Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu prahara datang di sudut kota tua Cilacap. Lima orang polisi dengan mobil menderu-deru berhenti tepat di depan sebuah warung Internet. Para lelaki tegap itu bergegas menuju kios penjaja jasa Internet. Dengan basa-basi yang hambar, mereka memaksa sang penjaga kios menunjukkan sistem operasi di komputer-komputernya. Dan mereka mendapati, hanya beberapa komputer yang punya lisensi—itu pun lisensi untuk peranti lunak tua, yakni Windows 98. Sisanya, murni bajakan.
Segera polisi melayangkan surat penyitaan komputer. Dan inilah awal petaka bagi warung-warung Internet (warnet) di Cilacap. Siang itu, empat warnet—Rinjani.net, Pelita.net, Cipta Jaya Computer, dan Citra Computer—terjaring polisi karena kedapatan menggunakan peranti lunak bajakan.
Kabar pahit tersebut segera menyebar ke pojok-pojok ruang diskusi (mailing list) di Internet. Dan memang, sejak keluarnya Undang-Undang Hak atas Kekayaan Intelektual pada 2002, yang diberlakukan serius mulai dua tahun lalu, gelombang penggerebekan warnet pun riuh terdengar di mana-mana.
Berita itu akhirnya menyengat sebuah kantor warnet di Ciputat, Jakarta. “Gawat. Warnetku harus segera migrasi (dari Windows) ke Linux,” kata Aditantra, yang juga memiliki 34 warnet di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia tak bisa membayangkan jika polisi datang menggaruk warnet-warnetnya, mengangkut komputernya, dan hampir 100 karyawan penjaga kiosnya bakal menganggur.
Bila itu terjadi, terbanglah impian Aditantra menjadi raja warnet di kota-kota kecil. Sejak 2002, ia bersama temannya keluar-masuk kota-kota yang tak punya Internet, seperti Tegal, Klaten, Madiun, juga Tulungagung. Dia datang dengan memboyong serta sebuah antena parabola yang bisa menjatuhkan akses Internet dari satelit. Untuk sebuah warnet, dia harus keluar dana sedikitnya Rp 100 juta. Kalau semua itu kena gerebek polisi, “melayanglah semua investasi,” ujar bos PT Kaponan Raya itu.
Tak ada pilihan bagi Aditantra selain pindah ke Linux. Isi koceknya tak cukup tebal untuk bisa membeli software berlisensi seperti Windows XP Home, yang harganya mencapai US$ 75 (sekitar Rp 730 ribu) per buah. Itu baru sistem operasi, belum ditambah aplikasi Microsoft Office—ipakai untuk mengetik, menghitung, atau membuat presentasi, yang harganya US$ 124 (sekitar Rp 1,2 juta). Itu hanya untuk satu komputer. Bayangkan, berapa dana yang mesti disiapkan Aditantra untuk 442 komputer?
Ketakutan itu memompa semangat Aditantra dan timnya untuk segera mengubah warnetnya. Hanya butuh waktu tiga pekan, software komputer berganti wajah menjadi Linux, peranti lunak yang gratis diunduh dari Internet. Kebetulan perusahaan penyedia akses Internet langganannya, yakni PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), menyediakan semua petunjuk dan tutorialnya (http://www.psn.co.id/igos).
Saat menggunakan Linux pertama kali, pendapatan warnet jeblok. “Turun hingga 30 persen,” kata Hendra Gunawan, pengelola PT Kaponan Raya. Warnetnya yang paling ramai, misalnya, di Tulungagung, biasanya sebulan bisa meraup uang Rp 18 juta. Setelah pergantian itu, pendapatannya melorot jadi sekitar Rp 12,5 juta. Ini disinyalir karena banyak pengunjung warnet masih bingung dengan sistem baru tersebut. “Tapi tak apa. Sekarang pelan-pelan pengunjung terbiasa dengan Linux,” ujarnya tampak yakin benar.
Kaponan adalah contoh lembaga yang berani berubah. Menurut data Asosiasi Warung Internet Indonesia (Awari), saat ini hampir 20 persen dari sekitar 2.500 warnet di Indonesia telah beralih ke peranti lunak yang open source seperti Linux. Disebut open source karena peranti ini dikembangkan ramai-ramai oleh programmer di seluruh dunia, tak terkecuali dari Indonesia. Siapa pun boleh pakai, gratis.
Biarpun tanpa bayar, toh gerakan memakai open source nyaris tak ada gaungnya. Lihat saja berbagai institusi pemerintahan, seperti kejaksaan, juga kepolisian yang memburu para warnet, sebagian masih santai saja memakai komputer dengan software ilegal alias Windows bajakan.
Pemerintah, secara politis, sebenarnya telah membuat gerakan Indonesia Goes to Open Source (IGOS) sejak setahun lalu. Program ini diluncurkan oleh lima menteri, yakni Menteri Negara Riset dan Teknologi, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan HAM, serta Menteri Pendidikan Nasional.
Program ini juga didukung beberapa perusahaan swasta seperti IBM, PT Pasifik Satelit Nusantara, Oracle Indonesia, Sun Microsystem Indonesia. Namun, program ini nyaris tak terdengar. Rencananya, tim IGOS juga bakal meluncurkan peranti khusus dengan nama Desktop IGOS. Software ini sebenarnya dibuat dengan basis Linux keluaran Suse dan dilengkapi dengan aplikasi perkantoran StarOffice.
Sayangnya, “Sudah lebih dari setahun gerakan ini seperti jalan di tempat,” keluh Adi Rusli, Direktur Utama PT Oracle Indonesia. Dia melihat tak ada departemen yang serius membuat proyek percontohan pemakaian peranti lunak terbuka seperti Linux.
Gema IGOS baru muncul lagi sebulan lalu. Dalam acara open house IGOS di Gedung Kementerian Riset dan Teknologi bulan lalu, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman berjanji akan serius mengkampanyekan program ini. Ristek, katanya, akan menggunakan open source untuk seluruh operasi perkantorannya pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus 2005, sedangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada hari ulang tahunnya, 21 Agustus 2005.
Tapi, janji Kusmayanto itu agaknya cuma sebatas janji. Hingga pekan lalu, di BPPT, misalnya, tak ada kesibukan berarti. Tak ada pemasangan peranti lunak Linux secara besar-besaran. “Sebagian memang sudah mulai coba-coba dengan dual booting (memakai Windows dan Linux), tapi sebagian masih menggunakan Windows,” kata seorang staf dari divisi pengkajian dan penerapan teknologi informasi.
Adi menyarankan pemerintah membuat proyek percontohan seperti di beberapa negara. Di India, misalnya, pemerintah setempat bekerja sama dengan Oracle dan Hewlett Packard membuat proyek percontohan E-government di berbagai bidang dengan memakai Linux. Salah satunya adalah kepolisian. “Pemerintah tak perlu meragukan keandalan Linux. Meski gratis, peranti ini terbukti tangguh. Perusahaan besar seperti Boeing dan Unilever saja berani pakai, kok,” ujar Adi.
Salah satu keuntungan menggunakan peranti open source adalah Indonesia tak harus beli peranti lunak legal mahal seperti Windows dari Microsoft atau Panther Macintosh dari Apple. Untuk menjalankan 8.000 komputer Komisi Pemilihan Umum pada Pemilu 2004 lalu, contohnya, pemerintah harus menyetor Rp 9 miliar (dari total biaya Rp 150 miliar) ke kantong Bill Gates, pendiri Microsoft. Rasanya sayang amat, uang sebanyak itu melayang ke negara lain. Itu belum termasuk lisensi untuk perkantoran atau perbankan.
Menurut Onno W. Purbo, ahli komputer yang telah keliling ke 30 kota untuk membuat seminar Linux, negeri ini ketinggalan jauh dibanding negara-negara lain. Doktor komputer yang juga mantan dosen Institut Teknologi Bandung itu membandingkan dengan Vietnam, misalnya, yang pada 2005 ini telah menargetkan semua komputer pemerintah bermigrasi ke Linux. Demikian juga Korea, yang mencanangkan 120 ribu komputer milik pemerintah dan universitas pindah ke peranti gratis ini. Jadi, apa lagi yang ditunggu Indonesia?
Burhan Sholihin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo