Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abadi di Jalan Jagalan

Menjadi korban kerusuhan rasial, Yap Tjwan Bing mengungsi ke Amerika Serikat. Berpindah kewarganegaraan.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lahan kosong yang diduga pernah ditempati Yap Tjwan Bing di Jalan Cipaganti, Bandung/Tempo/Iqbal T Lazuardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR dari Bandung mengakhiri bulan madu Yap Gwat Lee alias Dewi dan suaminya, Tan Lian Hian, di Jawa Timur. Melalui telepon, ayah Dewi, Yap Tjwan Bing, memberitahukan bahwa situasi di Bandung berbahaya. “Saya diberi tahu agar tidak pulang dulu,” ujar Dewi menceritakan lagi kejadian 56 tahun lalu itu pada Rabu, 7 Agustus lalu.

Hari itu, 10 Mei 1963, kerusuhan rasial melanda Kota Bandung. Bermula dari keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa non-Tionghoa dan etnis Tionghoa, kerusuhan meluas ke berbagai kota di Jawa Barat. Kerusuhan bahkan sampai ke Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan. Banyak orang turun ke jalan dan menjarah rumah milik warga Tionghoa.

Dewi, anak kedua Yap yang saat itu berusia 21 tahun, mengaku mendengar cerita dari ayahnya, beberapa pekan sebelum kerusuhan, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Abdul Haris Nasution mewanti-wanti bakal ada peristiwa kerusuhan yang menyudutkan keturunan Tionghoa. Tapi Nasution tak mengetahui kapan peristiwa itu akan meletus. Nasution, kata Dewi, berjanji melindungi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang ikut merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Dalam buku otobiografinya yang berjudul Meretas Jalan Kemerdekaan, Yap bercerita bahwa Wakil Gubernur Jawa Barat -Astrawinata meminta dia dan keluarganya mengemas barang-barang dan mengungsi ke rumahnya. Kepala Polisi Priangan, Tachja, juga menelepon Yap dan menawarkan bantuan pengamanan ke -rumahnya. Namun Yap menolak tawaran itu.

Yap Gwat Lee alias Dewi (kiri) dan F.X. Hadi Rudyatmo di Solo, 31 Maret 2010 (kanan)/Dok. Sumartono Hadinoto

Yap meyakini para pemuda yang turun ke jalan tak akan merusak atau membakar rumahnya lantaran namanya cukup dikenal di kalangan pemuda di Bandung. Saat itu, ia anggota parlemen sekaligus anggota Dewan Pimpinan Partai Nasional Indonesia. Yap juga menjabat Dewan Kurator Institut Teknologi Bandung dan panitia ujian di Fakultas Farmasi Universitas -Padjadjaran.

Namun Yap salah mengira. Para perusuh yang menjarah dan merusak barang itu tidak bertanya siapa pemiliknya. “Melainkan apakah barang-barang itu kepunyaan orang Cina atau bukan,” begitu Yap menulis dalam autobiografinya. Rumahnya di kawasan Lembang hancur, mobilnya dibakar. “Hadiah pernikahan saya tak tersisa,” ujar Dewi, yang kini berusia 77 tahun dan tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat. Saat kejadian, Yap bersama istri dan anak sulungnya berada di rumah mereka di Jalan Cipaganti. Dewi mengatakan keluarganya selamat karena Gubernur Jawa Barat Mashudi tetap mengirim orang untuk berjaga di sana.

Kerusuhan itu membuat Tjien Giok Yap, istri Yap, mengalami trauma. Menurut Dewi, ibunya kerap menangis dan dibayangi ketakutan. Salah satu penyebabnya: anak pertama mereka yang berusia 23 tahun, Yap Siong Hoei, lumpuh karena terserang poliomyelitis. Lima tahun sebelumnya, si sulung terserang virus polio setelah berenang di sebuah kolam renang di Singapura. Tjien khawatir anaknya tak bisa menyelamatkan diri seandainya kerusuhan terjadi lagi.

Dalam bukunya, Yap mengatakan bahwa dokter Suharso dari pusat rehabilitasi di Solo, Jawa Tengah, yang merawat putranya, telah angkat tangan. “Di Indonesia saat itu belum ada alat-alat canggih untuk melatih penderita polio supaya bisa berjalan lagi,” tulis Yap. Dokter Suharso menyarankan Yap membawa anaknya berobat ke Amerika. Memikirkan keselamatan anaknya, Tjien Giok Yap pun berpendapat mereka harus secepatnya ke Amerika.

Mulanya Yap menolak permintaan istrinya. Tapi ia luluh ketika sang istri mengatakan akan pergi sendiri ke Amerika. Menurut Dewi, ayahnya juga mempertimbangkan situasi politik di Indonesia yang tak stabil. Sejumlah politikus ditangkap dan dibuang ke daerah lain. “Itu jadi salah satu alasan ayah saya meninggalkan Indonesia,” katanya.

Sebelum hijrah, Yap menjual rumahnya di Jalan Cipaganti Nomor 23 kepada Brigadir Jenderal Soegih Arto, yang belakangan menjadi Jaksa Agung dan terakhir pensiun dengan pangkat letnan jenderal. Saat Tempo bertandang ke rumah itu pada pekan lalu, asisten rumah tangga di situ mengatakan rumah tersebut tidak ditempati keluarga Soegih Arto.

Di sebelah rumah itu terdapat lahan kosong tanpa sisa bangunan dengan plang yang menyebutkan tanah tersebut milik PT Pertamina. Gunawan, 80 tahun, warga Jalan Cipaganti, mengatakan keluarga Yap Tjwan Bing dulu tinggal di rumah di atas lahan kosong tersebut. “Keluarga kami saling kenal. Mereka suka belanja di toko orang tua saya,” ucap Gunawan. Menurut dia, saat kerusuhan rasial meletus pada 1963, rumah-rumah di Cipaganti menjadi sasaran massa.

Selain menjual rumah, Yap menjual pabrik pastiles dan apotek miliknya untuk bekal. Ia memboyong keluarganya ke Los Angeles, California, Amerika, pada 1965. Anak bungsunya, Dewi, lebih dulu tiba di Amerika bersama suaminya.


 

Yap tak pernah melupakan Indonesia. Suatu ketika ia amat rindu pada tempat kelahirannya dan teman-teman seperjuangannya. Ia juga kangen merasakan makanan dan buah khas Indonesia, seperti gado-gado, nasi liwet, dan durian. “Saya rindu kepada tanah tumpah darahku, Indonesia,” tulis Yap dalam otobiografinya.

 


 

KEHIDUPAN Yap Tjwan Bing berubah drastis di negara baru yang ditempatinya. Sementara di Indonesia Yap menjadi apoteker, di Amerika dia “turun pangkat” menjadi pembantu apoteker. Yap hanya diizinkan menghitung pil dan menuangkan obat batuk serta tidak boleh meracik obat sendiri. Padahal ia sarjana farmasi dari kampus di Belanda. “Saya merasa jenis pekerjaan ini di bawah kemampuan saya. Tapi saya tetap melakukannya dengan gembira,” tulis Yap dalam otobiografinya, Meretas Jalan Kemerdekaan. -Lama-kelamaan ia dipercaya meracik obat -meskipun masih dalam pengawasan bosnya.

Yap sempat beberapa kali berganti pekerjaan. Ia pernah bekerja di Bank of America. Ia juga pernah bekerja di perusahaan properti Century 21 Real Estate. Yap bercerita, tak mudah bagi warga negara non-Amerika mendapatkan pekerjaan dengan posisi dan gaji yang bagus. Ia mesti mengurus izin tinggal yang diper-olehnya sekitar setahun setelah tiba. Menurut anak bungsu Yap, Dewi, keluarganya tinggal di Los Angeles dan telah menjadi warga negara Amerika Serikat.

Yap tak pernah melupakan Indonesia. Suatu ketika ia amat rindu pada tempat kelahirannya dan teman-teman seperjuangannya. Ia juga kangen merasakan makanan dan buah khas Indonesia, seperti gado-gado, nasi liwet, dan durian. “Saya rindu kepada tanah tumpah darahku, Indonesia,” tulis Yap dalam otobiografinya.

Papan Jalan Yap Tjwan Bing di Solo, Jawa Tengah/ Tempo/Bram Selo

Seiring dengan berjalannya waktu, kesehatannya menurun. Yap terserang stroke pada 1976. Bahkan dia sempat dinyatakan meninggal karena tak bernapas selama tiga menit. Tapi Yap “hidup lagi” dan kondisinya membaik. “Ayah saya berjuang melawan penyakitnya,” ujar Dewi. Istri Yap, Tjien Giok Yap, meninggal lebih dulu pada 1983 karena sakit jantung. Yap dirundung duka. “Kesepian tanpa istri tercinta merupakan suatu penderitaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata,” begitu ia menulis.

Dewi mengatakan ayahnya merasa sangat kehilangan ditinggalkan pasangan hidupnya. Lama-lama kesehatan Yap merosot. Ia kembali terserang stroke. Pada 1988, ia berpulang dan dimakamkan di tempat yang sama dengan istrinya di Rose Hill, California. Para sahabatnya dan diplomat Indonesia di Konsulat RI di Los Angeles hadir dalam pemakamannya.

Sekitar dua dasawarsa setelah Yap wafat, penggiat komunitas Tionghoa dan tokoh masyarakat di Surakarta, Sumartono Hadinoto, mengusulkan nama Yap Tjwan Bing menjadi nama jalan. Setelah usul muncul, diadakanlah diskusi publik mengenai sosoknya. Sempat timbul perdebatan, apakah seorang warga negara asing layak dijadikan nama jalan. Salah satu tokoh di Solo, Daradjadi, mengatakan di kota lain ada pula nama tokoh asing. “Di Medan ada Jalan Jawaharlal Nehru,” ujarnya. Perdebatan selesai.

Pada 22 Februari 2008, Yap Tjwan Bing resmi menjadi nama jalan. Namanya menggantikan Jalan Jagalan. Di situ berdiri litang, tempat ibadah Konghucu. Jalan Yap Tjwan Bing diresmikan oleh Wali Kota Solo waktu itu, Joko Widodo, dan wakilnya, F.X. Hadi Rudyatmo. “Atas perannya mempersiapkan kemerdekaan, Yap Tjwan Bing sangat pantas dijadikan nama jalan,” kata Hadi.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus