Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEGAK berlantai dua, rumah gedung itu terpacak mencolok di tengah perkampungan Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau. Halamannya hijau dan rimbun. Luasnya 1.200 meter persegi dengan halaman bertembok bata plus kawat berduri.
Kesan mewah tak terhindarkan dari rumah dengan gerbang besi baja antikarat dan kanopi hijau muda itu. Rumah berwarna kuning kemerahan itu, kata seorang warga sekitar, Alwi, ”Salah satu rumah rancak di kampung ini.” Pemiliknya bukan seorang pengusaha.
Ia dikenal sebagai Miolet, seorang polisi. Pangkatnya tak sampai jenderal, cuma brigadir polisi kepala. Miolet kini bertugas di Bagian Serse Ekonomi Polda Riau. Meski rezeki di tangan Tuhan, jika melihat hartanya itu orang boleh saja heran.
Kata Alwi, di rumah itu Miolet kadang kala menerima banyak tamu. ”Mereka datang bermobil bagus-bagus,” ujarnya. Tapi, betapa sulitnya Pak Polisi itu ditemui warga kampung. Rupanya, semua tamu harus buat janji dulu lewat telepon. Kalau tak ada janji, pintu gerbang bakal tertutup rapat—tak peduli si tamu menunggu terbungkuk-bungkuk di luar pagar.
Alwi tak bohong. Tempo mencoba menggedor pintu rumah Miolet beberapa waktu lalu, tak seorang pun menyahut. Si tuan rumah, kata Alwi lagi, suka pulang tengah malam. Warga setempat sudah hafal. Jadi, kalau ada acara RT, undangan cuma disorongkan lewat celah pintu gerbang. Biasanya, undangan itu ada yang menanggapi. ”Tapi bukan Pak Miolet,” ujarnya lagi.
Miolet memang tajir. Meski seorang sersan, ia biasa menunggang mobil Toyota Land Cruiser biru tua. Belakangan, dia suka berseliweran pakai mobil Ford. Di kantornya di Polda Riau, seorang rekannya mengatakan Miolet adalah polisi sibuk. ”Dia lebih banyak di lapangan,” ujar kolega sekantornya, Ajun Komisaris Polisi Sihombing.
Tak jelas, memang, apa kesibukannya. Tapi nama Miolet amat terkenal di kalangan bisnis perkayuan Riau. Sumber Tempo di Pekanbaru menyebut Miolet ”jagoan” urusan perkayuan. Bukan cuma perkara pengamanan kayu, tapi dia juga punya ”jaringan basah” para tauke kakap, pemain besar bisnis kayu di provinsi itu.
Satu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, LSM Lilin, menduga polisi itu turut bermain mengamankan bisnis kayu di jalanan dan juga lokasi penebangan. Terlibatkah ia dalam pembalakan liar? ”Semua tahu dia pemain kakap, cuma belum tertangkap tangan,” ujar Asriadi, aktivis dari lembaga itu.
Tapi, betulkah Miolet menerima upeti dari para tauke kayu? ”Terkutuklah saya kalau melakukan hal itu,” ujar Miolet ketika dikonfirmasi Tempo beberapa waktu lalu. Dia mengelak menyebut apa usahanya di luar tugas sebagai polisi, apalagi bercerita soal asal-usul hartanya itu. ”Biar Tuhan yang tahu dari mana itu semua,” ujarnya singkat. Selanjutnya, Miolet bungkam.
Apa boleh buat. Untuk sementara, tak terbukti Miolet punya kerjaan haram. Setidaknya, namanya toh tak masuk dalam daftar 15 perwira polisi yang punya pundi duit buncit, seperti diungkapkan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kepala Polri Jenderal Sutanto, akhir Juli lalu.
Tapi, tanpa penghasilan tambahan, bagaimana seorang sersan bisa kaya? Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Inspektur Jenderal Polisi Farouk Muhammad, tak menampik kemungkinan bisa saja harta itu datang dari sumber yang gelap. ”Biasanya polisi mengambil untung dari victimless crime, seperti judi, narkoba, pembalakan liar, sampai urusan lalu-lintas,” ujarnya.
Farouk pernah menyuruh mahasiswanya yang juga para polisi meneliti korupsi di lingkungan mereka sendiri. Hasilnya menakjubkan. Ternyata, banyak polisi mengintip rezeki dari penyelewengan tugas mereka. ”Terutama dari victimless crime itu,” ujar Farouk.
Menurut doktor jebolan Florida State University, Amerika Serikat itu, mengutip penelitian mahasiswa dari angkatan 39A PTIK, penghasilan ”liar” itu bisa beragam. Mulai korupsi tilang sampai tarif Rp 20 juta-Rp 40 juta untuk masuk sekolah calon bintara pun diungkap. Tapi, yang paling serius adalah victimless crime itu. ”Ini melibatkan polisi dan pihak luar,” ujar Farouk. Nilainya, jangan tanya. Dari ratusan ribu perak sampai miliaran rupiah.
Untuk itulah, Farouk mengusulkan pembenahan moral polisi ke dalam. Polisi yang mengais rezeki dari ”daerah hitam” harus ditindak tegas. Daerah itu termasuk duit dari bandar judi, perusahaan pembalakan liar, pencucian uang, sampai bandar narkoba. ”Jangan sampai merusak citra polisi lain yang baik,” ujarnya.
Menurut Farouk, boleh saja polisi punya rezeki dari ”daerah putih”. Usaha seperti itu, kata Farouk, banyak sekali. Dari sambilan buka usaha warung sampai menjaring donatur terbuka untuk membantu operasional dinas polisi. Bahkan, untuk soal donatur, Farouk sedikit permisif. ”Dari daerah abu-abu juga boleh kalau negara belum bisa bantu operasional polisi secara penuh,” ujarnya. Tapi, tentu dengan syarat. Kalau si donatur melanggar hukum, harus tetap ditindak.
Kalau begitu, entah dari ”daerah” mana asal rezeki Miolet sekarang.
Nezar Patria, Nurlis E. Meuko, Jupernalis S. (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo