuk jaringan pelacuran dia. Langganan Devin memang orang-orang penting. Para eksekutif perusahaan besar, diplomat di PBB, para syekh Arab pokoknya, orang-orang terhormat lagi kaya. Bayangkan saja, seorang langganan harus membayar US$ 2.000 untuk kencan dengan seorang cewek Devin, dan itu hanya untuk semalam. Tapi pihak polisi tak menemukan bukti-bukti kuat. Akhirnya ia cuma didenda, US$ 5.000. Tak jelas adakah usahanya -- resminya bernama Cachet Escort Service, sebuah biro yang menyediakan cewek untuk teman kencan -- berlanjut ataukah bubar. Tapi germo terhormat lagi pintar ini tetap saja bisa mencetak uang. Ia menuliskan semua pengalamannya sebagai germo dan buku itu terbit belum lama ini, berjudul Mayflower Madam. * * * AKU lahir pada 14 Januari 1952 di Long Branch, New Jersey. Pada usia 4 tahun, Ayah meninggalkan kami untuk nikah dengan seorang karyawati kantornya. Waktu itu, tentu, aku tak tahu persis apa yang terjadi. Sambil menggendong adik, Ibu menarik aku, dan bilang bahwa Ayah tak akan bersama kami lagi untuk seterusnya. Ia tampaknya begitu terpukul, hingga dilarangnya siapa pun, di rumah kami, berbicara tentang perceraian. Ayah adalah idola dan pujaanku. Aku marah kepada Ibu karena ketakhadiran Ayah. Sebenarnya dalam hati, aku marah kepada Ayah. Tapi karena yang ada hanya Ibu, ya, aku marah kepadanya. Untuk waktu tiga tahun kemudian, sekali atau dua kali sebulan Ayah mengunjungi kami, menemuiku dan adikku, Andrew. Ketika kunjungan Ayah makin jarang, waktu itu aku 7-8 tahun, aku mulai merasakan derita sebenarnya. Aku lebih banyak menarik diri dari pergaulan, dan hanya berteman dengan buku-buku. Di sekolah, aku merasa tak seperti teman-teman yang lain, yang mempunyai Ayah dan Ibu di rumah. Keuangan ibuku mulai buruk, dan jadilah aku anak manis yang selalu cemberut dan sulit. Sampai pada usia sembilan tahun, kami masih tinggal di New Jersey yang nyaman. Tapi, kemudian, Ibu memutuskan kami pindah ke rumah Nenek, di Rumson, yang tak kusukai. Ini sebenarnya bukan kemauan Ibu, tapi kemauan orangtua dia, ya, nenekku itu. Maka, ketika tiba saat aku masuk sekolah menengah, aku senang terbebas dari Rumson. Aku memilih sebuah sekolah kecil bernama Stoneleigh, di Greenfield, Massachussetts. Boleh dikata, Stoneleigh adalah sebuah berkah. Berada jauh dari Ibu melegakan hatiku -- dan, tentunya, juga hati Ibu. Berakhir sudah masa ketika aku suka menyendiri. Kini aku punya sekelompok sahabat. Tapi, ketika tiba saat aku masuk perguruan tinggi, Ayah datang dan mengatakan bahwa biaya untukku telah habis buat membayar sekolah di Stoneleigh itu. "Saya tahu, di zaman ini cewek pun banyak yang masuk perguruan tinggi," katanya. "Tapi, saya pikir, itu tidaklah perlu benar. Kamu cantik. Kamu bisa cepat menikah, dan seorang suami akan menanggung hidupmu. Tapi bila engkau tetap ingin melanjutkan sekolah, bekerjalah dan biayai sendirilah kuliahmu." Wah, busyet, baru sekarang ia berbicara begitu. Aku marah. Ternyata, Ayah tak begitu memikirkanku. * * * AKHIRNYA, dengan uang simpanan yang kukumpulkan dari bekerja di kantor Ayah sebagai resepsionis, aku masuk Fashion Institute of Technology di New York. Pelajaran yang kupilih: tekstil, menyulam, periklanan, pemasaran, ilmu dagang eceran, dan sejarah seni. Untuk membiayai kuliah, aku bekerja paruh waktu di perusahaan garmen. Lulus dengan nilai terbaik, memperoleh hadiah, dan di samping itu aku pun diterima mengikuti latihan di Abraham & Straus, sebuah toko serba ada paling terkenal di New York. Toko besar ini sungguh menyenangkanku. Kemudian aku bekerja di Cutting Edge, sebuah biro usaha kecil di Manhattan yang melayani butik-butik swasta di seluruh negeri. Tugasku berurusan dengan asesori. Sebagai orang yang suka kerja keras, perusahaan menilai kerjaku baik. Sampailah pada suatu hari. Carmela, bos, memanggilku dan menyuruh memasarkan ikat pinggang. Menurut pendapatku, pilihan Bos buruk. Dan karena itulah aku dihadapkan pada dilema: tak mengerjakan perintah, menyalahi aturan tapi memasarkan ikat pinggang itu, tentu, akan menurunkan reputasiku. "Baiklah, Anda boleh saja memberi perintah atas nama Anda," kataku. "Tapi saya tak akan mengerjakannya." "Kalau begitu, kamu boleh angkat kaki," jawabnya dingin. "Saya khawatir, tak akan bisa bekerja sama dengan orang macam kamu." Maka, aku pun menganggur. Repotnya, meski tanggung jawabku besar di Cutting Edge, dan kerjaku dinilai baik, upahku tiap minggu tak lebih dari US$ 174,25. Itu sebabnya aku tak punya simpanan sepeser pun. Terpaksa aku kerja serabutan di sana-sini -- dari sebagai penerima telepon sampai tukang mengkliping koran. Ketika inilah aku berkenalan dengan Lucy, cewek bernasib sepertiku. Dan karena kami pun sama-sama punya banyak waktu luang, akhirnya kami begitu akrab. Suatu sore, aku mengunjungi Lucy di apartemennya. Eh, ia sedang membuka bungkusan sebuah stereo set, yang mestinya baru keluar dari toko. "Lho, Lucy, kamu peroleh dari mana ini?" tanyaku. "Tentu, bukan dari tunjangan pengangguranmu bukan?" Tak ada jawaban. "Atau, kamu menemukan barang jatuh dari sebuah truk, atau bagaimana?" Lucy memandangku dengan ragu-ragu. Akhirnya, hampir berbisik, katanya, "Saya memperoleh 50 dolar semalam dari kerja menjawab telepon di escort service." "Jangan ngibul," sahutku. "Perusahaan apa itu?" "Wah, susah dijelaskan. Saya duduk di kantor dan menjawab panggilan telepon. Para lelakilah yang menelepon, dan setelah itu kami mengirimkan cewek untuk menemani penelepon itu." "O, begitu. Apakah cewek-cewek itu duduk mengitarimu di kantor itu, sampai ada panggilan telepon?" "Tidak," jawab Lucy. "Setelah ada permintaan lewat telepon, saya memilih cewek yang mana yang kira-kira cocok dengan si penelepon itu. Lalu, saya telepon cewek itu di rumahnya, agar dia menemui si penelepon di sebuah hotel." "Berapa cewek itu dibayar?" "Langganan lelaki harus membayar 125 dolar per jam, sekitar separuhnya untuk si cewek yang menemani." Saya berpikir sebentar sebelum menanyakan ini, "Apakah cewek-cewek itu tidur dengan para penelepon ?" "Hemm, Sydney, untuk 125 dolar sejam, kamu pikir mereka cuma ngobrol ke sana ke mari?" Saya terdiam. "Dan kamu sepenuhnya hanya menjawab telepon, bukan?" tanyaku kemudian. "Ya, begitulah." "Dan kamu memperoleh 50 dolar semalam?" "Ada juga tambahan tak resmi." "Wah, menarik juga," kataku. "Jika mereka masih membutuhkan tenaga, aku pun mau." * * * DUA minggu kemudian Lucy mengebel aku, dan katanya, "Ingat tempat yang kutunjukkan tempo hari? Salah seorang penerima teleponnya keluar. Kamu ingin mengisi lowongan ini?" Aku berpikir sejenak. "Kamu yakin pekerjaan ini aman? Saya tak akan mendapat kesulitan?" tanyaku. "Saya tak ingin ditangkap polisi." "Eddie sangat hati-hati. Executive Escorts telah berjalan bertahun-tahun tanpa masalah," jawabnya meyakinkanku. Maka, aku pun menjadi penerima telepon di Executive Escorts. Eddie memerintahkan Lucy mengajariku sistem kerja di situ. Dalam bayanganku, wanita-wanita panggilan di New York itu luwes, dingin, canggih, dan mungkin sedikit kasar. Tapi, cewek-cewek di executive escorts lain. Bila saya bertemu mereka tak di tempat ini, pasti saya tak akan mengira mereka suka menemani lelaki di malam hari. Mereka tergolong cantik, dan sehari-hari dikenal sebagai warga baik-baik. Tak seorang pun tampak murahan, atau norak. Bahkan, banyak di antara cewek-cewek itu berpendidikan tinggi, dan sebagian besar punya pekerjaan tetap. Tapi mereka, hampir semuanya, membenci bos mereka, Eddie. Bisa dimaklumi. Soalnya, Eddie mengharuskan mereka siap kerja tujuh malam dalam seminggu. Ini berarti, mereka kehilangan kesempatan bermasyarakat. Maka, pada suatu kali, beberapa cewek datang lalu membeberkan sejumlah alasan mengapa pada beberapa malam lalu mereka tak bisa memenuhi panggilan. Tiga bulan bekerja di sini saya mendengar seorang cewek kematian neneknya dua atau tiga kali. Lain daripada itu, rupanya, Eddie sama sekali tak mempercayai mereka. Sehabis kencan, di malam itu pula, jam berapa pun, mereka harus ke kantor menyetorkan uang. Itu tak cuma berlaku bagi cewek baru. Bahkan mereka yang sudah bekerja dua tahun, bahkan pada tengah malam ketika badai salju bertiup, Eddie tak akan membiarkan uangnya disimpan sementara oleh mereka. Suatu malam, ketika Eddie sedang keluar, aku berbincang-bincang dengan cewek-cewek itu, mendengarkan kisah mereka. Ternyata mereka menyukai pekerjaan ini. Satu-satunya yang membuat mereka tak nyaman adalah Eddie. Dari percakapan ini aku jadi tahu: pada hakikatnya bisnis ini menjual seks, tapi seks tak selalu menjadi bagian terpenting. Mereka, para cewek itu, bukan sekadar teman tidur. Mereka juga menjadi teman yang mendengarkan keluh-kesah, menjadi sahabat tepercaya yang menyimpan rahasia-rahasia pekerjaan langganan, bahkan, menjadi semacam penasihat urusan bisnis. Akhirnya aku bisa melihat, di balik sukses Eddie, ia sebenarnya telah memperkosa aturan bisnis yang baik. Misalnya dengan memaksa para cewek bekerja tujuh malam, ia menanamkan dendam di hati mereka, dan mendorong mereka mencari-cari alasan bila harus absen. Tanpa membatasi tingkah laku para langganan, ia membuat cewek-ceweknya merasa sebagai budak. Dengan mengharuskan para cewek menyetor uang begitu selesai bertugas, ia menciptakan iklim ketidakpercayaan. Jelas, sesungguhnya, Eddie telah menggali kebangkrutannya sendiri. Ini menggusarkanku, dan mendorongku untuk mengubah kegusaran itu menjadi saingan Eddie: Apa yang bisa kulakukan bila aku di tempat Eddie? Bagaimana aku akan memperlakukan para cewek itu? Aku tahu, aku bisa menjalankan bisnis ini dengan kebijaksanaan yang sepenuhnya berlawanan dengan aturan Eddie. Maka, cita-cita menjalankan sendiri bisnis seperti ini dengan aturan yang lebih manusiawi -- muncul dalam benakku. Tak lama kemudian, bersama Lucy, kami memutuskan untuk mencobanya. * * * KUKIRA, tak semua orang tahu bahwa di Manhattan saja beroperasi sekitar 50 rumah bordil dan sejenisnya. Sebagian besar berupa usaha kecil hanya menyediakan tak lebih dari 12 perempuan, di bangunan yang jauh dari mewah. Memang, orang enggan menanam modal besar dalam bisnis seks ini, yang bisa dengan mudah ditutup polisi setiap saat. Maka, ada bordil yang kamarnya sedikit lebih baik daripada sekadar menyediakan seprai di lantai, dengan penyekat kamar ala kadarnya. Dan perusahaan escort agent pun dijalankan dengan seenaknya. Aku yakin, usaha ini bisa dikelola dengan lebih baik. Dorongan mendirikan escort agent yang memberikan pelayanan sebaik mungkin inilah yang telah membuat aku bersemangat. Aku tahu, setelah bekerja beberapa lama pada Eddie, banyak sekali pengusaha yang sopan dan punya reputasi baik membutuhkan biro yang menyediakan teman kencan. Merekalah yang jadi sasaranku. Dengan cara yang tepat dan sedikit nasib baik, mengapa pula aku tak akan berhasil. Aku tak mengalami konflik moral. Sebab, pada pikirku, ini sekadar pelayanan memenuhi kebutuhan manusia yang paling tua. Dan aku melihat faktor ekonomi, dalam usaha ini, yang belum digarap dengan baik. Tentu, jangan mencampurkan antara etika dan sikap moral yang umum diterima. April 1979, Lucy dan aku menemukan nama untuk escort agent yang segera kami dirikan, yakni Cachet. Kami pun berkompanyon, lalu bekerja. Resminya, sebagai badan usaha, kami tak mempunyai karyawati. Para cewek bekerja sebagai orang merdeka, dan kami sebagai agen hanya menerima uang komisi. Dengan cara begini terhindarlah kami dari keharusan membuat daftar gaji, perhitungan pajak, dan tak perlu ada administrasi yang memusingkan kepala. Aku berterima kasih kepada Eddie, yang telah memberikan teladan yang tak perlu ditiru. Maka, kami hanya meminta para bidadari Cachet bekerja tiga malam dalam seminggu. Perkara ada yang mau lebih dari itu, silakan. Dan tiga hari kerja itu mereka sendirilah yang menentukan. Soal pembayaran kami tentukan: dilakukan setelah kencan selesai. Pada pendapatku, minta bayaran lebih dulu adalah pertanda ketidakpercayaan, dan merupakan awal yang tak menyenangkan. Di samping itu, sungguh memalukan bagi seorang cewek, begitu sampai di hotel atau apartemen langsung menadahkan tangan. Kami pun membatasi lingkup bisnis ini hanya di Manhattan. Lebih enak rasanya bila cewek-cewek kami bekerja di tempat-tempat yang sudah kami kenal. Soalnya, jangan-jangan mereka menghadapi persoalan. Dan Manhattan, tentu saja, sudah kami kenal dengan baik. Selain itu, tak semua daerah mempunyai hotel kelas satu. Kami tak ingin mengirimkan bidadari kami ke tempat yang tidak menyenangkan. Pertimbangan terakhir, tak begitu gampang mencari kendaraan sewaktu-waktu untuk menuju daerah luar Manhattan. Sudah kami niatkan menjalankan bisnis ini dengan jujur, walaupun bisa sedikit merugikan. Umpamanya bila seorang penelepon menanyakan apakah cewek yang kami tawarkan cantik. Bila tidak, kami menjawab, "Memang tidak. Tapi dia sungguh menarik, dan memiliki mata yang indah." Bila ada yang minta cewek pirang, tinggi, padat, dan yang seperti itu tak ada pada kami, kami jawab, "Sayang, sekarang ini belum ada yang memenuhi permintaan Anda. Yang ada baru Caroline, yang rambut pirangnya memang mengagumkan. Dan bila Anda mencari yang tinggi, Shawna memiliki rambut merah yang indah." Tapi jujur sepenuhnya memang tak mungkin. Meski aku dan Lucy bangga dengan etik bisnis yang kami praktekkan, kami tetap tak ingin menjalankan usaha ini atas nama kami. Maka, Lucy pun bernama Linda MacMillan, dan aku Sheila Devin. Langkah pertama Lucy yang sukses adalah, dia berhasil meyakinkan pihak bank bahwa usaha keagenan kami sering kali harus memproses credit card langsung di kantor para klien. Untuk itu bank meminjamkan alat memproses credit card ukuran mini -- yang bisa dimasukkan tas tangan, untuk dibawa-bawa para bidadari Cachet. Cachet tutup di hari Sabtu, karena Lucy dan aku butuh waktu juga untuk urusan-urusan keluarga dan masyarakat. Di samping itu, mengambil pengalaman dari tempat Eddie, pada hari itu dering telepon sepi. Para pengusaha pada bermalam Minggu, dan para diplomat biasanya menghadiri pertemuan ini dan itu. Untuk mencari cewek kami pasang iklan di media besar dan terhormat. Yakni surat kabar International Herald Tribune dan majalah Show Business. Betapa aku dan Lucy, waktu itu, merasa takut, canggung, dan bodoh saat mewawancarai para pelamar, pada hari-hari pertama. Misalnya bila seorang pelamar menelepon kami, langsung saja kukatakan bahwa mereka memang diharapkan tidur dengan para langganan. "Kami ingin agar Anda mengerti, dalam bisnis ini seks adalah soal biasa," begitu biasanya kami menjelaskan. Sungguh naif. Sebenarnya, escort service adalah bisnis yang legal. Kenyataannya, polisi bisa saja sewaktu-waktu merazianya, dan bila ada bukti bisnis ini berbau pelacuran, pihak berwajib lalu menutupnya. Karena itu, kami selalu menegaskan kepada para langganan bahwa uang yang kami pungut bukan atas nama yang lain, melainkan atas nama waktu yang diberikan oleh bidadari-bidadari kami untuk menemani mereka. Dengan kata lain, mereka tetap harus membayar dalam jumlah yang sama, apakah mereka sekadar bercakap-cakap atau lebih daripada itu. * * * AKU memang sangat selektif menerima para cewek yang hendak bekerja di Cachet. Sampai-sampai seorang calon yang kuwawancarai nyeletuk bahwa ukuran menarik bagiku sangat tinggi. Pun aku selalu menekankan agar mereka tampak seperti seorang eksekutif bisnis. Rias wajah yang terlalu tebal, kaus kaki murahan, atau dandanan apa saja yang menjadikan mereka tampak seperti wanita panggilan umumnya, kutegaskan agar dihindarkan. Bahkan soal pakaian dalam, kumintakan perhatian juga. Kutang, celana dalam, dan sabuk garter supaya diusahakan serasi. Hal ini, kemudian, jadi merk dagang kami. Aku anjurkan para bidadariku tak mengenakan pakaian dalam warna putih. Sebab, itu memberi kesan mereka belum dewasa. Warna kusam -- cokelat keabu-abuan, atau abu-abu kekuning-kuningan -- agar dihindarkan pula. Warna seperti itu memberi kesan tolol pada si pemakai. Dan pakaian dalam hitam hanya cocok bagi cewek yang canggih atau eksotis. Sebagian besar cewek Cachet kuanjurkan memakai saja pakaian dalam warna pastel, seperti biru, ungu muda, merah muda, atau jingga. Boleh juga yang warna-warni, yakni warna-warna pelangi dengan dasar putih. Juga kuanjurkan mereka selalu mengenakan stocking, dan lebih baik yang halus dan transparan, bahkan ketika musim panas. Anak-anak yang baru selalu bertanya, begitu perlukah kaus kaki panjang itu di musim panas. Kukatakan lagi, lagi dan lagi, bahkan bagi kaki yang mulus, kaus itu penting. "Seorang lady," kataku dengan nada menggurui, "selalu mengenakan stocking, bagaimanapun panasnya hari." Karena aku tak suka ada aturan tanpa alasan, kujelaskanlah soal kode etik berpakaian itu. "Ingat," kataku, "kalian adalah impian bagi mereka. Bayangkanlah, bidadari kelas tinggi itu seperti apa. Begitulah yang diharapkan oleh para langganan kita. Jangan mendatangi mereka dengan gaya dan pakaian sebagaimana para wanita di kantor mereka sehari-hari." Untuk menambah citra seorang wanita, kuanjurkan pula mereka memoles kuku jari kaki. Untuk kuku jari tangan, aku tak begitu peduli. Soalnya, semua perawatan itu tentulah mahal dan banyak menyita waktu. Saya hanya minta, bila mereka memang memperhatikan soal kecil seperti kuku, harap dilakukan dengan sebaik-baiknya. Hal yang sulit menyangkut soal parfum. Sebagian pria memang menyukainya, tapi yang telah beristri biasanya khawatir bila bau parfum itu terbawa sampai ke rumah. Dan kuingatkan kepada semua bidadariku, jangan sekali-kali menyemprotkan parfum ketika hendak meninggalkan hotel. "Mungkin saja kalian meninggalkan pertemuan itu tengah malam," kataku. "Nah, siapa, sih, pada pukul dua belas malam merasa perlu berparfum?" Ini peringatan agar mereka terhindar dari perhatian satpam hotel. * * * SEORANG cewek Cachet, sehabis berkencan dengan seorang langganan baru, kami minta membuat gambaran tentang teman kencannya itu. Data lelaki itu kami simpan dalam buku, termasuk yang hanya pernah sekali berkencan. Nama, alamat, nomor telepon. Juga dari mana ia tahu Cachet, nomor credit card-nya, atau nomor SlM-nya. Kami juga mencatat hal-hal yang lebih pribadi: usia, hobi, profesi atau bisnis mereka, gaya bicaranya, sedikit gambaran watak mereka, dan tipe cewek yang disukainya. Tapi, tak ada catatan tentang peri laku seksual para langganan -- seperti dikatakan oleh media massa, setelah Cachet ditutup. Mungkin dalam buku itu kami cantumkan kata easy. Dan itu hanya menggambarkan bahwa hubungan intim dia ternyata berakhir lebih cepat. Empat bulan pertama kami harus prihatin. Hanya dengan 12 bidadari, tentu saja, Cachet bukanlah ancaman buat, misalnya, General Motor. Tapi, kemudian, di pekan-pekan yang baik, baik Lucy maupun aku bisa mengantungi tak kurang dari US$ 500 suatu jumlah yang tak terbayangkan bisa kami peroleh, dulu. Rupanya, aturan-aturan kami yang ketat mulai menampakkan hasil. Dua orang penerima telepon pun heran, begitu banyak langganan yang minta teman kencan ke Cachet, lebih dari di tempat mereka bekerja sebelumnya. Bahkan, tak jarang langganan memesan cewek favorit mereka seminggu sebelum mereka tiba di New York. Para bidadari kami biasanya bekerja tak lebih dari setahun. Tapi seorang Claudette, yang tampaknya sangat berpengalaman, ikut Cachet selama beberapa tahun. Suatu saat kutanyakan langsung padanya hal ini. "Sheila," jawabnya, "yang pertama kali kupelajari adalah bahwa seorang wanita panggilan haruslah selalu berpikir tentang uang. Sebab, begitu ia tak lagi memikirkan uang, dua kemungkinan akan terjadi. Pertama, ia akan terlibat hubungan cinta dengan seorang langganan. Kedua, ia menjadi bosan dengan pekerjaannya. Dua-duanya bukan sesuatu yang baik buat wanita panggilan. Dengan hanya berpikir mengenai uang, pekerjaan ini akan berjalan dengan sendirinya." * * * PADA akhir tahun pertama, Lucy mulai berpikir bahwa menjalankan sebuah escort service sebenarnya bukanlah cita-citanya. Ia, juga aku, kemudian tahu, mengelola usaha sendiri benar-benar menyita waktu. Tapi bila kemudian saya menikmati pertumbuhan susah payah ini, bagi Lucy, rupanya, tidak. Akhirnya, ia memilih berkecimpung dalam dunia seni yang, katanya, lebih memberikan kebahagiaan. Mula-mula, saya agak cemas juga harus menjalankan usaha ini sendirian. Di sisi lain, aku senang. Sebab, selama ini ada gagasan-gagasanku yang masih tersimpan karena aku takut mengeluarkannya jangan-jangan Lucy tak setuju. Yang pertama-tama kulakukan setelah Lucy mundur adalah mencari kantor, hingga aku dapat merekrut lebih banyak penerima telepon. Lain daripada itu, sebenarnya, banyak cewek yang tak bisa menunggu panggilan telepon di apartemennya. Entah karena di situ ada pacarnya, pembantunya, atau seorang yang lain. Dengan adanya kantor, mereka bisa menunggu panggilan dengan lebih tenang. Akhirnya, dari agen perumahan kudapatkan sebuah kantor yang nyaman, tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Sewanya US$ 700 sebulan. Telah kuperhitungkan, dengan banyaknya cewek keluar-masuk kantor, tentulah suasana akan demikian sibuk. Untuk tak menimbulkan keributan sebentar-sebentar ada yang memencet bel -- kepada semua cewek kami berikan kunci duplikat. Dan sebuah catatan kusertakan. "Bila ada penghuni kompleks ini, atau orang yang akan menghuni, kebetulan berdiri di dekat kantor, jangan menggunakan kunci. Sungguh janggal bila ketahuan, sepuluh atau dua puluh orang yang bukan penghuni apartemen ini memiliki kunci untuk pintu yang sama." Mereka pun kuminta turun dari taksi di depan gedung sebelum atau sesudah yang kami tempati, agar tak menimbulkan perhatian. Mereka pun kuminta melepaskan sepatu begitu memasuki pintu depan, agar tak menimbulkan gaung di bangunan yang kami sewa. * * * * BUKAN sekali-dua terjadi, cewek baru begitu yakin akan janji-janji pria yang mengencaninya. Rupanya, mereka sungguh menikmati malam yang indah, lalu si pria berjanji akan menelepon besok untuk makan malam bersama. Maka, cewek itu, di malam berikut, pasti merecokiku. "Apakah ada telepon dari Mister Edward? Ia janji makan malam denganku malam ini." Sungguh tak enak menyaksikan betapa gembiranya ia menunggu janji, yang, aku tahu pasti, cuma janji gombal. Terpaksa kujawab, "Oh, tentu ia menyukaimu. Tapi, percayalah, dia tak akan menelepon kita lagi. Jangan kecewa. Pria-pria yang berhubungan dengan kami, setidaknya, adalah orang-orang seperti yang kaudambakan sehari-hari. Awaslah. Ada tiga potong kata gombal yang biasa diucapkan lelaki bila habis tidur denganmu: Saya akan meneleponmu." Sebenarnya, lelaki selalu menginginkan yang baru. Di samping itu, berhubungan tetap dengan seorang cewek akan memakan ongkos lebih besar karena, dengan begitu, kemudian, emosi ikut campur. Dan bila Mister Edward benar-benar menelepon kami, pasti ia tak lagi menanyakan apakah Amy ada. Maka, terpaksa kukatakan kepada Amy, memang Edward menelepon, memberitahukan bahwa malam ini ia sibuk. Hanya sekali aku menemukan kisah cinta yang sebenarnya. Suatu sore Camille mengatakan ia minta cuti seminggu. "Saya akan menemani pria yang kencan denganku kemarin malam," katanya. "Saya ingin berterus terang kepada Anda. Ketika saya menemuinya di hotel, kami cuma berpandangan sekejap, lalu masing-masing telah jatuh cinta." Benar, dua tahun Camille hidup bersama dengan pria itu. Dan selama itu ia tetap sebagai bidadari Cachet dengan izin pria tersebut. Bila kami sukses sejak awal, memang ada usaha khusus -- atas usul Lucy. Yakni memasarkan usaha kami di PBB. Di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sejumlah diplomat, pegawai tinggi silih berganti mengunjungi rapat-rapat. Tiap tahun PBB mengeluarkan daftar nama para peserta. Dari daftar itu, sungguh mudah mengetahui siapa yang sendirian, siapa yang bersama keluarga. Kami mengirimkan brosur kepada mereka yang sendirian itu, dan hasilnya sungguh memuaskan. Suatu saat aku punya gagasan untuk mengembangkan dua cara pemasaran. Pertama, menyediakan cewek-cewek yang kusebut Finesse. Yakni mereka yang kurang cantik dibandingkan kriteria Cachet rata-rata, dan kepada mereka kutarik komisi di bawah yang standar. Kedua, aku pun menyiapkan bidadari-bidadari yang kukategorikan "bidadari C". Mereka ini cantik luar biasa, dan tarifnya pun 25% lebih mahal. Soalnya, dua atau tiga kali dalam setahun kami selalu menaikkan harga -- hingga pada 1984 tarif Cachet adalah US$ 175 per jam -- namun tak pernah terdengar keluhan dari para langganan. Sebaliknya, justru datang permintaan adakah kami mempunyai cewek yang lebih mahal. Seorang tergolong "bidadari C" bila ia memenuhi lima syarat: tinggi, cantik, pirang, berusia di bawah 25, dan anatomi tubuhnya serasi. Salah seorang di antara mereka adalah Suzie. Ia berambut pirang, punya mata hijau yang jernih, dada yang padat, dan tubuh atletis. Ia pun bangga dengan bagian belakang tubuhnya yang, katanya, terbesar di seluruh Amerika Serikat. Suzie adalah putri seorang ratu kecantikan. Dan ibunyalah yang mendorong dia agar bekerja di escort service. Banyak langganan kami yang jatuh cinta kepada Suzie. Bidadariku yang satu ini memang bukan cuma hebat, tapi juga manis dan pintar bergaul. Sekali, ia menimbulkan masalah. Seorang langganan yang jatuh cinta kepadanya menghabiskan waktu akhir pekannya bersama Suzie. Rupanya, istri langganan itu tak mempercavai alasan kepergian suaminya. Eh, secara tak sengaja ia menemukan nomor telepon pada selembar kuitansi. Maka, berderinglah telepon kami di tengah malam, dan peneleponnya adalah seorang wanita yang ingin bicara dengan suaminya. Meski kasus seperti itu kemudian tak lagi terjadi, kepada stafku kuajarkan bagaimana menjawab telepon seperti itu. Katakan saja bahwa kami adalah agen tenaga kerja musiman. Tak terpikir olehku bagaimana seandainya penelepon itu lalu bertanya: kok agen tenaga kerja masih menjawab telepon pada pukul sebelas di malam Minggu. Mungkin memang begitulah alam membagi-bagi rezeki. Menurut pengamatanku, tak seorang pun dari "bidadari C"-ku yang memiliki kecerdasan dan sikap setinggi kecantikan fisik mereka. Dulu aku tak percaya bahwa kecantikan dan kecerdasan tak bisa percaya bahwa kecantikan dan kecerdasan tak bisa bersatu. Tampaknya, pepatah kuno itu memang benar. Tina, adalah sebuah contoh. Cewek ini selalu menolak memakai kontrasepsi. Ia, katanya, melakukan pencegahan kehamilan lewat metode bintang-bintang. Maka, heranlah Tina, ketika suatu hari ia hamil -- satu-satunya kasus kehamilan yang pernah terjadi pada bidadari-bidadari Cachet. Kami, aku dan Tina, ngobrol tentang perutnya yang mulai membesar. Katanya, ia ingin melahirkan bayi yang dikandungnya. Aku, terus terang, agak cemas. Dan tahulah aku, beberapa minggu sebelumnya ia berkencan dengan dua lelaki Negro. Maka, kukatakan apa nanti kata pacarnya, bila ternyata bayi yang lahir berkulit hitam. "Oh, tidak," jawabnya. "Bapak bayi ini benar-benar pacarku itu." "Oh, begitu?" sahutku. "Tapi bagaimana kamu tahu itu ?" "Sangat mudah. Saya tak pernah mencapai klimaks bila dengan para langganan." * * * LANGGANAN kami datang dari berbagai profesi dan berbagai bidang bisnis. Dari pengusaha bunga sampai ikan laut, dari pemilik pabrik mainan anak-anak sampai bos klub malam. Dari pimpinan biro pemasok barang dan komputer sampai pedagang alat-alat kedokteran dan senjata. Dari dokter, pengacara, bankir, sampai pialang dan konsultan. Di antara mereka adalah beberapa anggota sebuah perusahaan besar yang hanya datang di New York sekali sebulan. Bahkan ada pula seorang hakim, dan dua atau tiga pejabat tinggi penegak hukum. Majalah Newsweek menulis bahwa langganan kami "datang dari hampir semua bidang penting, kecuali dari gereja". Sebuah dugaan yang bagus, tapi tidak tepat. Kami pun suka ditelepon oleh beberapa pendeta. Sedikit kesulitan datang dari para langganan Arab. Mereka menuntut agar bidadari-bidadari kami berpakaian tertutup. Dan untuk mendapatkan pakaian seperti itu, di Manhattan, bukan soal gampang. Banyak lelaki Arab rupanya tak enak bila cewek kencan mereka berpakaian dengan leher, bahu, atau lengan terbuka. Juga mereka tak suka bila ceweknya berpakaian begitu seksi. Di antara langganan kami pun ada orang-orang ternama. Kepercayaan mereka terhadap kami untuk menyembunyikan identitasnya tentulah tak sepantasnya kukhianati. Ada pula sejumlah tokoh penting di bidang masing-masing. Di antaranya para ketua dan presiden perusahaan besar, para investor bank, direktur perusahaan adpertensi dan rumah makan. Kami sungguh bangga dengan mereka. Untuk itu ada sebuah papan kliping di kantor, tempat menempelkan guntingan surat kabar dan majalah yang memberitakan kegiatan dan proyek-proyek mereka -- kegiatan dan proyek yang mereka tangani dengan pakaian lengkap, tentu. Bukannya jarang di antara langganan kami diprofilkan di halaman depan New York Times atau Wall Street Journal. Dan bila dalam tulisan itu diceritakan pula bisnis yang segera mereka tangani, setidaknya seorang dari cewek kami telah mendengar urusan itu sebelumnya dari orang pertama -- maka, setidaknya seorang di antara kami sungguh merasa bangga. * * * BlDADARI-bidadariku yang masih sendiri tak jarang bertanya-tanya tentang ini. "Bagaimana bila ternyata pria itu punya kelainan seks?" Umumnya mereka takut bila harus melayani pria yang suka mengikat mitra kencannya di tempat tidur dan minta pelayanan yang aneh-aneh. Dengan sabar berkali-kali kuterangkan bahwa orang-orang seperti itu jarang yang minta pelayanan dari escort agency. Sebab, mereka tentu akan berpikir pula bahwa cewek-cewek kami belum tentu paham maksud mereka. Mereka biasanya menghubungi escort agency khusus. Tentu, bila ada di antara mereka yang menelepon kami, staf penerima telepon Cachet siap menolaknya. Orang-orang yang berniat jahat juga tak bakal menghubungi kami, yang selalu minta nama, alamat, dan nomor telepon yang jelas. Hingga Cachet ditutup, tak satu kasus penganiayaan atau yang lebih dari itu terjadi pada bidadari-bidadariku. Sebagian besar langganan kami berusia antara 28 dan 50. Hanya beberapa yang kurang atau lebih dari usia tersebut. Fred, misalnya, adalah seorang pensiunan berusia 70-an. Sekali enam minggu ia terbang dari Florida ke New York untuk mengontrol perusahaan perumahannya. Cewek-cewekku menyukai lelaki tua ini. Ia selalu membawa teman kencannya ke Four Season, rumah makan terkenal, dan menonton pertunjukan di Broadway. Langganan termuda kami seorang remaja, berusia belasan tahun, anak seorang bankir besar. Tiap liburan sekolah, remaja itu menginap di apartemen milik bank. Berani taruhan, tentu ia masih jejaka ketika pertama kali menelepon kami. Inilah cerita Jeannie, yang berkencan dengan anak muda itu. Setelah mereka berbincang-bincang sekitar satu setengah jam, Jeannie masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian ia muncul hanya berpakaian dalam warna hitam. Dengan rambut merahnya yang tergerai, dan kulit tubuhnya yang putih, tentulah Jeannie menyuguhkan satu pemandangan yang luar biasa. Si remaja ternyata cuma berdiri, menatap dengan bengong. Tiba-tiba wajahnya kacau. Ia menggumam, lalu lari ke kamar mandi. Lama, baru Jeannie bisa membujuknya agar keluar. Rupanya, menyaksikan pemandangan yang belum pernah dilihatnya itu, ia langsung terangsang dan langsung selesai. Ia sangat malu karenanya. Untung, Jeannie memahami sepenuhnya persoalannya. Dan malam itu juga, bidadariku itu membaptisnya sebagai lelaki dewasa. Setelah itu, remaja tersebut selalu menghubungi kami tiap liburan sekolah, dan tak ingin kencan dengan yang lain selain Jeannie. Beberapa bidadariku begitu bingung setelah berkencan dengan beberapa pria yang telah beristri. Mereka ini, tentu saja, merencanakan pula membina rumah tangga di masa depan. Maka, mereka sungguh takut melihat pengkhianatan para suami di depan mata mereka -- tanpa ingat bahwa mereka ambil bagian dalam ketidaksetiaan itu. Mereka akhirnya tiba pada pendapat, suami yang sedang mengadakan perjalanan bisnis dan berkencan dengan wanita panggilan lebih aman bagi keutuhan rumah tangga. Dibandingkan suami itu lalu terlibat affair. Urusan dengan wanita panggilan selesai begitu kencan berakhir. Tapi sebuah affair yang melibat cinta tentulah lama bergema. Saya tahu dua pria yang menghubungi kami setahu istrinya. Bahkan, pernah, kami menerima telepon dari seorang istri yang lagi hamil tua. Ia memesan seorang cewek untuk hadiah buat suaminya. Tapi ini memang kasus yang jarang. * * * TENTU, kami pun menghadapi beberapa langganan yang sulit. Salah satunya, mereka yang kecanduan kokain. Pada 1982, kelas menengah Amerika memang kejangkitan kokain. Salah satu langganan kami suka menelepon ketika ia sedang memakai kokain. Selalu suara putus asa yang kami dengar, "Sejam lagi? Saya tak bisa menunggu. Saya ingin cewek sekarang juga." Kesulitan yang lain menyangkut soal ukuran tubuh. Bila seorang langganan dianugerahi tubuh berlebih-lebihan, cewek-cewek kami yang mungil biasanya menolak memenuhi panggilannya. Meski, sebagaimana perdebatan yang tak kunjung habis mengenai soal ukuran itu, bidadari-bidadari kami pun setuju bukan "nyanyian"-nya yang menentukan, melainkan si "penyanyi" itu sendirilah. Ada juga langganan yang minta agar cewek kami bersandiwara seperti yang mereka inginkan. Bila memang tak ada keberatan dari yang akan menjalaninya, aku pun memenuhi permintaan itu. Seorang pria suatu hari minta Melody berperan seperti seorang guru bahasa Inggris sekolah menengah. Dan ia harus marah-marah, karena pria itu tak mengerjakan PR. "Ini mengingatkan saya ketika ikut sandiwara di sekolah," tutur Melody kemudian. "Tapi sandiwara yang sangat membosankan karena ia memintaku mengulang-ulang adegan marah-marah itu hingga setidaknya dua belas kali." Keanehan yang paling eksotik yang pernah terjadi pada kami cumalah yang disebut "permainan bridge". Di sini terlibat lebih dari seorang cewek. Siapa kalah harus menanggalkan sebagian pakaiannya yang diminta oleh pemenang. Untuk ini, aku minta bayaran ekstra 50 dolar sejam -- dan sepenuhnya itu buat bidadariku. * * * DI awal 1984, Cachet menginjak tahun kelima. Aku merasa tak layak kiranya terus-menerus mengelola escort service. Berada di usia awal 30-an, mulai terpikir soal masa depan, termasuk, tentu, membina rumah tangga. Meski aku begitu mencintai pekerjaanku kini, pria yang kucintai nanti sebaiknya tak tahu bahwa wanita di sampingnya adalah pemilik sebuah escort agency. Maka, bila aku tak ingin sendirian terus, cepat atau lambat aku harus kembali pada pekerjaan yang umum diterima masyarakat. Dengan kata lain, aku harus mulai lagi hidup seperti biasanya orang baik-baik. Kuputuskan untuk tetap dalam bisnis yang sekarang hingga 1990. Dan selama itu aku harus lebih menyimpan uang daripada membelanjakannya. Sampai kini aku sangat sembrono dalam soal uang. Kubelanjakan apa saja pendapatanku, terutama pakaian, kelemahanku yang utama. Meski aku menjalankan bisnis seks, untuk diriku sendiri aku sangat konservatif. Tentu ini mengherankan banyak orang. Sebab, umumnya, orang menduga, mereka yang menyelenggarakan escort service tentulah pemeluk paham seks bebas. Sebenarnya, seks bebas memang tak kujalani, tapi aku percaya pada pilihan bebas. Bila seorang pria meneleponku, membutuhkan teman kencan, dan seorang cewek bersedia memenuhi permintaan itu, aku dengan senang hati menolong mereka agar pertemuan itu senyaman mungkin. Tapi bila itu menyangkut diriku sendiri, sungguh, pada dasarnya, aku seorang monogami dan kuno. Aku benci kebohongan. Maka, selama aku menjalani dua sisi kehidupan, selalu kutempuh jalan apa saja agar terhindar dari berbohong. Bila teman-teman berbincang-bincang tentang bisnis asesori, kuusahakan aku bisa ikut terlibat. Tapi yang kusebutkan bukannya menyangkut asesori, melainkan bisnis kencan -- tentu, tanpa menyebut-nyebut kata kencan itu sendiri. Bila ada temanku bertanya toko-toko mana sajakah yang membeli asesoriku, maka kujawab, langgananku tersebar di seantero negara. Apakah aku mengunjungi sendiri semua langganan itu? Tidak, langganan itulah yang datang sendiri ke New York, dan kami lebih banyak membicarakan segala sesuatunya lewat telepon. Aku tak berbohong, bukan? Memang, kepada sahabat yang benar-benar dekat, kukatakan terus terang kegiatanku. Tapi, setelah menimbang-nimbang cukup teliti, apakah sahabat itu tergolong orang yang suka membocorkan rahasia, atau sebaliknya. Saya punya hubungan baik dengan para wadam. Dan mereka, ternyata, penyimpan rahasia yang aman. Mereka sangat memahami kedudukanku, mungkin karena mereka juga sepertiku: hidup dalam kondisi dan situasi di luar moral masyarakat umumnya. * * * MENJELANG 1984, saya merasa begitu optimistis bahwa tahun mendatang adalah tahun terbaik bagiku. Tapi, suatu hari, datang kiriman "surat pengusiran" dari pemilik gedung. Itu berarti aku harus hadir di depan pengadilan. Ia menuduhku telah menggunakan gedung tak sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa. Ia mendakwa aku menjalankan bisnis dari ruang yang kusewa. Saya menolak semua tuduhannya. Pengacaraku mengatakan bahwa aku tak menghadapi persoalan gawat. Kecuali, katanya, pemilik gedung itu bisa membuktikan bahwa memang benar aku menjalankan suatu bisnis. Dan pemilik itu yakin bisa membuktikan tuduhannya bila diizinkan pemeriksaan di ruangan yang kusewa. Aku setuju. Kuberi dia kesempatan pada hari Senin mendatang pukul 10 pagi. Ia benar datang, melihat-lihat, lalu meninggalkan ruangan tanpa menemukan bukti secuil pun buat mendukung tuduhannya. Ini tentu membuatnya berang. Dan kemudian gilirankulah yang jadi cemas. Berharap belum terlambat, saya berbuat sesuatu. Salah seorang bapak temanku adalah pensiunan sersan, bekas wakil kepala kesatuan, yang kini bekerja menjadi semacam detektif swasta. Kutemu dia dan kujadikan sebagai konsultan. Tiba-tiba saja dalam kepalaku muncul ribuan pertanyaan. Seberapa besar perkara yang mungkin kuhadapi? Tindakan preventif apa lagi yang bisa dilakukan? Isyarat apa yang bisa dipegang bahwa sebentar lagi usaha kami ditutup? Bukti apa yang diincar oleh polisi untuk bisa menutup usaha ini? Dan bila memang kemudian usaha ini ditutup, bagaimana jalannya perkara? Saya mengumpulkan para bidadariku dan menceritakan semuanya. "Kalian bisa ditahan bila memang terbukti yang kalian lakukan adalah pelacuran. Kalian semua, dengar, tak pernah melakukan itu. Kalian juga tahu, stafku tak pernah bicara soal seks dengan para langganan. Dan kalian sendiri tak pernah bicara soal bayaran. Jadi, sebenarnya kalian tak bisa ditangkap. Meski begitu, sejak hari ini saya harap kalian semua hati-hati bekerja." Tentu datang pertanyaan bertubi-tubi dari mereka. "Benarkah tanpa berbusana sama sekali menyalahi undang-undang?" "Itu salah kaprah, itu tidak benar." "Seorang polisi yang tak mau berterus terang bahwa ia polisi tak dibenarkan melakukan penangkapan. Benarkah itu?" "Saya harapkan begitu. Tapi, tidak, polisi itu bisa menahanmu." "Bila seorang polisi pernah melakukan hubungan seks, benarkah kesaksian dia tidak sah?" "Benar, sebab dengan begitu ia pun terlibat dalam kejahatan. Tapi, ingat, ia bisa menangkapmu hanya karena kamu menjajakan seks." Dan beberapa pekan kemudian terjadilah itu. Kelly, Denise, dan Corrine tertangkap. Teman kencan mereka ternyata seorang polisi yang menyamar. Yang mengencani Denise mula-mula tampak bingung. Baru, setelah makan waktu lama, ketika telepon berdering dan seseorang berbicara dengan polisi yang menyamar itu, dengan minta maaf, ia tunjukkan kartu polisinya. Yang bersama Kelly telah telanjur mengadakan hubungan seks. Karena itu, kesaksiannya dianggap tak sah oleh hakim. Ketika tiga orang polisi yang lain menggerebek ke dalam kamar, Kelly meloncat dari tempat tidur tanpa selembar benang pun. "Hai, apa-apaan kalian ini?" teriaknya marah. "Kami menahanmu karena melakukan pelacuran," jawab salah seorang di antaranya. "Bagaimana bisa?" jerit Kelly. "Saya seorang pelacur? Jangan ngomong seenak jidat." Sementara itu, teman kencan Corrine menyaru sebagai seorang eksekutif dari Fortunoff. Untuk menyiapkan tugas-tugasnya, ia beristirahat sehari, mengumpulkan semua masalah yang telah didengarnya. Ketika berbincang-bincang dengan Corrine, tiba-tiba katanya, "Eh, istriku membenci oral sex. Apakah permintaanku itu tidak wajar?" "Wajar, itu hal biasa," jawab Corrine tanpa prasangka. "Jadi, kita bisa melakukannya sekarang?" "Tentu saja bisa." Dan ditangkaplah Corrine. Di dalam mobil, polisi yang duduk di depan berpaling ke arah Denise. "Bilang kepada Sheila Devin, Sersan Elmo Smith segera menangkapnya, dan tak lama lagi ia akan duduk di tempatmu sekarang ini." Waktu itu, tak seorang pun di antara kami tahu siapa itu Elmo Smith. Bila dibolehkan, aku pun berharap, hari ini pun tak mengenalnya. Hakim ternyata menolak semua tuduhan. Tak ada bukti baik dalam cara berpakaian maupun tingkah laku para tersangka yang menunjukkan bahwa ia pelacur. Tiga bulan kemudian, Juli, kami pindah kantor. Tapi perkara dengan pemilik gedung yang lama tetap berjalan. Dan, sialnya, sekali perkara itu dibawa ke pengadilan, belum akan selesai sebelum tuntas. Sementara itu, ruang kantor tersebut tetap hakku untuk menempatinya. Rencanaku, memberikannya kepada seorang teman yang baru saja pindah ke kota. Pada 14 September 1984, sekali lagi, aku harus hadir dalam sidang perkara perumahan. Di dalam gedung pengadilan, seorang laki-laki tinggi berjas putih membuat perasaanku tak enak. Ia duduk bersama dengan pemilik gedung dan pengacaranya, tapi perhatiannya tertuju padaku. Sewaktu pembacaan perkara, sementara para ahli hukum mempelajari dokumen apartemen yang akan kuberikan kepada temanku, lelaki itu minta agar aku menambahkan dalam dokumen itu bahwa aku mengelola jaringan pelacuran. Jawab Risa, pengacaraku, permintaannya itu keterlaluan. Risa pun heran mengapa orang itu begitu tertarik pada topik satu itu. Lalu ia memperingatkan pengacara pemilik gedung agar hati-hati memilih kompanyon. Tapi, menurut pengacara pemilik gedung, lelaki berjas putih itu bukanlah kelompok dia. Sidang berjalan sehari penuh. Sore, baru persetujuan dicapai. Aku memenangkan hak untuk tetap menyewa apartemen itu. Kami semua duduk di meja perundingan, dua orang ahli hukum berunding dengan hakim. Sementara perundingan yang menjemukan tapi penting itu berjalan, aku melemparkan pandang ke sekitar. Lelaki yang mencurigakan itu masih ada duduk di bagian belakang ruangan, tetap memandangiku. Kuminta Risa, pengacaraku itu, mencari tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya dalam sidang ini. "Hakim Yang Terhormat," kata Risa tertuju kepada hakim, "kami sadar bahwa pengadilan ini sebuah sidang terbuka. Tapi kami ingin tahu siapakah pria yang duduk di situ itu." Tiba-tiba lelaki misterius itu menyelinap ke luar ruangan. "Siapa lelaki itu?" tanya hakim kepada pemilik gedung. "Haruskah kujawab pertanyaan Anda?" jawabnya. "Ya, harus," sahut hakim pula. "Ia sahabat baikku," jawab pemilik gedung. "Siapakah nama sobat baikmu itu?" sela Risa. "Haruskah saya menjawab pertanyaan ini?" kata pemilik gedung. Maka, hakim itu pun marah. "Saya punya kekuasaan untuk menahan kalian karena menghina pengadilan." "Dialah Sersan Elmo Smith, wakil komandan kepolisian Kota New York," kata pemilik gedung itu akhirnya. * * * SUATU malam ketika aku sedang menikmati kencan gelapku dengan Barry, seorang langganan baru menelepon. Biasanya Suzie tak begitu senang melayani orang baru. Tapi malam itu ia mengeluh kepada Ashley, ia sedang sangat membutuhkan uang. Maka, Ashley pun menawarkan Suzie, dan karena ia tergolong "bidadari C" tarifnya lebih mahal, dan minimal untuk dua jam. Tak ada keberatan apa pun dari pihak pemesan, dan disetujui Suzie akan telah di hotel pada pukul tujuh. Ashley berpesan agar Suzie hati-hati, dan terlebih dahulu menanyakan tiket pesawat langganan baru itu. Ini untuk memperoleh kepastian bahwa ia memang seorang pengusaha yang sedang menjalankan bisnis di New York, dan bukannya seorang polisi. Segera setelah Suzie tiba di Parker Meridien, Kamar 3418, suite mewah dua ruangan, ia memperkenalkan dirinya kepada langganan barunya, laki-laki tinggi berotot dengan kumis menghias wajahnya. Lalu ia pun menanyakan soal tiket. "Tiket penerbanganku?" balasnya. "Saya tidak membawanya sekarang. Tiket itu kutinggalkan di lemari penyimpanan hotel bersama dengan surat-surat penting lainnya." Alangkah bodohnya bahwa Suzie tak mendesaknya lebih lanjut. Laki-laki itu kemudian memesan sebotol sampanye. Sejam berlalu. Langganan Suzie menanyakan apakah ia ingin suasana yang lebih intim. Tentu saja Suzie menjawab: ya. Suzie terlebih dahulu mengancingkan rantai pintu -- hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan. Sementara Suzie mulai melepaskan pakaiannya, lelaki itu bangkit dari kasurnya, mengatakan ingin mengambil sesuatu yang tertinggal di ruang tamu. Tapi lelaki itu ternyata menuju pintu, membuka rantai pengancing. Suzie tentu saja kaget. "Apa yang kaulakukan," teriaknya. Tanpa menjawab, lelaki itu membuka daun pintu lebar-lebar dan dua laki-laki lainnya segera memburu masuk. "Kami dari kepolisian," katanya. "Anda kami tangkap. Kami menunggu Anda di sini sementara Anda berpakaian." Di kantor. Ashley dan Claire sibuk melayani telepon berdering. Pada pukul 8.30, Kate berangkat menuju tempat langganannya di Halloran House. Beberapa menit kemudian masuklah Sonya yang memakai celana jeans, kemudian langsung ke kamar belakang untuk membereskan masalah keuangannya. Beberapa menit sebelum pukul 9.00, malam itu, telepon tidak lagi berdering-dering. Sementara itu, Ashley, Sonya dan Claire menghabiskan keripik kentang sambil menonton laporan khusus pameran lukisan Claude Monet di televisi. Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Claire berdiri lalu mengintip dari lubang intip. Ketika ia melihat seorang lelaki berdiri di sana, ia menoleh ke Ashley. "Siapa?" tanya Ashley. "Kami petugas kepolisian. Buka pintu ini. Kami membawa surat izin menggeledah." Terdengar suara berat dari balik pintu. Claire lantas saja berlari ke ruang belakang, mengemasi dokumen-dokumen yang ada, memasukkannya ke dalam mesin penghancur. Ashley dan Sonya mencoba mendorong meja-meja penerima tamu merapat ke dinding. (Meja tersebut sebelumnya dibongkar dari tempat semula oleh petugas yang memperbaiki mesin penjawab telepon kami. Setelah itu tidak terpikir oleh seorang pun mengembalikannya ke posisi semula.) Namun, meja tersebut terlalu berat, sehingga ketiga gadis itu membiarkannya saja di ruang tamu. Lama tak terdengar jawaban, para petugas kepolisian akhirnya mencoba mendobrak pintu dengan palu besar. Begitu pintu terbuka, mereka lantas menghambur masuk dipimpin oleh Sersan Elmo Smith yang siap dengan pistolnya. Sejam lamanya para petugas itu membongkar segenap pelosok ruangan. Kemudian mereka memborgol ketiga gadis tadi berikut empat kardus sampanye Dom Perignon. Selain itu, mereka membawa serta mesin penghancur dokumen, mesin ketik, pesawat telepon, dan perlengkapan kantor kami lainnya. * * * MENDEKATI Hari Natal, dewan juri menyimpulkan dakwaan bagi saya: terlibat dalam usaha menyangkut prostitusi tingkat ketiga. Mereka dapat saja membeberkan setiap transaksi selama lima setengah tahun aku beroperasi. Namun, mereka sebenarnya harus pula menyebutkan tanggal dan tempatnya, beserta nama-nama langganan. Jelas, mereka tak mungkin melakukannya. Selain itu, mereka harus pula menyebut nama-nama petugas yang terlibat dalam dua kali penyergapan itu, yang menuduh bahwa aku menjalankan bisnis senilai jutaan dolar. Tapi pada pokoknya mereka yakin aku telah melakukan tindak prostitusi antara tahun 1979 dan Oktober 1984. Namun, mereka tidak menjelaskan siapanya, apa perbuatannya, dan untuk siapa. Adalah sulit mengetahui apa yang dipikirkan pihak lain. Ketika musim gugur berganti musim salju dan aku tidak juga menunjukkan keinginan untuk mengajukan pembelaan, tampaknya pihak penuntut makin bingung memikirkan kemungkinan memajukan kasusku ke pengadilan. Pada Juni 1985, perkara ini semakin rumit bagi pihak penuntut, ketika Hakim Brenda Soloff meminta mereka melengkapi berkas perkara dengan sejumlah fakta lainnya. Dengan kata lain, mereka tidak cukup menyediakan bukti-bukti terhadap tindak prostitusi yang mereka tuduhkan termasuk tanggal, tempat, nama gadis, serta pelanggannya. Juga mereka harus menghubungkan setiap tuduhan tersebut dengan diriku. Para pengacaraku, sementara itu, berupaya agar kasus ini digugurkan saja. Mereka menuntut fakta-fakta tersebut diajukan sejak permulaan, karena penuntut umum gagal membawa bukti-bukti yang memperkuat tuduhan mereka. "Hakim yang terhormat," kata penasihat hukumku kepada hakim, "seperti kata ibarat, belum pernah terjadi bahwa sekepal tanah menjadi gunung yang tinggi. Tidak ada seorang pun di seantero negeri ini yang mengerti mengapa kasus ini diperkarakan. Memang mereka yang bermukim di New York dapat memahaminya, karena mereka dapat mengenali perselisihan antara tuan tanah dan penyewanya ketika mereka melihat hal tersebut." Dengan tibanya masa kampanye pemilu dan prospek memalukan bagi mereka sendiri, pejabat-pejabat kejaksaan negeri akhirnya menawarkan agar aku menyatakan diri bersalah melakukan tindak pidana ringan. Yakni melakukan prostitusi tingkat ketiga, dan untuk itu saya akan didenda US$ 5.000. Aku akan mendapatkan surat berkelakuan baik dari pengadilan, walaupun aku dinyatakan bersalah. "Perbuatan" yang dituduhkan padaku dinyatakan hanya sebagai pelanggaran ringan, sehingga aku tak dijatuhi hukuman penjara. Adanya surat berkelakuan baik menjamin bahwa perbuatan tersebut tidak akan dicantumkan sebagai catatan kriminal. Dengan kata lain, aku tidak akan kehilangan kesempatan bekerja. Ketika menjelaskan permohonanku, hakim memperingatkan jika kasus ini jadi disidangkan, ancaman hukuman bagiku adalah "satu tahun penjara dengan tiga tahun masa percobaan." Pada 19 Juli 1985, aku kembali ke persidangan untuk terakhir kalinya, bersama teman-teman. Dalam sidang November tahun lalu, aku menyatakan tidak bersalah. Kini, aku harus mengaku bersalah. "Nona Barrows," kata hakim, "adakah Anda mengubah pendirian semula?" "Dengan berat hati, Hakim yang terhormat," jawabku. Sekarang semuanya bergantung pada diriku sendiri, aku merasa tercemar, terpukul. Sulit bagiku untuk menyerah. Aku tak punya keinginan menyerah begitu saja." Hakim menjatuhkan "pembebasan dari hukuman penjara tak bersyarat", dan aku hanya diharuskan membayar denda hingga batas waktu yang ditentukan (betapa ringan pun akhirnya putusan hakim, sebagai keturunan keluarga Pilgrims, tak enak untuk mendengarkannya). Aku membayar denda pada hari itu juga. Aku terkadang bimbang apa yang telah dilakukan oleh nenek moyangku sehingga aku terlibat dalam situasi seperti ini. Mereka tidak terkenal karena tingkah laku seksual mereka. Namun, memang, di samping aturan agama yang ketat, mereka penuh nafsu berahi. Kalau saja mereka hidup di lingkungan yang lebih terbuka, mereka akan mengerti bahwa tingkah laku pribadi tidak menjadi urusan negara. Dan mereka seharusnya tahu, masih banyak lelaki yang mau membayar berapa saja atas kemurahan lawan seks mereka, dan lembaga yang menyediakannya. Dengan begitu, ini bukan profesi tertua untuk kesia-siaan belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini