Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara formal, rezim militer di Indonesia memang tak pernah ada. Tetapi dalam praktek sehari-hari, masa-masa ketika militer begitu berkuasa, dan bahkan merebut hampir semua pimpinan puncak birokrat sipil, pernah terjadi. Itulah era pemerintahan Soeharto, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan Orde Baru. Apalagi pada awal-awal kekuasaannya, militer memang seolah segalanya. Mereka menguasai hampir segenap aspek kehidupan, dari presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, hingga ketua RT. Juga, dari direktur sampai petugas satpam, tentara selalu muncul di sana.
Niat awalnya mungkin saja mulia. Setelah kegagalan G30S dengan dihabisinya pejabat-pejabat yang beraviliasi ke PKI, dilanjutkan dengan pembersihan para pejabat yang diindikasikan sebagai Sukarnois, birokrasi praktis kosong melompong. Banyak jabatan di pemerintahan yang lowong. Kekosongan inilah yang diisi tentara. Bukan tanpa alasan, tentu. Pimpinan tentara merujuk pada doktrin dwifungsi ABRIistilah yang begitu populer di masa Orde Baruyang menegaskan tentara Indonesia adalah tentara rakyat. Jadi, selain aktif di militer, tentara juga dibolehkan berkiprah di bidang sipil, pokoknya semua kepentingan yang membela, mengayomi, dan mengatasnamakan rakyat. "Apalagi setelah dwifungsi secara sempit diartikan sebagai kekaryaan," kata pengamat militer Salim Said. Sejak istilah kekaryaan itu muncul, jabatan sipil dipenuhi militer aktif dengan istilah dikaryakan.
Tetapi persoalan muncul ketika penempatan yang seharusnya berorientasi membenahi permasalahan justru terpuruk karena yang terjadi semata-mata untuk mengejar jabatan. Mulailah kritik berhamburan, karena banyaknya salah urus, bahkan penyelewengan. Penyebab utamanya tentu saja ketidakcakapan si tentara yang ditempatkan pada jabatan birokrasi sipil tersebut.
Banyak sekali contoh soal itu. Misalnya, Ibnu Sutowo di Pertamina, Ahmad Tirtosoediro ketika memimpin Bulog, yang dinilai gagal menjalankan tugasnya. Ini pada barisan BUMN. Di jajaran pejabat sipil birokrat lebih banyak lagi, entah itu gubernur ataupun bupati. Biasanya, kalaupun tidak melakukan praktek tercela dan salah urus, kekakuan yang mereka bawa sebagai akibat tempaan disiplin militer menyebabkan terjadi kendala psikologis dengan anak buah di tempat baru. Persoalan yang mungkin mendatangkan masalah bagi kinerja organisasi.
Tapi tak semua tentara yang dikaryakan gagal. Tak kurang pula yang mampu men-jadi panutan di tempat kerja mereka yang baru, terutama dalam disiplin kerja. Hal ini diakui Dirjen Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan, Sudrajat. "Disiplin dan tanggung jawab akan tugas memang biasanya diwanti-wanti pada setiap tentara yang akan mendapat tugas kekaryaan saat itu," kata penyandang pangkat mayor jenderal ini.
Kiprah mereka yang berhasil ini bahkan tak jarang begitu mengesankan, sehingga nyaris menjadi legenda. Sebut saja dua nama, Ali Sadikin di masa Orde Baru dan Yunus Yosfiah di era reformasi.
Awalnya, Presiden Sukarno memberi tugas khusus kepada Ali Sadikin, yang pada tahun 1963-1966 menjabat Menteri Perhubungan Laut sekaligus Menteri Koordinator Urusan Maritim. Ditunjuk menjadi gubernur, Ali harus membuat keajaiban bagi Jakarta, ibu kota yang tak ubahnya sebuah kampung besar yang jorok, kumuh, dan tak tertata.
Sukarno tahu, hanya Ali, pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, yang akan mampu mengubah citra tersebut. Pembawaan Ali yang keras, tegas, bahkan cenderung kasar, cocok untuk menata Jakarta, yang tidak toleran pada pemimpin bergaya flamboyan. "Ia orang koppigkepala batu," kata Su-karno ketika itu (lihat Bang Ali, Legenda Jakarta).
Demikian juga dengan Yunus Yosfiah. Meski tidak sefenomenal Bang Ali, banyak pihak menganggapnya layak disebut sebagai tentara yang berhasil memimpin sipil. Kiprah Yunus saat menjabat Menteri Penerangan pada kabinet Habibie memang layak mendapat acungan jempol. Dialah menteri yang mencabut pemberlakuan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), sebuah aturan yang mengekang kehidupan pers Indonesia pada masa lalu. Yunus maju terus dengan ide tersebut, kendati tak kurang yang membisikinya lain. "Ia memang berani," kata pengamat militer Harold Crouch. Crouch masih ingat, saat memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), Yunus pernah mengundang Megawati, musuh pemerintah saat itu, untuk berceramah.
Namun, Kolonel (Purn.) Herman Ibrahim adalah salah seorang yang tidak sepakat bahwa keduanya sukses memimpin sipil. Bagi mantan kepala Biro Humas Depdagri ini, baik Ali maupun Yunus lebih banyak diuntungkan situasi saat itu, dibandingkan dengan sikap kepemimpinan yang mereka miliki. Tentang Ali, Herman menyatakan gaya kepemimpinan Ali yang represif hanya efektif dengan dukungan suasana otoriter pemerintahan Soeharto masa itu. "Selain itu, Ali Sadikin masih seorang militer aktif saat ia menjabat gubernur," kata Herman, yang sebagaimana Ali merupakan putra Sumedang. Itulah yang menyebabkan banyak gebrakan Ali Sadikin, bahkan yang tidak populer sekalipun, berhasil.
Demikian juga dengan Yunus. Apa yang dilakukan Yunus saat menjabat Menteri Penerangan, menurut Herman, lebih karena tekanan situasi saat itu. "Akan terjadi anakronisme (menyalahi zaman) kalau Yunus tidak melakukan hal tersebut," kata Herman. Dalam masa transisi otoriter ke demokrasi, menurut Herman, kebebasan pers adalah kemestian. Awal pembukanya tentu saja membebaskan perusahaan pers dari SIUPP. Hanya, Herman memang mengakui keduanya termasuk dalam jajaran perwira militer yang berhasil dalam karir sipil mereka, karena yang lainnya lebih banyak yang jelek.
Menilik beragamnya kinerja kepemimpinan tentara yang dikaryakan, wajar bila muncul pertanyaan, adakah yang salah dengan kurikulum yang diberikan di akademi militer. "Tidak," kata Sudrajat. Pendapat yang juga disetujui Herman. Menurut Sudrajat, sistem dan kurikulum yang ada sudah memadai untuk membentuk seorang prajurit yang tangguh dan profesional. Jenjang pendidikan di militer seperti kursus dasar kecabangan (sussarbang), yang meliputi infanteri, kavaleri, zeni, keuangan, dan sebagainya, kursus lanjutan perwira (suslapa), sekolah staf dan komando (sesko) yang lebih umum, sesko TNI, dan akhirnya Lemhannas, masih perlu dipertahankan karena masih bisa diandalkan. Tentu saja, semuanya ini untuk tugas-tugas militer, bukan untuk penempatan di birokrat sipil.
Yang jadi masalah di masa lalu, justru iming-iming kekaryaanlah yang membuat setiap prajurit gamang dalam berkarir. "Saat seorang tentara berpangkat mayor, biasanya ia tak lagi fokus pada profesionalisme prajurit," kata Sudrajat. Mereka mulai terdistorsi oleh iming-iming kesempatan berkarir pada jabatan sosial politik. "Yang dipelajari sudah bukan lagi sistem senjata, taktik brigade," kata Sudrajat, "tetapi sudah mulai memikirkan konstelasi politik nasional."
Politik, jabatan, dan kekuasaan bahkan pernah lebih digdaya dibandingkan dengan sistem merit yang dipegang teguh TNI. Pada zaman kekuasaan Soeharto, sudah bukan rahasia lagi kalau jalur ajudan presiden adalah jalur tol menuju jabatan puncak militerwalaupun bukan berarti para ajudan itu tanpa prestasi.
Yang pernah mendaki puncak lewat jalur ajudan ini, contohnya, Try Sutrisno (sempat menjadi Panglima ABRI), Kentot Harseno (Pangdam Jaya), Suryadi (Wakil KSAD), Soeyono (Kasum ABRI), Wiranto (Panglima ABRI), serta Sugiono (Panglima Kostrad). Mereka hanya sebagian kecil dari daftar para ajudan yang karirnya kencang melesat. Wiranto, misalnya, hanya memerlukan empat tahun untuk meloncat dari jabatan Kepala Staf Kodam Jaya, Pangdam Jaya, kemudian Panglima Kostrad, sebelum menggenggam tongkat komando Panglima ABRI.
Pendulum politik juga pernah membuat paham primordial merasuki sistem promosi TNI. Usai "berbulan madu" dengan kelompok Panglima ABRI Benny Moerdani, sejak awal 1990-an Soeharto kerap memilih kelompok Islam yang dikenal dengan "jenderal hijau" untuk menempati pucuk-pucuk pimpinan tentara. Seiring dengan menguatnya duet Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI serta R. Hartono di posisi KSAD, orang-orang yang diindikasikan berada dalam pengaruh figur Benny Moerdani pun secara perlahan tersingkir. Terjadilah de-Benny-isasi, penyingkiran kelompok Benny dari posisi-posisi strategis di tentara. Politisasi tentara ini berakhir dengan reformasi politik yang juga memaksa TNI melakukan reformasi internal dalam tubuh militer.
Politik yang merasuki militer lewat ide kekaryaan inilah yang menurut Herman Ibrahim membuat prajurit TNI terkesan tidak becus. Ketika fungsi kekaryaan itu masih berlaku, pada saatnya seorang tentara akan menemui sebuah simpang jalan. "Apakah ia akan berkarir profesional di militer atau menekuni fungsi sospol. Bahkan, sebelum dua pilihan itu datang, biasanya mereka yang mulai dipersiapkan untuk jabatan nonmiliter sudah tidak lagi andal di bidangnya.
Simpang jalan ini musnah dengan surat keputusan yang diteken Wiranto, kala menjabat Panglima TNI. Surat keputusan bernomor 03/1999 itu memang menegaskan agar setiap personel militer yang tengah menduduki kursi sipil mesti memilih satu dari tiga pilihan: kembali ke TNI, alih status sebagai pegawai negeri sipil, atau pensiun. "Itu membuat arah yang tegas bagi tentara," kata Herman. Selanjutnya, dari sana mungkin bisa diharap munculnya korps tentara yang profesional di bidangnya, kelak.
Lantas, apakah mereka tak lagi boleh menjadi pemimpin nasional? Menurut Kaster Agus Widjojo, militer tunduk pada tuntutan organisasi untuk mempersiapkan sebaik-baiknya kader guna memimpin TNI sebagai panglima. "Kalau yang bersangkutan mau beralih ke lapangan politik, tanggalkan dulu status militernya dan carilah konstituen sebanyak-banyaknya," kata Agus. Artinya, kalau ia mau terjun ke politik, harus pensiun terlebih dahulu di militer, seperti yang kini juga banyak terjadi. Jadi, sebenarnya kaderisasi di militer itu hanya bertujuan untuk mencari pemimpin di bidang militer, bukan pemimpin sipil. Untuk sipil, silakan di luar, setelah menanggalkan baju militernya.
Menteri dari TNI | Kabinet Pembangunan I | : | 8 (aktif) | Kabinet Pembangunan II | : | 6 (aktif) | Kabinet Pembangunan III | : | 15 (14 aktif, 1 purnawirawan) | Kabinet Pembangunan IV | : | 17 (4 aktif, 13 purnawirawan) | Kabinet Pembangunan V | : | 14 (4 aktif, 10 purnawirawan) | Kabinet Pembangunan VI | : | 10 (4 aktif, 6 purnawirawan) | Gubernur dari TNI | Pelita I | : | 19 orang | Pelita II | : | 20 orang | Pelita III | : | 16 orang | Pelita IV | : | 14 orang | Pelita V | : | 12 orang | Militer Aktif di Pos Sipil (1999) | Kementerian (21 departemen) | : | 4 menteri, 2 sekjen, 5 dirjen, 5 irjen | Gubernur (27 provinsi) | : | 10 orang | Wali kota/bupati (306 jabatan) | : | 128 orang |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo