Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA sebagian orang mencalonkannya menjadi presiden, Nurcholish Madjid pernah berkata, ”Saya tidak ingin menjadi presiden gratisan.” Nurcholish tentu tak sedang bercanda. Ia menolak dicalonkan menjadi presiden karena dia merasa bukan berasal dari partai politik. Dia tidak punya konstituen dan tidak pernah ikut kampanye. Karena itu, dia merasa tidak pernah mengeluarkan ongkos untuk menjadi orang nomor satu.
Idealnya, seperti disebut Nurcholish, pemimpin nasional mestinya datang dari partai politik. Logikanya, pemimpin dari partai akan punya tanggung jawab besar kepada pemilihnya. Jika ia menyelewengkan kepercayaan publik, partainya akan ditinggalkan massa pada pe-milihan umum berikutnya.
Tapi fakta di lapangan berkata lain. Sebagian besar responden jajak pendapat TEMPO di enam kota besar Indonesia menyatakan menghendaki pemimpin nasional datang dari luar partai. Penilaian terhadap 10 tokoh nasional yang punya potensi kepepimpinan di masa depan mendudukkan tokoh partai di urutan bawah. Tiga yang teratas adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan Yogyakarta), Susilo Bambang Yudhoyono (TNI), dan Nurcholish Madjid (cendekiawan). Setelah itu, baru menyusul nama tokoh partai seperti Yusril Ihza Mahendra, Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, Hamzah Haz, dan Abdurrahman Wahid.
Sejatinya, ini reaksi negatif terhadap kinerja partai yang amburadul dalam dua tahun pertama era reformasi. Partai-partai muncul sebagai sosok pembela kepentingan kelompok dan golongan ketimbang kepentingan publik. Kepercayaan kepada partai jatuh dan orang mulai melirik alternatif pemimpin dari unsur cendekiawan, TNI, atau organisasi massa.
Fakta ini berkaitan juga dengan tipe pemimpin yang diharapkan publik. Di tengah besarnya ancaman disintegrasi, masyarakat lebih mengidolakan pemimpin yang bisa mempersatukan (solidarity maker) daripada seorang manajer yang andal. Calon dari partai politik diperkirakan tidak mampu menjalankan fungsi perekat ini.
Adakah kita sedang kembali ke tahun nol—tahun pertama republik ini lahir dengan Sukarno sebagai sosok penyatu bangsa? Entahlah. Yang pasti, jajak pendapat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan nasional untuk beberapa tahun ke depan rasanya belum beranjak dari apa yang pernah disebut Max Weber sebagai tipe kepemimpinan tradisional: pemimpin yang bisa menjawab semua pertanyaan dan menyelesaikan semua persoalan oleh dirinya sendiri.
Usia 56 tahun kemerdekaan Indonesia ternyata membuktikan sesuatu: demokrasi—seperti halnya persepsi publik tentang kepemimpinan yang modern—bukan sesuatu yang bisa dicapai dengan cepat. Perjalanan memang masih panjang.
Arif Zulkifli
Dari dua hal di bawah ini, mana yang lebih penting dimiliki oleh Presiden Indonesia saat ini? | |
Kemampuan mempersatukan bangsa (solidarity maker) | 62,2% |
---|---|
Kemampuan manajerial yang baik dalam mengelola negara | 37,8% |
Dari dua tipe presiden di bawah ini, mana yang lebih dibutuhkan Indonesia saat ini? | |
Presiden dengan kemampuan menyelesaikan persoalan yang terbatas tapi mampu membuat para menterinya berperan dalam penyelesaian persoalan negara | 52,2% |
Presiden yang serba bisa dan menjadi pusat bagi penyelesaian semua persoalan negara dengan menteri-menteri menjadi pelaksana teknis saja | 47,8% |
Jika Anda menjawab ”Presiden tak harus serba bisa,” apa alasannya?* | |
Membagi penyelesaian kepada banyak orang dapat memupuk sikap demokratis | 57,4% |
Meski lama, dengan menyerahkan keputusan kepada para menteri, hasilnya akan lebih memuaskan | 40,2% |
Pengambilan keputusan pada satu orang cenderung menghasilkan keputusan yang otoriter | 31% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Jika Anda memilih jawaban ”Presiden harus serba bisa,” apa alasannya?* | |
Permasalahan negara dengan demikian akan lebih cepat diselesaikan | 90,2% |
Kemampuan para menteri/pembantu presiden belum tentu bisa diandalkan | 20,4% |
Untuk masyarakat Indonesia yang majemuk, presiden perlu sedikit otoriter | 8,8% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Apakah faktor keturunan (anak atau cucu seorang pemimpin/tokoh nasional) penting dalam menentukan kualitas seorang presiden? | |
Penting | 17,3% |
Tidak penting sama sekali | 42,5% |
Tidak penting tapi bisa dipertimbangkan | 40,2% |
Apakah calon presiden harus datang dari partai politik? | |
Ya | 41,2% |
Tidak | 58,8% |
Alasan tidak?* | |
Pemimpin dari partai politik cenderung mendahulukan kepentingan partainya daripada kepentingan bangsa | 81,3% |
Politisi partai politik biasanya kotor | 29,9% |
Partai politik Indonesia belum bisa lepas dari pengaruh politisi Orde Baru | 20,2% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Alasan ya?* | |
Partai politik adalah satu-satunya lembaga yang dipilih rakyat dalam pemilu | 66,1% |
Politisi dari partai politik lebih bertanggung jawab karena berkaitan langsung dengan massa pemilihnya | 41,2% |
Seorang pemimpin dari partai politik lebih teruji kemampuannya | 34,4% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Jika seorang presiden tak harus datang dari partai politik, dari manakah sebaiknya calon presiden berasal?* | |
Cendekiawan | 38,0% |
TNI | 16,7% |
Organisasi massa (Muhammadiyah, NU, dll.) | 15,5% |
Ulama | 6% |
Organisasi mahasiswa | 3,5% |
Organisasi profesi (Kadin, PWI, dll.) | 3,3% |
*Responden dapat memilih lebih dari satu jawaban | |
Cara apa yang lebih baik bagi pemilihan presiden di Indonesia? | |
Pemilihan presiden langsung | 60% |
Pemilihan presiden melalui MPR | 40% |
Apakah seorang presiden harus dipilih secara demokratis? | |
Ya | 98,4% |
Tidak | 1,6% |
Jika seorang pemimpin yang telah dipilih secara demokratis ternyata tidak sesuai dengan kriteria Anda, apa yang akan Anda lakukan? | |
Menolak dan mendesak pemilihan ulang | 40,2% |
Menerima tapi menyesalkan | 23,6% |
Menerima pemimpin tersebut dengan dada lapang | 36,2% |
Untuk kepentingan Indonesia di masa depan, dari dua hal di bawah ini, mana yang lebih baik? | |
Presiden bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya jika terbukti melanggar haluan negara | 89,6% |
Presiden hanya bisa dijatuhkan di akhir masa jabatannya | 10,4% |
Metodologi jajak pendapat :
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 1.025 responden di enam kota (Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar) pada 9-17 Juli 2001. Penarikan sampel dilakukan dengan metode acak bertingkat (multi-stages sampling) dengan unit analisis kelurahan dan rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka dan per telepon. Dengan jumlah respon-den 1.025, estimasi terhadap sampling error adalah 3-4 persen. Walaupun begitu, non-sampling error tetap
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.30 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 570497
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo