Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik tujuh orang anggota Komisi Yudisial, di Jakarta, Selasa pekan lalu. Mereka adalah Zainal Arifin, M. Thahir Saimima, H.M. Irawady Joenoes, Chatamarrasjid, Muhammad Busyro Muqoddas, Mustofa Abdullah, dan Soekotjo Soeparto.
Menurut Busyro Muqoddas, langkah pertama Komisi Yudisial adalah membuat bank data 6.000 hakim yang ada di Indonesia. Hakim-hakim yang dicatat baik akan dipromosikan ke jenjang karier yang lebih baik. ”Kita positive thinking saja bahwa masih banyak hakim yang bagus,” kata Muqoddas, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Sedangkan hakim yang bermasalah akan direkomendasikan untuk diberi sanksi.
Tugas dan wewenang Komisi Yudisial diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, antara lain menyeleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim.
Giliran Safder Yussac Ditahan
KASUS korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali ”memakan korban”. Kali ini giliran Safder Yussac, mantan Sekjen KPU, yang dicokok KPK. Safder diduga terlibat korupsi proyek pencetakan buku panduan KPU.
Menurut Wakil Ketua KPK, Tumpak H. Panggabean, Yussac melakukan tindak pidana itu bersama Bambang Budiarto, Kepala Biro Umum KPU yang juga ketua panitia proyek. Bambang sudah ditahan KPK pada 17 Juli lalu. Dia disangka menunjuk langsung rekanan pengadaan buku, sekaligus menggelembungkan anggaran proyek Rp 30 miliar ini. Akibatnya, negara dirugikan Rp 17 miliar.
Adalah Sussongko Suhardjo, mantan pejabat Sekjen KPU, pengganti Yussac, yang membeberkan kecurangan itu. Kepada KPK, Sussongko bercerita penunjukan langsung rekanan itu dilakukan berdasarkan nota dinas Bambang kepada Yussac. Sussongko juga mengungkapkan peranan seorang teman lama Yussac sebagai calo pengadaan buku ini.
Saat diperiksa KPK, 6 Juni lampau, Yussac membenarkan bahwa proyek itu tidak melalui tender. Ia beralasan, semuanya terpaksa dilakukan karena waktu sudah mepet. Namun, ia mengaku tidak tahu siapa yang menunjuk calo dalam proyek itu.”Bukan saya,” katanya.
Dua Tahun untuk Rahardi
PUPUS sudah harapan Rahardi Ramelan agar bisa bebas dari kasus korupsi dana Badan Urusan Logistik (Bulog). Kasasi mantan Kepala Bulog itu ditolak Mahkamah Agung, dan dengan demikian ia diganjar 2 tahun penjara sesuai dengan keputusan pengadilan tinggi. ”Perkara itu diputus Oktober 2004 lalu,” kata Kepala Sub-Direktorat Kasasi MA, Zarof Ricar, pekan lalu.
Dari salinan dokumen yang diperoleh Tempo, disebutkan perkara mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan itu diputus pada 27 Oktober 2004. Majelis hakim yang memeriksa terdiri dari hakim agung Iskandar Kamil, dengan anggota Parman Soeparman dan Artidjo Alkostar. Setelah perkara itu diputus, MA mengirimkan berkas perkara itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Agustus 2005.
Rahardi diajukan ke meja hijau setelah diduga terlibat dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 62,5 miliar. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonisnya dua tahun penjara pada 24 Desember 2002 silam. Putusan ini diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta pada 12 Januari 2004.
Trimoelja D. Soerjadi, anggota tim pengacara Rahardi, tidak mau berkomentar karena belum menerima salinan putusan. Sedangkan Rahardi menilai ada kejanggalan atas penolakan kasasinya. ”Masalah sama, tapi putusannya bisa beda,” kata Rahardi sambil menunjuk putusan bebas Mahkamah Agung terhadap mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung. Katanya, ”Jadi, ini kasus hukum atau politik?”
MA Tolak Kasasi Ba’asyir
SATU lagi yang kecewa dengan Mahkamah Agung. Di adalah Amir Majelis Mujahidin, Abu Bakar Ba’asyir, yang kasasinya ditolak Mahkamah Agung 3 April lalu. Putusan MA itu menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuk 8 Maret silam. Dengan putusan itu, Ba’asyir harus mendekam di hotel prodeo selama dua setengah tahun.
Perkara Ba’asyir diputus lima hakim agung yang diketuai Iskandar Kamil. Ba’asyir dinyatakan bersalah karena dianggap terbukti melakukan permufakatan jahat untuk mempersiapkan insiden bom Bali. Ba’asyir lalu mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Tapi, majelis banding menguatkan vonis Ba’asyir.
Menurut M. Assegaf, anggota tim pengacara Ba’asyir, kliennya menolak putusan MA itu. ”Saya tidak bisa menerima putusan itu,” kata Assegaf menirukan Ba’asyir. Pria bermisai putih itu masih menginap di penjara Cipinang ketika mendengar kabar tak enak itu. Sikap selanjutnya Ba’asyir baru akan ditentukan setelah ia menerima salinan putusan Mahkamah.
Hukuman Mati untuk Pembuat Ekstasi
MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah menjatuhkan hukuman mati kepada dua terpidana kasus psikotropika, Sastra Wijaya, 27 tahun, dan Yuda alias Akang, 33 tahun. ”Hukuman tersebut diberikan dengan mempertimbangkan dampak sosial perbuatan mereka,” kata ketua majelis hakim, Herybertus Mudjito, Kamis pekan lalu.
Menurut Herybertus, Sastra dan Yuda dinyatakan terbukti bersalah karena secara bersama-sama memproduksi bahan psikotropika ekstasi dan sabu-sabu secara terorganisasi.
Mereka ditangkap 5 November tahun lalu saat sedang membuat sabu-sabu dan ekstasi. Saat digerebek polisi, keduanya berada di ruko milik Burhan di Daan Mogot Baru, Blok 1A Nomor 15, Cengkareng. Di tangan mereka ditemukan tiga tas berisi 82.070 butir ekstasi dan sekitar 3 kilogram sabu-sabu. Sedangkan Burhan, bos Sastra Wijaya dan Yuda, berhasil kabur. Niko Hutabarat, pengacara Sastra Wijaya, menyatakan banding. ”Mereka cuma sebagai pekerja, mestinya mendapat keringanan,” katanya.
Langkah Maju Komisi Kebenaran
PEMERINTAH Indonesia dan Timor Leste, di Bali, Kamis lalu, menyepakati sepuluh nama untuk menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Sepuluh anggota KKP tersebut terdiri atas lima orang dari Indonesia dan lima warga Timor Leste. Dari Indonesia adalah Ahmad Ali, Wisber Louis, Benjamin Mangkudilaga, Petrus Turang, dan Agus Widjojo. Timor Leste diwakili Jacinto Alves, Dioniricio Babo, Anniceto Gutteres, Carmelita Morris, dan Cirilio Varadales. ”Mereka dipilih karena integritasnya (tinggi),” kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Nur Hassan Wirajuda.
Penunjukan nama-nama itu merupakan kelanjutan dari pembentukan KKP tanggal 14 Desember tahun lalu. Lembaga yang diprakarsai oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao ini dimaksudkan untuk melanjutkan proses rekonsiliasi pascapelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste, yang diduga dilakukan oleh perwira militer Indonesia pada 1999. Menurut Hassan Wirajuda, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi itu selanjutnya akan dibahas oleh KKP. ”Tidak akan dilanjutkan ke proses peradilan,” katanya.
Korupsi Menggerogoti Sekneg
ADA untungnya juga aksi bersih-bersih Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dari lingkungan Istana. Baru dua bulan menyelidiki Sekretariat Negara, tim telah menemukan indikasi korupsi keuangan di lembaga pimpinan Menteri Yusril Ihza Mahendra itu.
Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman Supandji, mengumumkan hasil temuannya itu di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Rencananya, akhir Agustus ini kasusnya akan ditingkatkan ke penyidikan.
Hendarman mengungkapkan timnya berhasil menemukan tindak korupsi itu setelah memeriksa 20 saksi. Tak tanggung-tanggung, mereka yang diperiksa meliputi mantan pejabat, pegawai negeri sipil, pegawai swasta (rekanan), dan sejumlah orang yang mempunyai akses ke Sekretariat Negara. Bahkan, Tim Pemberantasan sudah mengantongi nama pejabat yang juga dicurigai terlibat.
Namun, aksi itu tampaknya tak bisa mulus. Menurut Hendarman, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mengirim surat yang meminta penundaan penyelidikan sampai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai melakukan audit.
Audit BPK itu dilakukan terhadap keuangan Setneg pada 2004 dan sebelumnya. Hasil audit sementara BPK sendiri, kata Hendarman, telah menemukan indikasi korupsi. Sayang dia enggan menyebut nilai penyimpangan dan nama proyeknya.
Penanganan penyimpangan keuangan negara di Setneg selama ini tertutup bagi media massa. Tahun 2000, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melaporkan dugaan adanya markup proyek pengerukan muara Sungai Mahakam (KalTim) dengan pelaku pejabat Setneg ke Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini kasus itu tak jelas.
Korupsi di Busway
KORUPSI merambah ke mana-mana, termasuk ke proyek pengadaan bus khusus busway koridor I jurusan Blok M-Kota. Menurut anggota penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adi Deriyan, pihaknya telah mengantongi sejumlah nama pejabat pemerintah Provinsi DKI dan perusahaan pengadaan bus. Semuanya akan jadi tersangka. ”Berapa jumlah kerugian, masih akan dihitung,” kata Adi.
Kasus ini sudah ditelisik KPK sejak Agustus tahun silam. Badan ini memeriksa berbagai dokumen pembelian bus, termasuk tender pengadaan bus yang dimenangi PT Armada Bersama. Perusahaan tersebut menggandeng PT New Armada (Magelang) dan PT Restu Ibu (Bogor).
KPK menduga, pembelian 56 unit bus merek Hino dan Mercedes untuk busway koridor I tahun 2003, dan 44 unit bus tahun 2004, sengaja digelembungkan. Kepala Dinas Perhubungan DKI, Rustam Effendy, tak mau berkomentar banyak atas temuan KPK itu. ”Kita lihat saja dulu hasil pemeriksaannya,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo